Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Jalan Berliku Menjadi Guru

Anggi Afriansyah Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN, pernah menjadi guru
25/11/2021 05:05
Jalan Berliku Menjadi Guru
(Dok. Pribadi)

“SUDAH siap kalian menjadi guru?” ujar salah satu senior pada suatu kegiatan di kampus. Senior yang bertanya merupakan alumnus yang sudah menjadi guru honorer di salah satu sekolah dan masih aktif memberikan kajian di kampus. Saya bertaya-tanya dalam hati, kenapa tidak siap untuk menjadi guru? Bukankah ketika masuk menjadi mahasiswa lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), berarti kita harus siap terjun mengabdi menjadi guru? Seperti tema peringatan Hari Guru Ke-76 yang jatuh pada hari ini, yakni ‘Bergerak dengan hati, pulihkan pendidikan’.

Pertanyaan tersebut terlupa seiring berjalannya waktu, tetapi kembali mengusik saya ketika lulus. Ternyata menjadi guru bukan perkara mudah. Melamar dari satu sekolah ke sekolah lain sangat melelahkan. Berbekal ijazah S-1 dengan IPK yang baik, pengalaman organisasi yang cukup, dan jaringan pertemanan yang memadai, ternyata tidak cukup ampuh mudah mendapat pekerjaan yang diidamkan.

Jalan yang saya tempuh begitu berliku, mulai menjadi asisten dosen dengan penghasilan yang kurang memadai, menjadi guru pengganti, mengajar bimbel, menjadi guru kontrak di salah satu sekolah swasta, hingga menjadi dosen mata kuliah umum di beberapa kampus.

Ada momen yang saya mencoba melamar ke banyak sekolah dan tidak mendapat respons. Saking nekatnya menjadi guru, saya pernah mendatangi satu per satu sekolah untuk mendapatkan pekerjaan. Di salah satu sekolah, kepala TU bicara, “Tidak ada kesempatan Mas, maaf.” Pada momen itu, saya merasa ternyata mencari pekerjaan itu sulit. Pertanyaan dari senior saya pun kembali hadir terngiang-ngiang.

Setelah beberapa tahun berpindah-pindah tempat mengajar, akhirnya saya melabuhkan diri di dunia riset. Tentu saja, bukan hanya saya yang mengalami jalur berliku dan berkelok untuk menjadi guru. Ada banyak lulusan LPTK yang bernasib sama bahkan lebih menyedihkan. Bahkan, ada yang hingga kini masih bersetia untuk menjadi menempuh jalan sulit menjadi guru honorer meski dari segi kesejahteraan sangatlah minim. Jangan bayangkan gaji yang sesuai dengan upah minimum dan jaminan sosial yang memadai.

 

 

Kisah pilu

Kisah pilu guru berpenghasilan rendah ialah kisah tertragis di Republik ini. Lihatlah ketika proses seleksi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) beberapa waktu lalu. Ada banyak kisah pilu yang dapat kita baca. Para pengabdi, yang sepenuhnya memberikan waktu dan tenaganya demi pencerdasan anak bangsa harus berjibaku meski mereka sudah mengabdi puluhan tahun.

Ada banyak teman saya pun yang berguguran satu per satu, kemudian alih profesi. Tidak menjanjikan, tidak ada kepastian, bebannya berat, anak dan istri mau dikasih apa? (untuk guru laki-laki). Potret kualitatif itu bisa sedikit menggambarkan keruwetan dari bagaimana guru-guru di Indonesia disiapkan kemudian diseleksi dan direkrut.

Ada dua persoalan mendasar, yaitu proses penyiapan guru dan proses seleksi. Pertama, pada proses penyiapan guru, tentu terkait bagaimana input calon mahasiswa LPTK, proses pendidikan bagi calon guru di LPTK, dan keluaran mahasiswa LPTK. Tantangan bagi LPTK untuk mau secara ketat menyeleksi para mahasiswanya. Selain dari segi kapasitas intelektual, penting bagi calon guru juga dilihat motivasinya ketika memasuki LPTK.

Secara adil, mereka harus juga diberi tahu mengenai prospek menjadi guru di Indonesia, dan kesiapan jika harus ditempatkan di mana saja di wilayah di Indonesia. Berbagai data menunjukkan, betapa tidak meratanya distribusi guru antara wilayah perkotaan dan perdesaan.

Seleksi ketat, baik secara kapasitas intelektual dan gairah menjadi guru menjadi sangat penting agar guru-guru ini dapat ditempatkan di berbagai lokus perjuangan. Jika merujuk konteks kesejarahan, guru-guru lulusan sekolah pendidikan guru (SPG) tampaknya lebih teruji ketika menghadapi ragam medan juang.

Saya pernah bertemu beberapa guru di Tambrauw, Papua Barat, yang merupakan lulusan SPG yang bersetia sampai masa pensiun mengabdikan dirinya di daerah pedalaman. Sementara, dari pengakuan para guru itu, banyak guru PNS lulusan kampus LPTK yang kemudian tidak tahan, dan kembali ke kota ketika ditempatkan di wilayah sulit.

Kedua, terkait dengan proses seleksi. Proses seleksi guru menjadi ASN selalu menyedot perhatian banyak lulusan LPTK. Namun, memang kompetisinya begitu luar biasa. Pada sisi tertentu, dalam proses itu pengabdian guru honorer seringkali tidak mendapat porsi yang memadai meski pada seleksi PPPK saat ini ada afirmasi, porsinya masih belum cukup baik untuk memberi kesempatan bagi para guru yang sudah mengabdi puluhan tahun. Tingkat ketidakpastian bagi guru yang sudah mengabdi sangat tinggi sehingga kisah pilu guru honorer yang puluhan tahun mengadi selalu saja terpapar.

 

 

Urgensi peta jalan

Lalu pemerintah harus berbuat apa? Ada banyak rekomendasi yang sudah diberikan oleh berbagai pihak. Urgensi peta jalan penyiapan guru semakin menemukan relevansinya. Harus ada hitung-hitungan secara presisi, mulai jumlah guru yang eksis, guru menjelang pensiun, sampai lulusan LPTK yang menunggu menjadi guru. Ketika secara kuantitatif jumlah guru yang eksis masih besar, dan jumlah tenaga guru yang dibutuhkan masih sedikit, LPTK harus bisa lebih selektif dalam menerima calon mahasiswa.

Pemerintah sudah memiliki Neraca Pendidikan Nasional (NPN), dan Necara Pendidikan Daerah (NPD). Di dalam NPN dan NPD, terdapat indeks pemerataan guru PNS, kualifikasi pendidik, pendidik tersertifikasi, dan guru berdasar usia di berbagai jenjang. Dari data itu, sesungguhnya sudah memetakan jumlah guru di Indonesia dan di daerah-daerah.

Namun, yang masih luput ialah bagaimana output dari LPTK? Per tahun, berapa LPTK menghasilkan lulusan? Kemudian, ke mana para lulusan itu melabuhkan diri di dunia pekerjaan? Berapa persen yang kemudian menjadi guru sesuai dengan kualifikasi akademiknya? Hal ini menjadi penting untuk diketahui agar guru-guru berkualitas dengan kesejahteraan yang baik dapat diseleksi dan direkrut.

Di luar aspek tersebut, guru-guru berkualitas juga perlu disiapkan dengan sangat sistematis. Kekuatan intelektual di bidang ilmu yang diampu, keterampilan pedagogi, hati yang penuh untuk dunia pendidikan, keterampilan digital misalnya, menjadi hal utama bagi guru-guru kini. Jika ingin anak-anak cerdas, penyiapan guru menjadi poin krusial yang tidak bisa ditawar.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik