Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
SEORANG perempuan pekerja yang baru turun dari Pajero itu terlihat berbaur bersama warga lainnya, termasuk tukang ojek dan dua anak kecil berkostum badut. Mereka berebut membeli aneka kudapan untuk berbuka puasa di sebuah lapak penjual takjil pinggir jalan. Kolak, bubur sumsum, biji salak, lemper, lontong, aneka gorengan, dan es campur, sepertinya telah menggoda selera mereka pada senja yang dahaga itu.
Para pedagang dadakan itu biasanya memang mulai menggelar lapak mereka selepas waktu Asar. Namanya dadakan, etalase untuk menyajikannya pun seadanya, sebuah meja kecil yang kadang cuma dilapisi plastik transparan sebagai penutup untuk menghindari debu atau lalat. Tidak perlu prestise. Mereka juga tidak sedang membeli citra layaknya yang sering kita temui di kedai kopi waralaba ternama. Begitu pun penjualnya, tidak perlu mengonstruksi lapak jualannya semenarik mungkin, macam toko roti yang dilengkapi kincir angin agar terkesan berasal dari negeri yang jauh.
Mereka yang bertransaksi takjil di pinggir jalan yang saya temui pada hari kelima Ramadan itu murni untuk memenuhi kebutuhan perut, bukan yang lain. Para penjualnya pun tidak perlu repot ikut kursus mahal-mahal dengan chef terkenal, sekadar untuk menyajikan kolak dan aneka gorengan. Barangkali yang mereka pusingkan ialah harga minyak goreng dan gas elpiji yang relatif mahal. Namun, itu pun mungkin masih bisa disiasati dengan sedikit mendongkrak harga makanan yang dijual. “Pembeli paham. Produsen dan konsumen sama-sama maklum,” kata seorang pedagang.
Sayangnya, pejabat yang mengurusi komoditas tersebut justru yang kurang memahami hal itu. Apakah mereka sadar dengan melambungnya berbagai harga komoditas, baik pangan maupun energi, bakal berimbas kepada menurunnya konsumsi masyarakat yang ujung-ujungnya bakal melemahkan roda perekonomian? Apakah mereka tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu jika perekonomian baru saja siuman setelah pingsan dihantam pandemi? Padahal, para pengusaha yang tergabung dalam Kadin berharap Ramadan dan Lebaran tahun ini dapat jadi momentum membangkitkan ekonomi, termasuk sektor informal.
Oleh karena itu, kiranya dapat dimaklumi kemarahan Presiden Jokowi dalam sidang kabinet paripurna, beberapa hari lalu. Dia bahkan menyebut sebagian para pembantunya itu tidak punya sense of crisis dan rasa sensitif terhadap kesulitan masyarakat. Mereka tidak menjelaskan ke publik mengapa dan apa yang menyebabkan harga sejumlah komoditas itu naik. Dalam kesempatan itu, dia juga meminta para menterinya fokus bekerja bukan mengurus hal lain di luar bidangnya. Apalagi sampai melanggar pagar konstitusi.
Kita tentu berharap apa yang disampaikan Presiden disikapi serius dan ada solusi nyata dari para bawahannya. Jangan menganggap teguran itu sebagai bentuk upaya mencari kambing hitam dan semacamnya. Itu suuzan namanya. Enggak baik, terlebih ini di bulan suci. Para pejabat itu sebaiknya fokus saja bekerja, jangan malah sibuk jualan citra dan main intrik. Lagi pula cara itu sudah basi dan enggak laku lagi, bahkan mungkin jauh kalah popular dari takjil.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved