Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Sekularisasi Iman

Justin L Wejak Etnograf dan akademisi kajian Indonesia University of Melbourne, Australia
04/1/2022 05:10
Sekularisasi Iman
Ilustrasi MI(MI/Seno)

MARAKNYA kasus pelecehan seksual telah ikut berkontribusi pada krisis iman dan pupusnya kepercayaan terhadap agama. Masalah-masalah lain, seperti pernikahan sesama jenis, ikut membuat agama-agama tertentu semakin kurang diminati. Negara-negara yang dulu sangat Katolik, seperti Irlandia, kini menjadi sangat sekuler dan pragmatis.

Selain masalah-masalah seperti disebutkan di atas, sekularisasi telah memberi jalan bagi dekristenisasi skala besar. Saat ini, ada krisis besar seputar identitas Eropa dan tempat agama di ruang publik. Iman tererosi. Fenomena itu merupakan bagian dari lintasan panjang kebangkitan sekularisme. Demikian ulasan Cendikia Prancis Olivier Roy dalam bukunya, Is Europe Christian?

Sedikit demi sedikit, definisi perbedaan seksual, keluarga, reproduksi, dan peran orangtua direkonstruksi. Masyarakat sekarang diatur nilai-nilai baru. Masyarakat dibentuk individualisme, kebebasan, dan valorisasi keinginan. Tentu saja ini mencerminkan perubahan sosial dan perjuangan panjang mencapai kesetaraan. Idealnya, ruang diskriminasi tidak boleh ada.

Di negara-negara Barat, iman bukan lagi episentrum. Banyak orang mungkin masih mengidentifikasikan dirinya sebagai orang beriman. Namun, mereka menolak ajaran fundamental agama. Hanya segelintir saja mengikuti ajaran agama atau menghadiri ritual-ritual keagamaan. Jumlah orang yang ingin hidup selibat sebagai rohaniwan/wati dalam gereja Katolik pun kian berkurang.

Di Australia, agama Kristen (Katolik, Anglikan, Protestan) memang tetap menjadi agama mayoritas penduduk. Sekitar 12 juta orang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Kristen. Namun, jumlah itu menurun. Pada 2003, 68% orang menyebut diri Kristen. Pada 2020, angka itu turun menjadi 44%. Pada saat yang sama, mereka yang mengaku tidak beragama melonjak dari 26% menjadi 45%.

Dulu para pemimpin gereja kulit hitam di AS sangat tenar. Salah satunya ialah Martin Luther King Jr. Ia menjadi representasi harapan dan perjuangan kaum tertindas. Ketika itu, gereja menjadi tempat munculnya gerakan hak-hak sipil menuntut kesetaraan. Kaum minoritas menolak menjadi korban rasialisme dan diskriminasi.

Namun, harapan akan kesetaraan itu kini kian redup. Segelintir orang menyindir harapan itu milik eksklusif kaum tertentu. Ada pesimisme dan keputusasaan. Namun, mungkinkah pesimisme itu hanya sebuah teater? Artinya, sebuah pesimisme performatif atau mungkin itu bagian dari politik sikap.

Jika demikian, tentu itu mencerminkan sesuatu yang lebih fundamental dan berbahaya. Sesuatu yang melemahkan ikatan tradisi dan keluarga, komunitas, dan iman. Ia memengaruhi perubahan sikap dan persepsi tentang kehidupan. Sosiolog Phillip Rieff berpendapat manusia telah menukar tatanan suci dengan tatanan sosial.

 

 

Sekularisme, tantangan iman

Roy menjelaskan tantangan sekularisme terhadap iman. Tantangan itu melahirkan Eropa modern. Komunitas Ekonomi Eropa pun tercipta. Di era 1960-an muncul revolusi sosial. Ada pula Konsili Vatikan II. Niscaya gereja didorong untuk menyesuaikan diri dengan dunia abad ke-20. Sebuah abad yang sekuler. Gereja lambat laun menjadi lebih sekuler dan pragmatis dari pada era sebelumnya.

Masa Pencerahan abad ke-17 menempatkan akal budi di atas iman. Para pemikir, seperti Rene Descartes, Immanuel Kant, dan David Hume, berusaha mendefinisikan kembali moralitas dan etika. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang kebenaran dan kemanusian. Gereja ditantang.

Benih yang ditaburkan selama masa pencerahan, tentu tidak serta-merta disamakan dengan antiagama, telah melahirkan para filsuf, seperti Friedrich Nietzsche. Nietzsche mengumumkan bahwa Tuhan sudah mati dan manusia ialah pembunuhnya.

Para ahli teori kritis--terutama mazhab Frankfurt--muncul di antara dua Perang Dunia. Para filsuf Marxis dan Freudian, seperti Walter Benjamin, melihat sejarah sebagai bencana yang tak berkesudahan. Selain itu, Theodor Adorno yang oleh karena pesimismenya menolak gagasan kemajuan manusia justru memberikan sedikit ruang kreasi keindahan dan puisi.

Sementara itu, Max Horkheimer berpendapat bahwa hilangnya agama justru mengikis makna. Dia tegas menolak filsafat hadir tanpa teologi. Mereka semua merupakan pemikir-pemikir hebat zaman itu. Namun, sebagian besar filsuf kontra-pencerahan ikut menciptakan sebuah zaman yang pesimistis dan putus asa.

 

 

Krisis nilai

Ketika kekristenan surut di Eropa, jumlah penganut agama Kristen justru meningkat di beberapa negara lain, seperti di Afrika, Amerika Selatan, dan Pasifik. Kekristenan juga berkembang pesat di Tiongkok meski negeri itu dikuasai Partai Komunis.

Dalam bukunya, The Vanishing: The Twilight of Christianity in the Middle East, wartawan veteran Janine Di Giovanni mencatat akhir dari kekristenan. Kelompok fundamentalis yang kejam telah menganiaya komunitas Kristen. Dia mengatakan mereka telah dibawa ke ambang kepunahan.

Di Mesir, Kristen Koptik menghadapi diskriminasi hukum dan sosial. Di Gaza, yang pada abad ke-4 seluruhnya beragama Kristen, kini tersisa kurang dari 1.000 orang Kristen. Janine Di Giovanni memang telah meliput zona konflik terburuk di dunia. Dia telah melihat terlalu banyak perang dan penderitaan. Maka itu, bukunya perlu dibaca sebagai buku tentang bagaimana orang berdoa untuk bertahan hidup di masa yang paling bergejolak. Sungguh kontras. Eropa mengalami dekristenisasi. Sementara itu, di Timur Tengah, orang-orang Kristen berjuang mempertahankan imannya.

Dalam masyarakat yang pluralis, sekuler, dan demokratis, peran agama, terutama dalam kehidupan publik, selalu diperebutkan. Namun, bukan pemisahan formal gereja dan negara yang menantang seperti apa yang disebut Olivier Roy terkait fenomena bergesernya iman sebagai episentrum dan fokus kehidupan sosial dan budaya.

Masyarakat era mutakhir seakan terobsesi dengan perang identitas yang beracun. Obsesi itu seperti kanker yang memakan demokrasi itu sendiri. Di sana timbul banyak pesimisme dan keputusasaan. Krisis hari ini bukan hanya krisis nilai, melainkan krisis referensi. Manusia zaman ini tambah miskin karena krisis ini.

Di Indonesia, ketika seorang pejabat tidak tulus mengucapkan selamat hari raya agama lain, itu contoh kecil adanya krisis nilai–nilai ketulusan. Pragmatisme mungkin menjadi taruhannya dalam pilihan mengucapkan selamat pada tempat pertama. Pragmatisme dapat dipandang sebagai bentuk sekularisasi iman--sebuah upaya membebaskan negara atau masyarakat dari pengaruh iman atau agama. Kaum pragmatis lihai menggunakan agama untuk kepentingan sekuler-politis.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya