Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Berantas Politik Uang Diawali dari Negara

Nov/Ant/P-1
22/3/2018 09:52
Berantas Politik Uang Diawali dari Negara
(ANTARA/ROSA PANGGABEAN)

POLITIK uang yang mewarnai pesta demokrasi tidak lepas dari penggunaan uang yang seolah menjadi hal wajar demi meloloskan misi politik seorang calon kepala daerah atau parpol. Banyak pihak yang menanggapinya sebagai hal yang biasa, tetapi bagi sebagian pihak politik uang justru memprihatinkan dan harus dihilangkan.

Menurut politikus Sri Bintang Pamungkas, pemerintahlah seharusnya memberikan penyadaran kepada masyarakat agar tidak terlibat dalam politik uang. Penyadaran itu harus diiringi dengan tindakan para elite politik yang bersih dari politik uang sehingga sikap itu bisa dijadikan contoh yang baik bagi masyarakat luas.

"Negara dan elite politik yang mau berpesta ria inilah yang harus sadar terlebih dahulu," ungkap Sri Bintang.

Ia menilai praktik politik uang yang justru memperlebar pintu masuk  melakukan korupsi itu akan menjerumuskan elite politik untuk berpolitik secara kotor. Imbasnya banyak kepala daerah, baik bupati maupun gubernur, yang terlibat kasus korupsi dan kariernya terpaksa berakhir di tahanan.

Kejenuhan masyarakat terhadap para politikus kotor inilah yang juga memengaruhi tingkat antusiasme masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya dengan baik (golput). Tak heran jika persentase suara golput dari sejumlah pelaksanaan pemilu terus meningkat bahkan terakhir mencapai 30%.

"Kalau ada partai golput, ya merekalah yang menang, itu saja. Artinya golput bukan penyebab, justru yang perlu dipertanyakan kenapa orang tidak mau berpartisipasi, karena apa,'' ujar Sri Bintang.

Terkait dengan politik uang, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo akan lebih mengapresiasi semua pihak yang menginginkan pemilihan kepala daerah bersih yang bertumpu pada adu gagasan dan program bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat.

''Pemilihan kepala daerah harus menjadi pesta demokrasi yang bermartabat, bebas dari kampanye SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), ujaran kebencian, kabar bohong, korupsi, dan politik uang,'' kata Tjahjo.

Direktur Politik Dalam Negeri pada Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengakui pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki sejumlah kekurangan, antara lain para calon kepala daerah rawan disusupi kepentingan modal.

Bahtiar menilai sejumlah kekurangan lain dari penyelenggaraan pilkada langsung adalah pemilih akan menjadi individualis dan materialistis, calon kepala daerah hanya mengandalkan ketokohan dan menafikan kemampuan memimpin organisasi yang kelak dibutuhkan saat terpilih menjadi kepala daerah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya