Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
KONFLIK Rusia-Ukraina memperhadapkan dunia pada ancaman baru. Tatkala mesiu dan anyir darah masih mengudara di seantero Ukraina, muncul kekhawatiran baru: nuklir. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pada 1 Maret lalu mengancam Barat. Dikatakannya, jika Barat (AS, Prancis, dan Inggris) campur tangan dalam konflik Rusia-Ukraina, Rusia tidak segan menggunakan senjata nuklir. Mendadak sontak dunia gentar.
Terbayang horor Hiroshima-Nagasaki terulang lagi. Padahal, sebelumnya Rusia menduduki Chernobyl, bekas kompleks instalasi nuklir yang meledak pada 1986. Tidak cukup itu. Beberapa hari kemudian giliran instalasi nuklir di Zaporizhzhia, pembangkit listrik tenaga nuklir terbesar di Eropa, diserbu dan diduduki tentara Rusia. Bagaimana membaca faktor nuklir dalam konflik Rusia-Ukraina?
Memori kolektif masyarakat internasional terhadap penggunaan nuklir dalam perang selalu dalam konotasi horor nan mengerikan: kemusnahan massal. Tapi para ahli hubungan internasional dan strategi perang hampir sepakat: alat perang (nuklir termasuk di dalamnya) justru bisa menjadi alat untuk menghindari perang (perang yang lebih besar, atau perang nuklir itu sendiri).
Thomas Schelling, ahli strategi nuklir dari Harvard University, Amerika Serikat, mengatakan dalam teori klasiknya tentang deterensi (Arms and Influence, 1966): penggunaan kekerasan dan pemaksaan secara diplomatik (dalam bentuk pernyataan) adalah cara untuk ‘mengubah perilaku musuh’. Artinya, dalam situasi perang, musuh akan berpikir dua kali untuk menyerang balik jika mengetahui risiko yang akan dialami. Tampaknya, jurus ini dimainkan oleh Putin dalam konfliknya dengan Ukraina.
Ketika Barat menjatuhkan sanksi ekonnomi terhadap Rusia, Putin pun membalas dan mengancam. Beberapa hari setelah memerintahkan militernya menyerbu Ukraina, Putin menggertak Barat. Dia memerintahkan ahli nuklirnya untuk menyiagakan senjata nuklirnya dalam posisi high alert, siaga penuh. Putin tidak main-main: dia perintahkah tentara nuklirnya untuk menjadi bagian satuan khusus tempur dalam perang Rusia-Ukraina.
Seturut dengan teori deterensi, sepertinya ancaman dan gertakan Putin ini ada hasilnya. Minimal untuk sementara waktu. Mulanya dunia sangat khawatir. NATO jauh-jauh hari sudah mempersiapkan personel dan peralatan militer untuk membantu Ukraina. Rusia mengancam, jika Barat ikut campur tangan secara fisik dan langsung di palagan Ukraina, Rusia akan menggunakan senjata nuklir. Sangat mungkin sebab ancaman Rusia ini sempat terdengar kabar NATO ragu membantu Ukraina.
Presiden Ukraina Zelensky sendiri secara terbuka menyatakan kekecewaannya terhadap sikap NATO. Zelensky merasa ditinggalkan. NATO Cuma memberi harapan palsu. Meski akhirnya NATO, AS dan Uni Eropa bersedia membantu, bantuan itu diberikan secara tidak langsung. Belakangan diketahui, peralatan perang bantuan NATO hanya disiagakan di negara-negara Eropa Timur yang berbatasan dengan Ukraina.
Menekan kemungkinan perang
Maju mundurnya NATO untuk membantu Ukraina menunjukkan bagaimana faktor nuklir berperan dalam menekan kemungkinan perang. Untuk memahami ancaman nuklir dalam perang Rusia-Ukraina, setidaknya bisa dipindai dari dua perspektif. Pertama, dalam perspektif politik perang. Meski horor yang diakibatkannya sungguh mengerikan, nuklir dinilai mampu melindungi negara dari kemusnahan massal seperti tragedi Hiroshima-Nagasaki. Analis keamanan internasional menduga, perang nuklir tidak pernah terulang lagi karena ada rezim internasional yang membatasi pengembangan senjata nuklir, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT).
Pada 1970-an analis memperkirakan, sampai akhir abad ke-20 setidaknya ada 20-30 negara lagi yang akan memiliki senjata nuklir selain lima negara nuklir yang ada saat itu (AS, Uni Soviet, Inggris, Prancis, dan Tiongkok). Namun, nyatanya, sampai tahun 2000-an, negara yang memiliki senjata nuklir hanya bertambah empat: India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara (Fred Kaplan, The Real Nuclear Option, Slate Group, 2005). Ini menunjukkan bahwa NPT cukup efektif menekan kepemilikan nuklir, yang akhirnya juga mengurangi risiko perang nuklir. Memang setelah 1945, dunia tidak pernah lagi mengalami perang nuklir. Tapi itu tidak berarti perang tidak terjadi.
Sejarah mencatat, perang konvensional tetap terjadi hingga sekarang. Jika dikaitkan dengan teori deterensi, nuklir sebagai instrumen penggentar hanya mampu menghindari terulangnya kembali penggunaan senjata nuklir seperti di Hiroshima-Nagasaki. Tetapi, tidak mampu memainkan perannya sebagai deterrent factor untuk menghindari perang konvensional.
Kedua, dalam perspektif politik nuklir. Ketika menginvasi Ukraina, Rusia juga menduduki bekas kompleks instalasi nuklir Chernobyl dan PLTN Zaporizhzhia. Meski instalasi Chernobyl saat ini sudah tidak berfungsi lagi, tetap saja masyarakat internasional khawatir. Reaktor Chernobyl masih menyisakan bahan bakar uranium yang sangat berbahaya. Limbah nuklir dan sisa material bangunan yang tercemar radiasi pada saat ledakan dulu dapat meningkatkan level radiasi jika terjadi ledakan. Tragedi nuklir bisa saja terulang lagi jika di kawasan PLTN Zaporizhzhia terjadi kontak senjata antara tentara Rusia dan Ukraina.
Potensi bahaya itu tentu menjadi keprihatinan internasional. Dalam konteks itulah, Badan Atom Dunia (International Atomic Energy Agency/ IAEA) mengadakan pertemuan khusus pada 2-3 Maret lalu untuk mengeluarkan resolusi. Ada dua tujuan pertemuan. Pertama, untuk menentukan sikap politik negara anggota terhadap invasi Rusia, dan kedua, memastikan instalasi nuklir Ukraina yang diduduki Rusia dalam kondisi aman.
Secara politik, resolusi yang yang disetujui 26 negara, ditolak 2 negara, dan 5 abstain itu menyesalkan (deplore) pendudukan instalasi nuklir Ukraina oleh Rusia. Secara teknis, IAEA juga mendesak Rusia untuk segera menghentikan segala tindakan terhadap instalasi nuklir yang diduduki agar otoritas nuklir Ukraina bisa mengontrol kembali operasi PLTN itu. Sebagai anggota IAEA, Ukraina tentu mendapat dukungan IAEA dalam hal pengawasan keamanan dan keselamatan nuklir.
Jika para inspektur IAEA diberi akses untuk memberikan bantuan keamanan dan keselamatan instalasi nuklir Ukraina, insiden nuklir akibat pendudukan Rusia kecil kemungkinan terjadi.
Rusia dan NATO pun paham sekali risiko perang nuklir: kehancuran bersama. Sejarah mencatat, Eropa sudah mengalami kenistaan perang Dunia I dan II, yang saat itu masih menggunakan peralatan militer konvensional. Tak terbayangkan, kenistaan macam apa lagi yang akan mendera jika terjadi perang nuklir. Dunia yang khawatir pecahnya perang nuklir dalam konflik Rusia-Ukraina mungkin harus mengingat kembali pesan teori deterensi: ancaman nuklir bisa menghindari perang nuklir itu sendiri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved