Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
PEMILU Presiden 2019 harus menjadi sarana untuk memberi pendidikan politik kepada masyarakat. Para pemilih harus diajak rasional dalam memilih pemimpin yakni berdasarkan visi, misi, dan gagasan kepemimpinan yang diusung kandidat.
Demikian diungkapkan Sekretaris DPD PDI Perjuangan Provinsi Jawa Barat Abdy Yuhana menyikapi maraknya politik identitas jelang Pemilu Presiden 2019. Abdy menilai, saat ini demokrasi di Indonesia tidak menggunakan akal sehat karena masih adanya isu SARA dalam setiap kontestasi politik.
"Demokrasi di Indonesia saat ini tidak menggunakan politik akal sehat," katanya di Bandung, Senin (13/8). Ini terlihat dari terus munculnya isu-isu SARA dan ujaran kebencian yang digunakan untuk menarik simpati pemilih.
"Kita surplus tokoh-tokoh yang memiliki daya sentrifugal, daya pemecah. Sementara defisit orang-orang yang memiliki kenegarawanan," katanya.
Oleh karena itu, dia mengajak semua pihak agar menggunakan politik akal sehat dalam memilih pemimpin. Dengan cara seperti ini, calon beserta timnya hanya akan mengampanyekan visi, misi, dan program kepemimpinan yang akan diusung yang diyakini bisa memberi solusi untuk mengatasi persoalan di masyarakat.
"Dengan politik akal sehat, yang akan mendapat benefit itu rakyat. Capres dan cawapres akan mengedepankan visi, ide, dan gagasan," ujarnya.
Abdy Yuhana menjelaskan, terdapat tiga alasan yang harus diperhatikan pemilih agar bisa menjalankan politik akal sehat. Pertama, dalam memutuskan pilihan harus berdasarkan sosok, yakni yang memiliki rekam jejak yang bagus.
"Yang memiliki sikap kenegarawanan," katanya. Kedua, calon presiden/calon wakil presiden harus memiliki visi, misi, dan gagasan yang baik untuk mengantisipasi setiap tantangan dan persoalan yang akan dihadapi negara.
"Lalu pilih calon yang bisa menyehatkan demokrasi," katanya. Lebih lanjut, dia menyayangkan masih adanya tagar #2019 ganti presiden meski kini sudah jelas kandidat yang akan menjadi peserta Pemilu Presiden 2019.
Abdy menilai, terus digaungkannya tagar #2019 ganti presiden ini merupakan ujaran kebencian, sehingga tidak bisa disebut kampanye. Merujuk kepada undang-undang dan aturan pemilu, menurutnya kampanye adalah penyampaian visi, misi, dan gagasan kepemimpinan yang disampaikan kepada masyarakat baik oleh calon maupun tim kampanye.
Namun, hal ini tidak terlihat dalam penyebaran tagar #2019 ganti presiden yang menurutnya merupakan ujaran kebencian. "Kalau yang muncul ganti presiden, tema yang akan diusung caci maki. Tapi kalau kampanye, akan menyebutkan nama calon dan program yang diusung," katanya.
Dia kembali menyayangkan masih adanya penyebaran tagar #2019 ganti presiden meski sudah jelas nama-nama calon yang akan dipilih. "Konsekuensinya? Pertama, ini tidak memberi aspek edukasi ke masyarakat. Kedua, tidak memunculkan visi misi," katanya.
Oleh karena itu, dia meminta Komisi Pemilihan Umum segera bersikap untuk lebih menjelaskan kepada masyarakat tentang arti kampanye yang sesungguhnya. "KPU harus meluruskan apa itu yang dimaksud dengan kampanye. Jangan mengaku kampanye, tapi malah menyebar kebencian, mencaci maki," katanya. (A-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved