Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
PADA HUT TNI ke-73, Jumat (5/10), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyampaikan sejumlah masalah yang menjadi problem dalam tubuh TNI. Kontras terutama menyoroti pelanggaran HAM oleh TNI.
"Kami menyampaikan kekerasan yang dilakukan TNI masih terjadi dalam temuan Kontras. Kita berharap di usia 73 tahun TNI dan 20 tahun reformasi, kekerasan seharusnya bisa berkurang dan tidak terjadi lagi," ujar Feri Kusuma yang bergerak di bidang Strategi dan Mobilisasi Kontras, di Gedung Kontras, Jakarta, Jumat (5/10).
Sepanjang November 2017 hingga Agustus 2018, Kontras mencatat sedikitnya ada 76 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan anggota TNI.
"Pelanggaran itu dalam satu tahun ini ada 76 peristiwa. Mayoritas pelanggaran ialah penganiayaan sebanyak 47 kasus, intimidasi sebanyak 29 kasus dan pelanggaran lain," ungkap Feri.
Dalam pemaparan yang disampaikan, Feri menerangkan bahwa kekerasan oleh TNI (AD, AU, AL) kerap terjadi di tiga provinsi, yaitu Sumatra Utara (13 peristiwa), Papua (11 peristiwa), dan Jawa Timur (9 peristiwa).
"Mayoritas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI terhadap warga sipil. Provinsi Sumatra Utara dan Papua, menjadi dua provinsi teratas yang seringkali terjadi pelanggaran HAM," terang Feri.
Kontras juga menyoroti soal akuntabilitas proses hukum. Menurut Kontras banyak kasus kekerasan oleh anggota TNI diadili di pengadilan militer, padahal menurut Feri seharusnya diadili pengadilan umum. Dalam setahun ini terdapat 165 perkara diputuskan di peradilan militer.
"Soal akuntabilitas, proses hukum terhadap pelaku tindak kekerasan itu masih banyak diproses peradilan militer. Menurut saya peradilan militer itu tidak memberikan proses hukum yang fair. Setiap ada tindakan penganiyaan dari TNI ke sipil itu harus diadili di pengadilan umum," ungkap Feri.
Alasanya, karena anggota TNI yang melakukan tindakan kekerasan tersebut merupakan warga negara Indonesia yang memiliki kedudukan yang sama dimata hukum.
"Tidak fair, dalam artian TNI sebagai warga negara di mata hukum sama semua kedudukanya. Nah ketika dia melakukan tindakan pelanggaran hukum seharusnya dia dibawa ke pengadilan hukum bukan di peradilan militer," tegas Feri
Menurutnya peradilan militer mestinya hanya untuk mengadili proses yang berkaitan dengan kemiliteran. "Peradilan militer itu untuk memproses masalah tentang kemiliteran. Tapi ketika dia (anggota TNI) melakukan tindak pidana umum atau pelanggaran hak asasi manusia itu ke peradilan umum." kata Feri
Karena itu, lanjut Feri, ia berharap hasil kajian Kontras bisa memperbaiki sistem peradilan militer sebagai satu-satunya alat uji akuntabilitas yang justru kerap dijadikan dalih mangkirnya anggota TNI yang terlibat dalam sejumlah tindak pidana maupun pelanggaran HAM.
Kontras juga mendesak agar panglima TNI menguatkan instrumen dan kapasitas internal dalam menghadapi persoalan pelanggaran hukum, keamanan dan ketertiban dalam momentum politik. Jaminan hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi harus menjadi rambu-rambu anggota TNI dalam menjalankan tugasnya di lapangan. (X-12)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved