PERDANA Menteri Inggris Winston Churchill benar dengan mengatakan, untuk mengukur sikap seseorang dilihat saja dari responsnya ketika menghadapi tantangan. Orang yang optimistis menjadikan tantangan sebagai kesempatan. Sebaliknya, orang pesimistis selalu menjadikan tantangan sebagai beban.
Sekarang hampir seluruh dunia dihadapkan kepada ancaman virus korona. Kita bisa melihat bagaimana respons yang diberikan bangsa-bangsa di dunia terhadap ancaman itu. Ada yang bahu-membahu membangun solidaritas, tetapi ada juga yang sibuk mencari kesalahan.
Bangsa Jepang dan Finlandia, misalnya, menunjukkan sikap solidaritas yang tinggi. Mereka mengumpulkan masker untuk membantu bangsa lain yang membutuhkan. Finlandia bahkan membuka pintu negaranya untuk tetap bisa dikunjungi dan kalau ada yang terkena virus korona pun mereka akan membantu merawatnya.
Mereka yang optimistis tidak menjadikan virus korona sebagai ketakutan. Singapura bahkan menjadikan momentum untuk promosi pariwisata mereka. Kecanggihan dalam mengelola virus korona mereka jadikan kekuatan. Meski sempat menaikkan kesiapsiagaannya menjadi oranye, tetapi tidak ada mortalitas akibat virus korona di sana.
Ancaman tidak boleh membuat hidup dan kemajuan itu sampai terhenti. Kita harus terus bergerak maju. Berulang kali kita sampaikan, ancaman virus korona harus menjadi momentum untuk membuat kita naik kelas dan menunjukkan diri sebagai bangsa berilmu pengetahuan tinggi.
Inilah kesempatan bagi ahli biologi kita untuk unjuk gigi. Kita memiliki Lembaga Eijkman yang merupakan tempat riset biologi molekular. Dari tempat ini dulu pernah dilahirkan ilmuwan Belanda Christiaan Eijkman yang kemudian bahkan menerima hadiah Nobel atas penemuannya terhadap penyakit beri-beri.
Tentu bukan berarti kita tidak perlu peduli terhadap virus korona. Yang harus kita lakukan ialah bagaimana hidup dengan kondisi seperti ini. Bagaimana kita menjaga diri dengan pola hidup lebih bersih, ikut bertanggung jawab apabila merasa sakit agar tidak menulari yang lain, dan siap siaga kalau lebih banyak warga terinfeksi agar tidak terjadi mortalitas.
Kita tahu bahwa perdagangan dunia akan terus melambat dalam beberapa bulan ke depan akibat isu virus korona ini. Pasar modal pun terus berfluktuasi karena ketidakpastian. Dalam kondisi yang menekan, janganlah kita menambah lagi beban itu dengan sikap pesimistis.
Dengan sekuat tenaga kita harus bisa bertahan dan juga bangkit menghadapi tantangan. Jangan sampai kita hanya pasrah apalagi menyerah. Banyak hal masih bisa kita kerjakan untuk membuat bangsa ini tetap kuat.
Masih banyak sumber daya alam yang kita bisa olah agar tetap menjadi bangsa produktif. Kita membutuhkan banyak energi dan selama ini hanya kita impor. Sekitar 43 cekungan minyak selama ini belum pernah kita eksplorasi. Sekarang seharusnya kesempatan untuk kita menggalakkan eksplorasi yang sudah sekitar 20 tahun tidak lagi bisa kita lakukan.
Bidang pertanian selama ini juga kita abaikan. Kita terlena dengan kebijakan impor yang akhirnya membuat kita malas dan menguras devisa negara. Sekarang kesempatan bagi kita untuk membangun kembali pertanian agar kita bisa memenuhi kebutuhan sendiri dan bahkan kelak bisa dijadikan komoditas ekspor.
Dengan pasar lebih dari 260 juta jiwa dan purchasing power parity US$4 triliun, kita mempunyai kekuatan pasar dalam negeri yang luar biasa. Dalam situasi perdagangan global yang menurun, pasar dalam negeri bisa menjadi bantalan sementara. Jangan biarkan justru produk luar yang memanfaatkan pasar dalam negeri kita.
Kalau bangsa lain mau memanfaatkan pasar dalam negeri, kita minta mereka untuk memproduksinya di Indonesia. Kita ajak mereka untuk berinvestasi di sini agar kita bisa ikut menikmati baik dalam bentuk modal yang dibawa ke Indonesia maupun lapangan pekerjaan yang diciptakan.
Kondisi global menuntut kita berpikir cerdas. Kita balikkan keadaan yang mengimpit sekarang ini sebagai modal untuk justru bangkit. Apalagi sekarang yang sedang kita upayakan ialah menarik investasi untuk menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja.
Kita harus menjadi bangsa optimistis seperti dikatakan Churchill. Kita tidak boleh menjadi bangsa yang selalu merasa kecil hati. Setiap ada tantangan dianggap sebagai kiamat. Kita harus percaya, selalu ada cahaya terang di ujung lorong apabila kita mau berpikiran terbuka.