Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
KLAIM calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto tentang rasio penerimaan pajak (tax ratio) Indonesia pada era Orde Baru (Orba) sebesar 14%-16%, jauh lebih tinggi dari saat ini, ialah sebuah narasi yang keliru.
“Tax ratio adalah perbandingan antara penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto. Nisbah ini yang sering dipakai untuk mengukur kinerja pemungutan pajak. Akan tetapi, tax ratio bukanlah satu-satunya alat ukur bagi kinerja institusi pemungut pajak karena ada beberapa faktor dan kondisi yang perlu diperiksa dan dibandingkan,” tutur Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo di Jakarta, kemarin.
Yustinus menerangkan faktor lain yang dimaksudkan ialah besaran insentif pajak, besarnya sektor informal (underground economy), insentif untuk menghindari pajak, keandalan sistem, dan tingkat kepatuhan pajak.
Berdasarkan data, tax ratio Indonesia pada 2017 yang dalam arti sempit merupakan penerimaan pajak yang dikelola Ditjen Pajak saja sebesar 8,47%. Bila memasukkan bea cukai dan pendapatan negara bukan pajak sumber daya alam (PNBP SDA), bisa mencapai 10,58%.
Jika dilihat secara berturut-turut, tax ratio yang hanya pajak saja dalam lima tahun ke belakang ialah 9,70% (2012), 9,65% (2013), 9,32% (2014), 9,19% (2015), dan 8,91% (2016), lalu pada 2005 mencapai 10,76%, dan 2001 sebesar 9,63%. “Jika merujuk pada klaim Prabowo yang mengatakan rasio pajak pada era Orba mencapai 14%-16%, berdasarkan data di atas, klaim itu tidak dapat dibenarkan.”
Dari pelacakan nota keuangan dan APBN (Kemenkeu) diperoleh informasi bahwa tax ratio pada 1990-1998 berturut-turut sebesar 6,19% (1990), 6,72% (1991), 7,31% (1992), 7,30% (1993), 7,68% (1994), 8,20% (1995), 7,86% (1996), 8,03% (1997), dan 6,05% (1998). Bahkan jika terus ditarik mundur, tax ratio Indonesia ialah 7,33% (1972), 6,70% (1980), dan 5,25% (1984).
Yustinus mengungkapkan, dengan pajak sebagai nadi pembangunan karena berkontribusi 74% terhadap pendapatan negara, tentu menjadi penting untuk meningkatkan tingkat tax ratio. Hal tersebut tentu menjadi tujuan yang ingin dicapai melalui reformasi perpajakan.
“Namun, data menunjukkan di era Orba pada kurun 1990-1998 dan sebelumnya, tax ratio kita tidak pernah lebih tinggi daripada tax ratio selama era reformasi. Bahkan, lebih rendah daripada tax ratio 2017,” tuturnya.
Sebelumnya, Prabowo mengatakan tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto saat ini masih kalah jika dibandingkan dengan di era Orba. Di bawah kepemimpinan Soeharto, kata dia, tax ratio bisa mencapai 14%.
“Di era Orde Baru, tax ratio mencapai 14% dan bahkan bisa sampai angka 16% dari PDB,” tutur Prabowo saat berpidato dalam acara Indonesia Economic Forum di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (21/11).
Surat dari DPP PDIP dibutuhkan untuk menyelesaikan perbedaan tafsir terkait penetapan caleg yang sudah meninggal pada Pamilu 2019. Dia juga menjelaskan surat balasan dari MA.
Yasonna keluar dari Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 16.45 WIB. Jalur pulang dia berbeda dengan saksi lainnya.
Sidang akan digelar pada hari Senin (24/2) pukul 13.30 WIB di Kantor Bawaslu Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan.
Selain itu, Jokowi mengatakan, NasDem selalu konsisten mendukung dirinya saat bersama Jusuf Kalla maupun kini dengan KH Ma'ruf Amin.
Revisi UU Pemilu perlu disegerakan agar penyelenggara pemilu mempunyai waktu yang cukup dalam melakukan proses sosialisasi dan tahapan Pemilu 2024.
Peserta sekolah legislatif akan mendapatkan berbagai materi pelajaran tentang kedewanan sebanyak 40%, kepartaian 30%, dan pembangunan karakter 30%
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved