Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
MASUKNYA delik tindak pidana korupsi ke dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai akan menjadi upaya pelemahan KPK. Pasalnya, pengesahan RKUHP beserta delik tipikor akan membuat Undang-Undang KPK juga direvisi.
Hal itu berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU KPK yang merujuk pada pengertian tipikor berdasarkan UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU 20/2001.
“Mau tidak mau UU KPK juga aka direvisi agar merujuk pada pengertian korupsi dalam KUHP yang baru. Selama ini usulan merevisi UU KPK selalu berujung pada pelemahan,” ucap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter dalam media briefing bertema Dampak pengaturan Pasal Tipikor dalam RKUHP, di Jakarta, kemarin (Jumat, 26/1).
Pengebirian wewenang tersebut berpeluang besar terjadi mengingat tensi tinggi antara DPR dan KPK. Menurut Lalola, KUHP itu sebagai pintu terkahir untuk melakukan pelemahan KPK. “Karena upaya revisi secara langsung maupun lewan Pansus Hak Angket tidak berhasil mereka lakukan.’’
Sementara itu, alasan untuk memasukkan delik Tipikor dalam KUHP sebagai upaya mengakomodasi kewenangan untuk menjerat korupsi di swasta juga dinilai tidak tepat. Hal itu lebih baik dimasukkan dalam UU Tipikor ketimbang KUHP. “Jadi lebih baik revisi saja Undang-Undang Tipikor, bukan dengan KUHP ini,” imbuhnya.
Tidak ada visi
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum UI Aradila Caesar menyatakan tidak ada visi yang jelas terhadap revisi KUHP. Sebanyak 80% dari pasal di draf RKUHP saat ini tidak jauh berbeda dengan pasal di KUHP lama. “Apalagi dengan delik tipikor. Ini hanya memindahbukukan pasal di UU Tipikor ke KUHP.’’.
Hal itu jelas memberi tanda tanya besar terhadap arah penegakan hukum tipikor di dalam negeri. Ke depan KPK tidak akan memiliki wewenang lagi jika seluruh pasal dimasukkan semua ke dalam KUHP.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menambahkan upaya memasukkan seluruh undang-undang lama ke dalam KUHP justru menghilangkan keistimewaan dari undang-undang tertentu. Selama ini tipikor dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Itu sebabnya ada UU khusus yang mendefinisikan.
“Kalau masuk semua ke dalam KUHP, tidak ada lagi yang namanya extraordnary. Itu disamakan dengan pidana lainnya dan tidak perlu lembaga khusus untuk menjalankannya.’’
Upaya kodifikasi dan unifikasi yang selama ini dijadikan alasan untuk membuat KUHP baru agar tidak sama dengan produk Belanda juga dinilai tidak tepat olehnya. Pasalnya, kodifikasi dan unifikasi ialah istilah untuk mengumpulkan peraturan dan hukum yang tidak tertulis, tetapi dimengerti oleh masyarakat.
Fickar menilai KUHP tidak mendeskripsikan secara detail bentuk pidana dalam setiap pasalnya. UU yang bersifat khusus dan mendetail tetap masih dibutuhkan untuk menjaga perlakuan luar biasa bagi tindak pidana tersebut. (P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved