Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Kebebasan Berpendapat dan Disensus

Otto Gusti Dosen Filsafat Politik dan HAM di STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT
03/11/2016 00:15
Kebebasan Berpendapat dan Disensus
(PA)

"UNJUK rasa adalah hak demokratis warga, tetapi bukan hak memaksakan kehendak dan bukan hak untuk merusak. Pemerintah akan menjamin hak menyampaikan pendapat setiap warga negara. Namun, pemerintah juga akan mengutamakan ketertiban umum." Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebarkan Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden itu menanggapi rencana unjuk rasa 4 November, sebagai protes atas pernyataan kontroversial Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu.

Jokowi menekankan pentingnya kebebasan berekspresi sebagai fundamen etis sebuah tatanan demokratis. Tanpa kebebasan berpendapat, tak mungkin terbangun opini publik rasional yang menjadi jantung bagi demokrasi yang sehat. Pentingnya kebebasan berpendapat sudah ditekankan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948.

Hal itu dirumuskan secara jelas dalam pasal 19, 'Setiap orang memiliki kebebasan berpendapat dan menyatakan pikiran; hak ini mencakup kebebasan untuk menganut berbagai pendapat tanpa diganggu serta mencari, menerima, dan menyampaikan aneka keterangan dan pendapat melalui media apa pun dan tanpa memandang batas-batas negara'. Karena itu, setiap aksi sensor berita yang dilakukan negara sudah bertentangan dengan hak asasi manusia.

Batasan
Sebagai pilar demokrasi dan hak yang harus dijamin undang-undang, kebebasan berpendapat tentu tidak berlaku absolut. Ia hanya dilindungi dalam relasi dengan hak-hak asasi lainnya. Kebebasan berpendapat akan berakhir ketika ia dipakai untuk melecehkan martabat atau kehormatan orang lain. Penggunaan kebebasan tak pernah boleh membatasi kebebasan orang lain. Karena itu, rasialisme dan kekerasan fisik ialah bentuk pelanggaran martabat manusia dan tak pernah ditoleransi atas nama kebebasan sekalipun.

Demonstrasi adalah hak asasi warga negara untuk menyampaikan aspirasi. Namun, orasi atau spanduk yang berisi slogan yang melecehkan kelompok etnik, merendahkan agama tertentu, dan berisi ancaman membunuh sudah bertentangan dengan prinsip martabat manusia dan mengganggu ketertiban umum.

Dalam kondisi seperti ini, negara tanpa kompromi harus menjalankan kewajibannya untuk melindungi (obligation to protect) individu atau kelompok rentan yang terancam hak-hak dasarnya. Dalam konteks ini pernyataan Jokowi benar, “Aparat keamanan sudah saya minta bersiaga dan melakukan tugas secara profesional jika ada tindakan anarkistis oleh siapa pun.”

Disensus
Dalam pentas demokrasi, aksi demonstrasi sesungguhnya hal biasa sejauh disampaikan secara damai dan beradab. Demokrasi ialah disensus dan senantiasa ditandai dengan paradoks yang tak terakomodasi dalam pandangan demokrasi konsensual (Bdk Chantal Mouffe, 2008). Paradoks itu muncul karena demokrasi menjembatani dua aspek yang bertentangan, yakni kebebasan individual (kebebasan berekspresi) dan prinsip kesetaraan (martabat yang sama). Menurut Mouffe, ketegangan di antara keduanya tak mungkin terjembatani dan merupakan roh pendorong gerakan demokrasi.

Pertarungan dalam demokrasi disensus atau radikal berakar dalam yang sosial. Bagi Mouffe, yang sosial tidak terbentang secara positif di hadapan kita, tetapi senantiasa mengaktualisasikan dirinya sebagai sebuah bentuk diskursivitas yang kompleks. Bagi Mouffe, bukan referensi pada dunia empiris yang menciptakan makna, melainkan makna hanya terkonstruksi di tengah-tengah diskursus sosial dan politik.

Diskursus ialah sebuah totalitas sosial yang senantiasa berubah secara dinamis. Atas dasar dinamika tersebut dan ketidakmungkinan mereduksi yang sosial pada makna tunggal, masyarakat selalu dipersoalkan dan rapuh. Karena itu, selalu muncul pertarungan-pertarungan wacana baru guna menstabilisasi diskursus. Kondisi inilah yang dikenal dengan yang politis.

Demokrasi ialah pluralisasi pertarungan-pertarungan politis. Namun, pertarungan itu tidak bersifat antagonistik. Maka dalam demokrasi disensus terjadi proses transformasi konseptual dari antagonisme kekuatan-kekuatan sosial menuju agonisme. Agonisme menjadikan oposisi bukan musuh, melainkan lawan yang posisinya dapat direbut secara militan.

Momen militansi ini merupakan motor penggerak demokrasi yang diabaikan dalam demokrasi liberal prosedural. Atau dalam ungkapan Mouffe sendiri, "Politik selalu berkaitan dengan sebuah dimensi keberpihakan penuh militansi. Justru itu yang hilang dewasa ini pada glorifikasi demokrasi tanpa militansi dan keberpihakan." Demokrasi radikal memandang pluralisme bukan sekadar sebuah faktum yang harus diterima, melainkan juga prinsip aksiologis. Karena itu, ia dianggap konstitutif dalam masyarakat, harus diterima dan perlu dikembangkan. Atas dasar prinsip aksiologis pluralisme ini, kohesi sosial tidak lagi diciptakan lewat konsensus seperti dalam liberalisme, tapi melalui pertarungan wacana politis.

Dalam kacamata demokrasi radikal, demonstrasi 4 November 2016 dapat saja dipandang sebagai representasi militansi dan keberpihakan dalam berdemokrasi. Agar hal itu tercapai, Mouffe menganjurkan cara penyampaian aspirasi yang terjadi dalam kerangka 'kewargaan sipil demokratis'. Ini penting guna mengatasi bahaya bahwa disens politis berubah menjadi konflik berkepanjangan sehingga membahayakan tatanan demokratis bernama NKRI.

Itu berarti sebuah demokrasi plural menuntut sebuah takaran konsensus tertentu dan membutuhkan loyalitas terhadap nilai-nilai yang membangun prinsip-prinsip etis-politisnya. Konsensus dimaksud ialah kesetiaan pada prinsip kebebasan dan kesetaraan untuk semua.

Untuk konteks Indonesia, secara historis konsensus minimal tersebut ialah Pancasila yang menjadi perekat sekaligus identitas kolektif masyarakat Indonesia yang multikultural. Setiap identitas kolektif tak pernah tuntas dan selalu dalam proses menjadi. Atau, dalam bahasa Jean-Luc Nancy, seorang filsuf Prancis, “Niemals identitat, immer identifizierungen'-'Tak pernah ada identitas, tapi proses identifikasi'.

Ketika manusia berasumsi dapat merumuskan identitas secara tuntas, itulah awal absolutisme dan fundamentalisme yang menyingkirkan rasa persatuan dalam kebinekaan yang menjadi basis normatif tatanan sosial bangsa Indonesia. Ia melukai toleransi dan menghancurkan multikulturalisme yang telah dibangun bertahun-tahun.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya