Satu Pemilu Dua Kepentingan

Putri Rosmalia Octaviyani
03/12/2018 08:35
Satu Pemilu Dua Kepentingan
()

PEMILU 2019 merupakan pesta demokrasi pertama di Indonesia yang menyerentakkan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres). Banyak hal baru yang dialami oleh partai politik peserta pemilu. Salah satu yang menonjol ialah keragu-raguan parpol untuk all out dalam pilpres karena khawatir akan kedodoran di pileg. Apalagi, berbagai lembaga survei merilis hasil kajian bahwa hanya parpol tertentu yang menikmati coattail effect (efek ekor jas) dari pilpres.

Akibatnya, ada parpol yang secara terbuka menyatakan akan lebih fokus menghadapi pileg untuk menggenjot elektabilitas. Ada pula parpol yang tidak mendekler lebih fokus pada pileg, tetapi secara diam-diam megambil langkah itu demi mengejar target 4% parliamentary threshold.

Tidak fokusnya parpol mengampanyekan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) menjelang Pemilu serentak 2019 dianggap sebagai hal yang wajar. Itu risiko dari pelaksanaan pemilu serentak yang membuat parpol harus bekerja untuk dua pemenangan di waktu yang sama.

Analis politik Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan kondisi itu merupakan konsekuensi logis dari pemilu serentak. Kader parpol tidak bisa dipaksa untuk sepenuhnya mengerahkan tenaga dalam pemenangan capres yang diusung parpol. Mereka cenderung lebih fokus pada pemenangan kader masing-masing di parlemen.

"Di satu sisi mereka juga harus memenangi partai di parlemen. Capres yang diusung menang, tapi kalau mereka gagal raih suara mininal di parlemen, ya percuma juga," jelas Pangi di Jakarta, kemarin.

Adanya dua pasang capres-cawapres saat ini juga membuat suara masyarakat terbelah. Bila capres yang diusung tidak sesuai dengan mayoritas suara masyarakat di dapil, para caleg cenderung untuk bermain aman. Mereka lebih memilih mendeklarasikan diri untuk berbeda dengan partai dan mendukung pasangan capres-cawapres lawan.

"Seperti Demokrat, misalnya, kadernya di Sumatra Utara ternyata lebih banyak dukung Jokowi. Akhirnya, calegnya juga dukung Jokowi karena berat bagi untuk maju dengan promosikan Prabowo di sana," ugkapnya.

Kebutuhan partai untuk meraih suara minimal sesuai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) juga menjadi pemicu parpol bermain aman. Salah satunya dengan membiarkan kadenya berlainan suara dalam pemilu.

Ia melihat kondisi seperti itu berpotensi terus terjadi bila sistem pemilu serentak masih terus sama seperti saat ini. Evaluasi dan perbaikan masih harus dilakukan pada pemiku serentak selanjutnya.

"Karena memang ini kan juga masih sangat baru, benar-benar pertama kali dilakukan. Penyelenggara pemilu masih mencari pola terbaik dalam teknis pelaksanaannya," ujar Pangi.

Amankan posisi

Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khairunnisa Agustyati pun menganggap wajar bila parpol fokus mengampanyekan diri ketimbang pasangan capres-cawapres yang diusungnya. Pasalnya, parpol memerlukan suara untuk mengamankan posisi mereka di legislatif.

"Memang pemilu serentak di kita ini agak beda sama yang ada tempat lain. Kita ada pemilu serentak, tetapi masih juga ada parliamentary threshold," ujarnya.

Parliamentary threshold dinilai sangat memengaruhi sikap parpol dalam berkampanye. Apalagi, batas tersebut dianggap tinggi, yakni 4% suara sah nasional. "Jadi, wajar bila mereka lebih fokus untuk pileg karena target mereka kan dapat kursi di parlemen. Memang desain pemilu serentak ini belum ideal, masih baru," ujar Khairunnisa.

Ia juga mengatakan bahwa saat ini perhatian masyarakat terfokus pada pilpres. Dengan begitu, tidak bisa ditampik jika keuntungan suara diprediksi hanya akan mengarah ke parpol asal capres. Dalam hal ini, PDIP dan Gerindra yang dianggap akan mendapat keuntungan efek ekor jas.

"Yang diuntungkan memang partai pengusung utama presiden. Partai koalisi yang lain belum tentu dapat suara dalam pileg," ujarnya.

Oleh karen aitu, ke depan, ia berharap ada evaluasi dan revisi atas hal yang belum sempurna dari pelaksanaan pemilu serentak. Salah satuna soal ialah adanya parliamentary threshold. "Jadi, memang sebaiknya kalau ingin pemilu serentak seperti ini, paliamentary threshold-nya tidak ada. Kalau pun tetap ada, jangan sampai 4%," ucap Khairunnisa.

Meski begitu, ia yakin banyak parpol dan kadernya yang tetap fokus ke pilpres, dan tidak akan sampai menimbulkan konflik internal parpol. Begitu juga dengan dinamika yang ada di beberapa parpol saat ini yang banyak kadernya menyatakan mendukung capres-cawapres yang berbeda dari pilihan partai. "Mau tidak mau partai politik harus bisa memakluminya demi meraih suara signifikan dalam ajang pemilu legislatif." (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya