SEORANG teman mengunggah berita lama di grup aplikasi pertukaran pesan pada 25 Maret 2020. Berita itu berisi pernyataan Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020 yang isinya kira-kira pemerintah mengalokasikan anggaran sebagai insentif untuk menarik wisatawan dari negara-negara yang bukan episentrum virus korona. Si teman pengunggah berita tersebut menambahkan frasa 'melawan lupa'.
Hampir bersamaan dengan unggahan si teman, jagat maya disesaki unggahan ulang pernyataan Presiden Jokowi tersebut dengan disertai berbagai komentar yang isinya mempersalahkan Presiden. Nuansa 'melawan lupa' terasa juga dalam cicitan-cicitan di media sosial itu.
Saya menduga frasa 'melawan lupa' itu dicantumkan untuk mengingatkan kita, supaya kita tidak lupa, bahwa pemerintah salah besar mengambil kebijakan itu. Namun, ada jarak waktu sekitar 20 hari dari sejak Presiden Jokowi mengungkapkan kebijakan itu sampai orang ramai mempersoalkannya. Itu artinya ketika program itu diluncurkan, kita lupa melawan alias lupa mengingatkan pemerintah.
Pemerintah tentu punya alasan meluncurkan kebijakan itu. Alasannya ialah menjaga ekonomi tetap berputar di tengah pandemi covid-19. Karena itu, yang 'didatangkan' wisatawan dari negara-negara yang bukan episentrum covid-10. Pemerintah pun sudah menyiapkan protokolnya.
Dunia sedang menghadapi situasi yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Betul sejarah mencatat dunia pernah mengalami berbagai wabah. Akan tetapi, situasi dan kondisinya berbeda dan karakter virus yang mewabah juga sangat berbeda dan baru pula. Semua negara dalam kondisi belajar menghadapi pandemi covid-19 ini. Semua negara melakukan trial and error dalam melawan covid-19.
Tiongkok menjadi tempat awal berjangkitnya covid-19. Tiongkok belajar lebih dulu mengatasi virus korona tersebut dan pintar lebih dulu. Tiongkok kini relatif pulih. Negara-negara lain kini belajar dari Tiongkok. Amerika yang musuh bebuyutannya bahkan meminta bantuan kepada Tiongkok.
Benarlah ungkapan 'belajarlah sampai ke negeri China'. Ada yang menyebut ungkapan itu hadis atau pernyataan Nabi Muhammad SAW. Ada pula yang menyebutnya pepatah Arab. Entah hadis atau pepatah Arab, faktanya kita semua kini belajar dan meminta bantuan kepada Tiongkok.
Kebijakan memberi insentif pariwisata demi mendatangkan wisatawan dari negara-negara bukan episentrum covid-19 merupakan upaya pemerintah mengatasi pandemi korona serta dampak ekonominya. Pada saat itu, kebijakan tersebut boleh jadi tidak salah. Namun, ketika hampir seluruh negara terjangkit korona, kebijakan itu tentu tidak tepat lagi.
Anggap saja pemerintah waktu meluncurkan kebijakan itu sedang belajar menghadapi pandemi covid-19 dan dampaknya. Orang yang sedang belajar wajar bila melakukan kesalahan. Jangan marahi orang belajar dengan memberi embel-embel 'melawan lupa' segala.
Masa pemerintah tak boleh salah? Ungkapan 'tak boleh salah' bisa mematikan kreativitas. Orang enggan mencoba atau melakukan apa pun karena takut salah dan dipersalahkan. Yang paling penting ialah memperbaiki atau mengoreksi secepatnya. Toh, pemerintah telah mengoreksi dan urung menjalankan kebijakan insentif pariwisata tersebut. Lagi pula, siapa yang mau ke Indonesia ketika covid-19 belakangan menjangkiti makin banyak orang di sini.
Ada pula yang 'mempersalahkan' Presiden Jokowi enggan memutuskan lockdown lantaran khawatir dituduh 'mengikuti' kemauan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Presiden Jokowi itu orang terbuka.
Jokowi tanpa sungkan memuji Anies yang meluncurkan kebijakan meliburkan sekolah demi menghadapi covid-19. Sehari setelah Anies mengumumkan peliburan sekolah, Jokowi 'ikut-ikutan' Anies mengumumkan imbauan social distancing. Pun, pemerintah dalam waktu dekat menerbitkan aturan karantina atau lockdown wilayah.
Akan tetapi, Jokowi tak segan meminta transportasi publik di Jakarta dipulihkan setelah kebijakan Anies membatasi operasinya memunculkan kerumunan. Jokowi menyampaikan permintaan atau perintah itu tanpa mempersalahkannya.
Berhentilah saling menyalahkan karena hal itu bisa melemahkan. Sampaikanlah usul atau ide kepada pemerintah secara baik, tanpa mempersalahkan. Kita semua mesti bersatu untuk saling menguatkan demi keberhasilan menghadapi covid-19.
Informasi yang 'menyalahkan' ialah informasi yang menakutkan, dan sesuatu yang menakutkan itu, menurut para psikiater dan psikolog, bisa memperlemah daya tahan atau imunitas tubuh kita. Padahal, daya tahan dan imunitas saat ini merupakan tameng paling jitu untuk melawan covid-19.