Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Potret Ekonomi Ramadan

Mukhaer Pakkanna Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, dan Sekretaris Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah
06/4/2022 05:00
Potret Ekonomi Ramadan
(MI/Seno)

BARU-BARU ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau sejumlah pasar di beberapa wilayah Jawa Tengah. Kepala Negara ingin memastikan ketersediaan bahan pokok, terutama minyak goreng (Media Indonesia, 31/3). Kemudian, beliau meminta jajarannya untuk mengendalikan harga menjelang Ramadan hingga Hari Raya Idul Fitri 2022. Galibnya, harga selalu naik di setiap momentum bulan suci Ramadan, tidak boleh dibiarkan terlalu tinggi dan harus terjangkau oleh masyarakat.

Berbeda dengan dua kali Ramadan sebelumnya (2020 dan 2021), pada Ramadan kali ini, aktivitas ekonomi nasional mulai menggeliat dan menghadapi tiga hal. Pertama, tingkat paparan pandemi covid-19 semakin jauh melandai yang diikuti tingkat vaksinasi nasional makin baik. Momentum ini sejatinya menjadi peluang dalam mengakselerasi proses pemulihan ekonomi.

Kedua, sejak akhir 2021 dan awal 2022, dinamika ekonomi dunia berhadapan dengan kenaikan sejumlah harga komoditas primer disertai gejala kenaikan suku bunga di beberapa negara. Ihwal itu, memantik kenaikan inflasi di sejumlah negara maju yang diiringi penguatan daya beli (konsumsi).

Ketiga, sejak 24 Februari 2022, invansi Rusia terhadap Ukraina telah mengubah lanskap proses pemulihan ekonomi dunia. Tingkat inflasi di Amerika Serikat, pada Februari 2022 atau sebelum invansi mulai terdongkrak tinggi ke level 7,9% secara tahunan. Ini persentase tertinggi sejak 40 tahun lalu. Demikian pula Inggris, mencapai 5,5% atau tertinggi sejak Maret 1992. Jerman mencatat 5,1% tertinggi dalam 30 tahun, Italia 5,3%, dan Prancis 3,3%.

 

Roller coaster ekonomi

Pada triwulan pertama 2022 (Januari–Maret), tren pemulihan ekonomi dunia terlihat makin nyata. Demikian pula ekonomi nasional. Sejak akhir 2021, pelbagai estimasi telah menjustifikasi tren itu. Kemudian, fakta-fakta geliat ekonomi awal 2022 sudah mengamininya.

Bahkan, berdasar tren kurva kasus paparan pandemi covid-19 terlihat terus melandai. Indikator-indikator ekonomi terekspresikan pada capaian positif pelbagai leading indicator di Tanah Air, misalnya, pertama, neraca perdagangan, mengalami surplus rentang 18 bulan terakhir (2021) sebesar US$35 miliar.

Kedua, purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Indonesia pada Desember 2021 tercatat pada level 53,5%. Besaran ini melanjutkan tren ekspansif bertalian penguatan aktivitas ekspor produk Indonesia, terutama produk ekstraktif dan komoditas primer (batu bara, CPO, nikel, aluminiun, dan lainnya).

Ketiga, merujuk Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan tertekan menjadi 9,71% pada September 2021. Demikian juga angka pengangguran terbuka berhasil di tekan di kisaran 6,5%.

Secara global pun, laporan World Economic Outlook (WEO) International Monetary Fund (IMF) edisi Januari 2022 menunjukkan setelah mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,9% pada 2021. Sementara itu, perekonomian global diprediksi mengalami moderasi ke level 4,4% pada 2022 atau turun -0,5% jika dibandingkan dengan WEO Oktober 2021 dan 3,8% pada 2023.

Di kawasan ASEAN-5, pertumbuhan ekonomi diestimasi berada dalam tren meningkat. Dalam rentang 2021-2023, Indonesia diprediksi bertumbuh kuat sebesar 3,3%, 5,6%, dan 6,0%, sedangkan Malaysia 3,5%, 5,7%, dan 5,7%. Dalam periode yang sama, pertumbuhan PDB Thailand akan berada pada 1,3%, 4,1%, 4,7%, sedangkan Filipina 4,6%, 6,3%, dan 4,9%.

Geliat ekonomi pada triwulan pertama 2022 itu tampaknya agak sulit berlanjut ibarat permainan roller coaster. Hal itu setidaknya disandera dua hal, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Hambatan eksternal, setidaknya terkait dengan pertama, kekhawatiran penyebaran varian covid-19 yang belum tuntas dan melahirkan ketimpangan antarnegara, antarsektor, dan antarpendapatan.

Kedua, inflasi ini terus membumbung tinggi, seiring menanjaknya harga minyak mentah global yang telah mendekati angka US$120 per barel.

Ihwal ini, kian diperparah jika negara-negara Barat kompak mengembargo minyak mentah dan gas dari Rusia, sebagaimana yang telah dilakukan Amerika Serikat dan Inggris. Padahal, mengonfirmasi data International Energy Agency (IEA), sampai Januari 2022, Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga di bawah Amerika Serikat dan Arab Saudi. Rusia juga tercatat sebagai eksportir minyak terbesar dunia, dengan kapasitas pasokan sekitar 5 juta barel per hari atau 12% dari total perdagangan global. Sebanyak 60% minyak Rusia diekspor ke Eropa dan 20% ke Tiongkok.

Kemudian, akan makin runyam terkait dengan masalah jalur distribusi pasokan barang dunia. Tentu, biaya logistik naik karena jalur maritim di Laut Hitam (black sea) otomatis terganggu. Akibatnya, indeks pengiriman kontainer global (GCFI) pun mulai merangkak naik. Malah sebelum invasi pun riset supply chain Indonesia (SCI) telah memprediksi tarif pengangkutan kontainer akan terus meningkat hingga 80%. Hal itu dipicu rencana pemberlakuan sistem floating booking space khusus untuk pengiriman kontainer.

Konsekuensinya, memantik inflasi dan gangguan pasokan, selanjutnya pelambatan pertumbuhan ekonomi global akan nyata. Padahal, sebelumnya, Bank Dunia pada akhir 2021 sangat optimistis mengestimasi pertumbuhan ekonomi 2022 akan mencapai 5,5% seusai ganasnya pukulan pandemi covid-19.

Terkait dengan hambatan internal, terlihat pada rendahnya daya saing, ekonomi biaya tinggi, masih besarnya pungutan resmi/tidak resmi, kebocoran anggaran negara, ekonomi rente, dan seterusnya. Hambatan ini selalu mengganggu proses pemulihan ekonomi tersebut sehingga berdampak pada sulitnya perekonomian Indonesia keluar dalam jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap).

Situasi ini terkonfirmasi, ekonomi Indonesia sulit naik ke status negara dengan pendapatan tinggi. Tersandera dalam angka pendapatan per kapita di bawah US$3.996 per tahun. Selain itu, berdampak pada naiknya angka incremental capital output ratio (ICOR). Angka ICOR Indonesia masih bertengger tinggi mendekati 7%, sementara rerata negara ASEAN hanya 3,5%. Tingginya angka ini mengirim pesan masih rendahnya produktivitas, rendahnya daya saing, inefisiensi, dan banyaknya biaya siluman yang menghambat mesin birokrasi ekonomi.

 

Ekonomi Ramadan

Beranjak pada konstelasi ekonomi global dan nasional seperti itu, tentu akan terus memengaruhi aktivitas pola ekonomi pada bulan suci Ramadan ini. Paling tidak, pertama, terus naiknya harga. Pemantik utama inflasi saat ini dipicu demand-pull inflation (inflasi tarikan permintaan) dan cost-push inflation (inflasi dorongan biaya), akan bertemu mendongrak harga sehingga disebut bottleneck inflation.

Ihwal ini makin menguatkan karena tingkat mobilitas penduduk selama Ramadan hingga sesudah Idul Ftri 2022 akan meningkat tajam. Mobilitas ini dipicu persyaratan perjalanan antardaerah, antarpulau, dan antarnegara kian diperlonggar disertai tingkat pengeluaran konsumsi kurvanya makin naik.

Menanjaknya tingkat permintaan selama Ramadan, memacu peningkatan jumlah uang beredar. Jika jumlah uang beredar naik, secara otomatis harga juga akan mengalami kenaikan. Bahkan, data Bank Indonesia (BI) memproyeksikan, kebutuhan uang tunai pada periode Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri 2022 ini akan mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan periode sama pada 2021. Kebutuhan uang tunai sebesar Rp174,3 triliun naik 13,4% dari periode 2021. Ihwal ini juga akan diiringi pengeluaran alokasi pencairan bansos (bantuan sosial) tunai kepada masyarakat rentan.

Selain itu, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% per 1 April 2022 menjadi komponen lain yang akan memantik harga. Menurut simulasi, kenaikan itu berpotensi berkontribusi 0,3% hingga 0,35% pada April 2022 dari inflasi Maret 2022 sebesar 0,66% mtm.

Sejak invasi Rusia, cost-push inflation makin nyata. Asumsi makro harga minyak US$63 per barel yang dipatok APBN 2022 telah mendorong terkereknya harga minyak dunia menjadi di atas US$100 per barel.

Indonesia merupakan net importir minyak mentah, yakni produksi minyak mentah hanya 700.000 barel per hari (bph). Sementara itu, konsumsinya 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph. Defisit minyak 500.000 barel tentu mengandalkan impor.

Di sisi pengeluaran, memberikan tekanan pada APBN 2022. Dengan target defisit APBN 4,85%, alokasi anggaran subsidi energi Rp134,02 triliun, terdiri atas subsidi jenis BBM tertentu dan elpiji 3 kg sebesar Rp77,54 triliun serta subsidi listrik Rp56,47 triliun.

Meroketnya harga minyak dan gas ini akan terus memantik kenaikan harga pada bulan Ramadan dan sesudahnya. Mengonfirmasi riset Maybank dalam IHK (indeks harga konsumen), bobot energi menyumbang 10%–18%: Indonesia (17,5%), Filipina (14,8%), Malaysia (13,7%), dan Thailand (12%) (Adityaswara, 2022).

Merujuk data S&P Global Commodity Insights (2/2), Rusia telah melarang ekspor amonium nitrat (AN), bahan dasar pembuatan pupuk, hingga 1 April 2022. Tentu ini bakal memantik kenaikan harga pupuk. Sebanyak 15,75% pupuk impor Indonesia dari Rusia. Jika hambatan amonium nitrat dan pupuk di Rusia berlangsung lama, harga pupuk subsidi akan melangit, memengaruhi biaya pertanian.

Di lain sisi, konferensi Food & Agriculture Organization (FAO) di Roma, Italia, pada 10-11 Maret 2022, juga mengestimasi skenario jangka pendek (2022-2023), harga pangan dan pakan internasional akan meningkat 8%-22%. Harga gandum naik 21,5%, jagung naik 19,5%, biji-bijian, terutama bunga matahari naik 17,9%, dan berakibat naiknya minyak nabati lain sebagai substitusi.

Implikasi dari situasi di atas, ekonomi dunia akan dibayangi dengan gejala stagflasi. Merujuk Iain MacLeod, United Kingdom Chancellor of the Exchequer, dalam pidatonya di parlemen pada 1965, stagflasi merupakan varian dari konjungtor ekonomi yang setiap rentang waktu tertentu menghantui aktivitas ekonomi makro. Di saat inflasi merangkak naik, kemudian diiringi pertumbuhan ekonomi nasional yang masih slow down (bergerak turun), stagflasi mulai membayangi. Ihwal ini kian mengkhawatirkan, jika disertai angka pengangguran tinggi.

Selain itu, makin meningkatnya alokasi pengeluaran konsumsi selama bulan Ramadan, menandakan daya beli masyarakat mulai pulih. Pemulihan terlihat pada level kelas menengah-atas yang selama pandemi covid-19 ini menahan atau menyimpannya dananya di pelbagai instrumen investasi dan tabungan. Akibatnya, industri Ramadan akan semakin semarak.

Kondisi ini memancing penetrasi industri dan pasar untuk menyelinap masuk ke ruang-ruang semarak Ramadan. Bahkan, galibnya pada tahun-tahun sebelum pandemi covid-19, pemilik modal (produsen dan pemasok) selalu ‘membajak’ Ramadan dari sudut pandang industri kapitalistik dan meresponsnya sebagai business opportunity. Tentu dengan mudahnya para pemilik modal dapat memanfaatkan ruang Ramadan untuk meraih keuntungan maksimal dari sisi supply side.

Di sudut lain, demand side selama bulan Ramadan tentu naik akibat kebutuhan (permintaan) yang tinggi untuk bahan pokok, jasa, dan produk-produk strategis lainnya. Ihwal ini, dijustifikasi dengan mobilitas penduduk makin tinggi. Naiknya permintaan masyarakat, tentu menjadi peluang kegiatan industri dan pasar pada bulan Ramadan ini akan tetap terjebak dalam pola selebrasi.

Di sinilah seorang ekonom klasik, John Baptiste Say (1767–1832) dalam bukunya, Traite d’Economie Politique (1903), menyebutnya supply creates its own demand. Namun, para ekonom klasik itu tidak pernah menyinggung pasar distortif yang penuh moral hazard, dalam penguasaan rantai pasokan dan distribusi, oleh pihak tertentu dalam mendeterminasi harga di tingkat supply side.

Dalam bulan Ramadan itulah betul-betul menjadi ‘lahan basah’ yang sangat menggiurkan bagi pemilik modal, terutama pelaku industri besar. Tentu pelaku industri mengeluarkan miliaran, bahkan triliunan juta rupiah biaya iklan untuk menghipnotis konsumen. Untuk menguatkan perannya sebagai pelaku industri Ramadan, para pelaku industri dan media semakin tampil ‘islami’, mulai simbol berpakaian hingga simbol-simbol kalimat marketing yang terasa lebih spritualistik.

Oleh karena itu, di tengah roller coaster-nya proses pemulihan ekonomi nasional, substansi Ramadan harus kembali diluruskan. Substansi puasa ialah jihad untuk melepaskan diri dari pelbagai basil (bakteri) dunia, yang kerap mengontaminasi eksistensi kefitrian manusia. Karena itu, setiap Ramadan, sejatinya dijadikan momen simbolis agar pelbagai jenis basil itu harus dienyahkan. Karena itu, sifat-sifat materialistis harus diminimalkan dan lebih mengabdi pada lakon eskatologis demi kesucian ibadah puasa.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya