KPK Terancam Tak Bisa Tangani Korupsi

Christian Dior Simbolon
08/3/2018 15:12
KPK Terancam Tak Bisa Tangani Korupsi
(Ilustrasi)

MASUKNYA delik korupsi ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengancam upaya-upaya pemberantasan korupsi. Menurut peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, ancaman paling berbahaya ialah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lagi berwenang menindak kasus korupsi jika RKUHP disahkan.

"Karena kewenangan KPK menindak kasus korupsi itu ada pada UU 20 tahun 2001 atau UU Tipikor seperti diatur dalam UU KPK. Bukan KUHP. Dan cara yang dapat dilakukan KPK untuk bisa menangani kasus korupsi yang ada dalam RKUHP ialah dengan merevisi UU KPK," ujar Lola dalam konferensi pers di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, kemarin.

Lola menduga, masuknya delik-delik tipikor ke dalam RKUHP merupakan upaya DPR memaksakan adanya revisi UU KPK. "Dan kita sulit sekali mempercayai DPR ketika membahas undang-undang terkait korupsi. Dalam beberapa kesempatan, kita melihat ada upaya-upaya memperlemah KPK, lewat pansus angket, dan sebagainya. RKUHP bisa jadi jalan memutar DPR untuk merevisi UU KPK," jelas dia.

Setidaknya ada enam delik UU Tipikor yang dipindahbukukan ke dalam RKUHP, yakni pasal 2, pasal 3, pasal 5, pasal 13, pasal 11, dan pasal 12B. Menurut peneliti ICW Tama S Langkun, upaya melemahkan pemberantasan korupsi terpampang jelas dalam revisi delik yang dilakukan perumus RKUHP.

Pada pasal 2 UU Tipikor misalnya, disebutkan bahwa ancaman hukuman tipikor paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan di RKUHP, denda minimal turun menjadi Rp50 juta (pasal 687) dan denda maksimal turun menjadi Rp500 juta (pasal 688). Adapun hukuman badan disebutkan maksimal hanya 7 tahun (pasal 308 ayat 1 RKUHP).

"Catatan ICW, sejak 2016 rata-rata hukuman terhadap tersangka kasus korupsi itu 25 bulan. Padahal itu sudah merujuk pada UU Tipikor yang rata-ratanya lebih tinggi. Kalau RKUHP berlaku, maka kita bisa pastikan bahwa hukuman terhadap tipikor akan semakin ringan. Ini yang kemudian akan melanggengkan korupsi," ujar dia.

Menurut kajian ICW, total ada 12 poin kritis dari rumusan delik tipikor di RKUHP yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi. Selain hukuman tipikor yang lebih ringan, RKUHP juga dinilai potensial mematikan Pengadilan Tipikor, mengecilkan peran PPATK, dan menurunkan tipikor menjadi pidana umum.

"Yang lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum bahkan dihukum bersalah tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara karena RKUHP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti atau uang yang telah dikorupsi," ujar Tama.

Berbasis kajian ini, ICW pun merekomendasikan sejumlah hal kepada pemerintah dan DPR. Pertama, mencabut delik tipikor dari RKUHP. Kedua, menunda pengesahan RKUHP. Ketiga, merevisi UU Tipikor sebagai upaya memperkuat pemberantasan korupsi. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya