Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
TERORISME di Indonesia salah satunya berkembang karena paham yang disebarkan oleh pucuk pimpinan jaringan terorisme untuk mendirikan negara Islam berbasis syariat Islam.
Menurut mantan terpidana terorisme, Yudi Zulfachri, pimpinan teroris umumnya menanamkan paham bahwa siapa pun yang menentang prinsip itu patut disebut kafir, toghut, dan layak dibunuh.
"Inilah yang mendasari lahirnya terorisme yang menyasar sesama warga negara Indonesia di berbagai daerah," kata Yudi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (19/5).
Untuk memberantas terorisme, menurut alumnus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini, kuncinya terletak pada upaya memoderasi pemikiran pelaku teror. Itulah sejatinya substansi deradikalisasi.
Ironisnya, program deradikalisasi pemerintah, menurut Yudi, tidak menyasar hal itu. Yang lebih banyak dilakukan ialah disengagement atau pemisahan. Orang yang terpapar teorisme dan radikalisme dipisahkan. Mereka ditarik dari komunitasnya dan dialihkan dengan aktivitas lain seperti diberi usaha.
"Aktivitas pemisahan itu bisa saja mengalihkan aktivitas teroris dari komunitas dan aktivitas sebelumnya. Namun, itu tidak berdampak langung dalam menghilangkan paparan radikalisme yang telanjur tertanam di otak," kata Yudi.
Pancasila
Yudi menyarankan moderasi pemikiran dalam deradikalisasi sebaiknya menggunakan metode sosialisasi Pancasila, yang merupakan filosofi dan dasar negara ini.
"Harus dibangun narasi bahwa Pancasila sebagai ideologi negara sama sekali tidak bertentangan dengan agama Islam," kata Yudi yang pernah mengikuti program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Hal itu, menurut Yudi, penting karena mereka yang menjunjung tinggi syariat Islam menganggap Pancasila sebagai musuh alias toghut yang harus disingkirkan.
"Saya pada waktu itu bisa berubah pikiran setelah dideradikalisasi dan diberi pemahaman bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam malah mengizinkan syariat Islam berjalan secara kafah di Aceh. Inilah yang harus diopinikan oleh negara."
Yudi menambahkan deradikalisasi juga akan lebih ampuh manakala program itu melibatkan pelaku-pelaku terorisme yang sudah insaf.
Menurut Direktur Riset SETARA Institute, Halili, benih utama dari terorisme ialah intoleransi. Intoleransi bisa memimpin tindakan dan perilaku seseorang untuk terus menolak perbedaan, baik perbedaan identitas agama, suku, maupun pilihan politik.
Untuk itu, dalam pemberantasan terorisme, pemerintah diminta fokus menangani bibit intoleransi. "Seluruh penyelenggara negara harus mendukung penghilangan bibit intoleransi dan paparan ideologi terorisme," tegas Halili.
Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan menyebut pemerintah harus memahami konstelasi global yang saat ini tengah terjadi. Meskipun pemerintah bisa memberantas bibit terorisme di Indonesia, terorisme akan terus ada jika tidak dilakukan pencegahan di titik global. "Dulu ada Jaringan Islamiyyah, Al-Qaeda, dan lainnya. Kini ada IS dengan ideologinya sendiri."
Untuk itu, ia mengimbau tidak ada polemik soal penggunaan segala daya dari pemerintah untuk memberantas terorisme. "Pemerintah memang wajib melakukan segala upaya untuk melindungi negara, termasuk penggunaan aparat TNI."
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved