Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
Kedipilihan. Kata ini muncul musiman saja. Biasanya bertebaran di kala pilkada tiba. Kerap diumbar para pengamat politik, lembaga survei, dan komentator di media massa. Sepertinya, mereka ingin menukar kata elektabilitas dengan kosakata yang berbeda. Mereka pun hanya memadankan makna sekadarnya: tanpa memikirkan bentuk dan logika.
Bagaimana kemunculan kata kedipilihan? Tampaknya ada kecenderungan memadankan kata-kata yang berakhiran -tas, yang notabene kata serapan, dengan diksi bahasa sendiri. Sebut saja kata capability diserap menjadi kapabilitas, acceptability menjadi akseptabilitas, dan electability menjadi elektabilitas.
Kata-kata hasil serapan itu: kapabilitas, akseptabilitas, dan elektabilitas sejatinya telah terakomodasi dalam diksi bahasa sendiri. Pemakai bahasa pun sedapat mungkin menggunakan bahasa Indonesia.
Bahasa serapan dapat dipakai bila dalam kondisi darurat semata. Sabagai contoh, kata kapabilitas dapat dipadankan dengan kata kemampuan, kata akseptabilitas dapat diganti dengan keberterimaan, kecocokan, atau kepantasan. Begitu pun kata elektabilitas dapat disesuaimaknakan dengan kata keterpilihan. Tidak ada makna yang hilang di sana. Kapabilitas dan kemampuan berbanding lurus secara makna. Karena itu, menurut saya, tidak ada alasan untuk memakai istilah yang berasal dari bahasa Inggris itu dan meninggalkan padanan Indonesianya.
Di tengah usaha memadupadankan kata hasil penyerapan dengan diksi bahasa sendiri inilah muncul kesalahbentukan kata. Misalnya saja, kata elektabilitas disesuaimaknakan dengan kata kedipilihan, kata akseptabilitas dibentukpadankan dengan kediterimaan. Realisasi pakaiannya terlihat dalam kutipan kalimat 'Perubahan pola politik ini mengindikasikan bahwa tingkat kediterimaan kalangan perempuan....'. Terlihat pula dalam kalimat 'Untuk mengukur potensi kedipilihan capres, faktor popularitas penting dilihat'.
Kemunculan kata kedipilihan dan kediterimaan berpangkal pada anggapan bahwa kata elektabilitas berarti 'mampu atau dapat dipilih' dan kata kediterimaan berarti 'dapat diterima'.
Seorang calon yang mampu dipilih banyak orang dianggap memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi. Pun orang yang dapat diterima di semua lapisan dianggap pula punya akseptabilitas yang tinggi. Sampai di sini, anggapan itu tidaklah salah. Dalam konstruksi aktif-pasif, bentuk dipilih sebetulnya pemasifan dari memilih. Bentuk diterima sebagai bentuk pasif verba menerima.
Yang justru keliru bentuk-bentuk pasif itu dilekati langsung oleh imbuhan ke-/-an sehingga membentuk kata kedipilihan dan kediterimaan. Padahal, dalam poliafiks, imbuhan ke-/-an dapat bergabung dengan imbuhan ter- atau ber-, seperti keterbatasan (batas), keterkaitan (kait), kebersamaan (dari dasar bersama), tetapi tidak bisa dengan pasif di-. Dalam poliafiks lain, kata memperlebarkan juga tidak berterima, kecuali diurai menjadi memperlebar atau melebarkan.
Keberadaan kata kedipilihan juga terjadi karena menghindari kata keterpilihan. Anggapan ini muncul karena terpilih dimaknai 'tidak sengaja dipilih'. Padahal, imbuhan ter- tidak semua berarti 'tidak sengaja', tetapi ada pula yang bermakna 'dapat', seperti kata terangkat (dapat diangkat), terjawab (dapat dijawab), dan terurus (dapat diurus). Karena itu, segeralah beralih pada keterpilihan dan keberterimaan tanpa memakai bentuk kata yang mengganggu telinga itu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved