Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
RENCANA pemerintah untuk mengonversi 20 juta hektare (ha) lahan hutan menjadi food estate (FE) atau lumbung pangan dan energi (Media Indonesia, 2-1-2025) sebagai upaya meningkatkan ketahanan pangan, telah menuai berbagai reaksi. Di satu sisi, kebijakan ini dipandang sebagai langkah strategis untuk mengatasi potensi krisis pangan di masa depan. Namun, di sisi lain, timbul kekhawatiran akan dampak negatif terhadap lingkungan, masyarakat adat, dan keberlanjutan sektor pertanian.
Areal 20 juta ha lahan hutan adalah jumlah yang luas. Tujuan FE dalam konversi itu memunculkan pertanyaan penting tentang bagaimana menyeimbangkan kebutuhan ketahanan pangan dengan perlindungan lingkungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat.
Perlindungan lingkungan yang longgar atas aksi konversi lahan dapat menyebabkan deforestasi, hilangnya habitat satwa liar, dan penurunan kualitas air.
Di dalam dan sekitar hutan terdapat warga masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Mereka berpotensi kehilangan mata pencaharian dan identitas budaya saat FE ditetapkan secara top down.
Penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat, serta memastikan bahwa proyek FE tidak hanya meningkatkan produksi pangan, tetapi juga berkelanjutan secara sosial dan ekonomi.
KEKHAWATIRAN YANG BERALASAN
Kekhawatiran terhadap konversi lahan dalam skala masif belakangan ini bukan tanpa alasan. Sejarah mencatat bahwa proyek-proyek FE sebelumnya sering kali diikuti dengan minimal empat masalah, yaitu konflik agraria (Wittman et al, 2015), deforestasi (Wartiningsih et al, 2024), kerusakan lingkungan (Yeny et al, 2022), dan ketidakberlanjutan ekonomi (Juhandi et al, 2024).
Proyek lumbung pangan pada lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah (Osaki et al., 2015) yang dikenal dengan nama ‘proyek 1 juta hektare lahan gambut’ di era Presiden Soeharto, hanyalah menjadi proyek yang gagal dan meninggalkan kerusakan lingkungan yang sangat masif.
Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia mengalami deforestasi yang signifikan. Negeri ini telah kehilangan tutupan hutan hingga 20 juta ha dalam satu dekade. Antara tahun 2000 sampai 2012, Indonesia kehilangan lebih dari 6,02 juta ha hutan primer, dengan tingkat kehilangan yang terus meningkat setiap tahunnya (Margono et al, 2014).
Dekade sebelumnya, dari tahun 1950 hingga 1997, sekitar 59 juta ha hutan mengalami deforestasi. Antara tahun 1997 dan 2015 terdapat tambahan 9 juta ha hutan yang hilang (Tsujino et al, 2016). Tingkat deforestasi di Indonesia bahkan melampaui Amazon, Brasil, pada 2012 (Wijaya et al, 2015; Margono et al, 2014). Di Papua saja terjadi penggundulan hutan yang signifikan. Dari 2001 hingga 2019, sekitar 0,75 juta ha hutan tua telah ditebang (Gaveau et al, 2021).
Konversi lahan yang luas juga berpotensi mengancam keanekaragaman hayati dan ekosistem alami (Miettinen et al, 2012, 908–918). Hutan dan lahan gambut yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dapat menyebabkan hilangnya habitat satwa liar, penurunan kualitas air, dan peningkatan emisi gas rumah kaca. Selain itu, masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam di wilayah tersebut juga berisiko kehilangan mata pencaharian dan identitas budaya.
MENCARI SOLUSI YANG BERKELANJUTAN
Hutan tropis Indonesia (HTI) berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim dan mencegah erosi. HTI berperan sebagai paru-paru dunia dengan menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup di seluruh planet. Selain itu, HTI juga menyediakan jasa lingkungan yang vital, seperti air bersih, udara bersih, dan pencegahan erosi.
Kita tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalu. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan minimal lima solusi berikut yang tidak hanya meningkatkan produksi pangan, tetapi juga berkelanjutan secara lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Pertama, basis kearifan lokal dalam pengelolaan hutan. Contoh konkret mengenai kearifan lokal dalam Perhutanan Sosial (PS) telah kita baca. Studi Antropologi Ekologi (AE) pada masyarakat suku Badui di Banten (Asteria et al, 2024) mengungkapkan bagaimana kepercayaan dan pantangan adat mereka berkontribusi pada pelestarian hutan.
Studi kasus AE di Pahang, Malaysia (Nordin & Zakaria, 2016) mengungkapkan pengetahuan masyarakat hutan tentang berbagai jenis tumbuhan obat dan cara pengolahannya yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Kedua, intensifikasi pertanian. Alih-alih membuka lahan baru yang luas, pemerintah dapat fokus pada peningkatan produktivitas lahan pertanian yang sudah ada. Hal itu dapat dilakukan melalui penerapan teknologi pertanian modern, penggunaan varietas unggul, dan pengelolaan sumber daya air yang efisien.
Ketiga, diversifikasi pangan. Ketergantungan pada satu atau dua jenis tanaman pangan dapat membuat sistem pangan kita rentan terhadap perubahan iklim, serangan hama penyakit, dan fluktuasi harga pasar. Oleh sebab itu, mengembangkan variasi tanaman pangan lokal dan meningkatkan konsumsi sumber pangan alternatif dapat menjadi solusi yang lebih berkelanjutan.
Keempat, keterlibatan masyarakat dan tata ruang yang bijak. Keterlibatan masyarakat lokal juga merupakan kunci keberhasilan proyek FE ini. Warga masyarakat adat dan petani lokal memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berharga tentang pengelolaan sumber daya alam. Melibatkan mereka dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan dapat membantu mencegah konflik agraria dan memastikan bahwa proyek ini memberikan manfaat yang nyata bagi mereka.
Terakhir, tata ruang yang bijak juga diperlukan. Pemerintah perlu membuat rencana tata ruang yang komprehensif dan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Lahan-lahan yang memiliki nilai konservasi tinggi, seperti hutan primer dan lahan gambut, harus dilindungi dan tidak boleh dialihfungsikan menjadi lahan pertanian.
Konversi 20 juta ha lahan untuk FE adalah kebijakan yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Namun, kebijakan itu juga membawa risiko yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk ditemukan solusi yang berkelanjutan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Intensifikasi pertanian, diversifikasi pangan, keterlibatan masyarakat, dan tata ruang yang bijak berpotensi dapat mencapai tujuan ketahanan pangan tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved