Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pelecehan Seksual di Kampus, Bagaimana Menanganinya?

Bagong Suyanto Dekan FISIP Universitas Airlangga
11/11/2021 05:00
Pelecehan Seksual di Kampus, Bagaimana Menanganinya?
(MI/Seno)

TINDAK pelecehan seksual tidak pandang bulu, baik siapa yang berisiko menjadi korban maupun siapa yang menjadi pelaku. Tindak pelecehan dan kekerasan seksual yang dikutuk semua pihak ini tidak hanya terjadi di zona-zona rawan, tetapi juga kerap terjadi di lembaga pendidikan, yang seharusnya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban. Di institusi pendidikan tinggi, kasus pelecehan seksual bahkan ada indikasi belakangan ini makin marak.

Dalam rangka menangani makin maraknya kasus pelecehan seksual di lembaga pendidikan tinggi, belum lama ini telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Aturan yang diteken Menteri Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 itu berlaku mulai tanggal 3 September 2021.

Dalam Permendikbudristek No 30/2021 ini, selain diatur tentang ancaman sanksi bagi pelaku tindak pelecehan seksual, juga diatur upaya pendampingan, pelindungan, dan pemulihan bagi korban tindak pelecehan seksual di lingkungan PT (perguruan tinggi). Bagi pelaku tindak pelecehan seksual di PT, mereka tidak hanya terancam dikenai sanksi administratif, tetapi juga sanksi berupa pemecatan atau pemberhentian tetap.

 

Faktor penyebab

Meski sempat menimbulkan protes dari sebagian kalangan tentang penggunaan frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang dikhawatirkan melegalisasi perzinaan, dikeluarkannya Permendikbudristek No 30/2021 ini bukan tanpa alasan. Ibarat gunung es, kasus pelecehan seksual yang terjadi di PT ternyata sangat masif.

Di luar kesan bahwa dunia PT aman-aman saja dari kemungkinan terjadinya tindak pelecehan seksual, ternyata di balik itu tidak sekali-dua kali terjadi tindak pelecehan seksual yang dialami para insan kampus, terutama dari para dosen ataupun pejabat kampus.

Salah satu kasus dugaan terjadinya pelecehan sesual terbaru yang kini menjadi pemberitaan media massa terjadi di Universitas Riau (Unri). Seorang mahasiswi angkatan 2018 diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosennya yang juga seorang dekan. Sebelumnya, kasus pelecehan seksual juga terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Jawa Timur. Kasus pelecehan seksual di IAIN Kediri diduga dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswinya.

Daftar terjadinya kasus pelecehan seksual di PT dapat terus diperpanjang. Selain kasus di Unri dan IAIN Kediri, tindak serupa juga pernah terjadi di IAIN Sultan Amai Gorontalo. Seperti dilaporkan media massa, tindak pelecehan seksual yang terjadi di Gorontalo ini tercatat minimal dialami empat mahasiswi. Setelah sejumlah mahasiswa melakukan unjuk rasa, dosen yang menjadi pelaku pelecehan seksual akhirnya dipecat dengan tidak hormat.

Beberapa kasus lain tindak pelecehan seksual di lingkungan PT dilaporkan terjadi di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Palangka Raya (UPR), Universitas Negeri Jakarta, Universitas Jember. Bahkan, di kampus terkenal seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sempat pula dilaporkan terjadinya kasus pelecehan seksual. Sejumlah faktor yang menyebabkan tindak pelecehan seksual makin marak, yakni pertama, karena relasi korban dan pelaku yang asimetris.

Di lingkungan kampus bukan rahasia lagi bahwa posisi dosen umumnya sangat superior dan menempatkan posisi mahasiswa dalam relasi yang subordinat. Bagi mahasiswa yang tidak memiliki posisi bargaining yang setara, mereka umumnya tidak berdaya dan lemah ketika berhadapan dengan ulah sebagian oknum dosen yang cabul.

Momen ketika mahasiswa tengah konsultasi, sedang menempuh ujian, dan lain sebagainya, sering dimanfaatkan para dosen yang nakal untuk melancarkan aksi jahat dan hasrat syahwatnya yang tidak terkendali. Mahasiswa yang lemah, mereka biasanya tidak mampu mengelak dan potensial menjadi korban ulah dosennya yang melewati batas kepantasan dan moralitas.

Kedua, berkaitan dengan kemungkinan terjadinya power abuse yang dilakukan dosen atau pejabat kampus karena otoritas yang mereka miliki. Seorang dosen yang berhak dan memiliki otoritas menentukan kelulusan mahasiswa, menentukan besar nilai ujian mahasiswa, dan lain sebagainya. Ketika tidak mampu menjaga integritasnya, bukan tidak mungkin mereka akan memanfaatkan posisinya untuk melakukan tindakan jahat.

Ketiga, berkaitan dengan iming-iming dan posisi pelaku yang menjanjikan pemberian keuntungan tertentu kepada korban. Dzeich & Weiner (1990), dalam bukunya The Lecherous Professor: Sexual Harassment on Campus menyatakan salah satu tipe tindak pelecehan seksual yang marak terjadi di kampus ialah yang mereka sebut dengan istilah quid pro quo, yaitu seseorang yang karena kekuasaan yang dimilikinya memiliki peluang untuk menundukkan korban. Dengan bujuk rayu, menampilkan sosok orang tua yang penyayang dan lain sebagainya, seorang dosen bisa dengan mudah menipu mahasiswanya untuk menutupi intensi seksualnya.

 

Watchdog

Menurut data Komnas Perempuan, yang diekspose pada Oktober 2020, telah terjadi sekitar 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020. Sementara itu, survei yang dilakukan Direktorat Jenderal Kemendikbudristek pada 2020 menemukan sekitar 77% dosen yang disurvei mengakui telah terjadi tindak kekerasan seksual di kampus mereka. Namun, sebanyak 63% dari dosen yang mengakui terjadinya tindak kekerasan seksual di kampusnya itu memilih tidak melaporkan kasus yang terjadi alias mendiamkan saja.

Berbeda dengan pandangan umum, bahwa kampus ialah lingkungan yang steril dari tindak kejahatan, fakta yang ada memperlihatkan bahwa PT ternyata merupakan salah satu zona yang sama berbahayanya dengan zona-zona sosial yang lain. Di kampus, di satu sisi mahasiswa berkesempatan untuk belajar menuntut ilmu. Namun, di sisi yang lain mahasiswa sesungguhnya rawan menjadi korban perilaku keliru yang dilakukan sebagian oknum dosennya.

Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi tindak pelecehan seksual di lingkungan kampus, langkah pertama yang dibutuhkan ialah kejujuran dan kebesaran hati dari pejabat dan insan kampus untuk mengakui bahwa ada yang salah dan berpotensi disalahgunakan posisi superior dosen untuk mengamankan hasrat seksualnya yang kelewat batas.

Membuka jalur pengaduan dan memberi kesempatan kepada para mahasiswa sebagai watchdog, yang memiliki kesempatan untuk mengadukan indikasi-indikasi tindakan dosennya yang keliru, ialah salah satu cara untuk mencegah sejak dini kemungkinan terjadinya tindak pelecehan seksual di kampus.

Bersikap menutupi, bahwa di kampus tidak mungkin terjadi tindak pelecehan seksual, niscaya hanya akan membuat ancaman tindak kemanusiaan ini makin marak. Sebaliknya, bersikap terbuka dan bahkan membuka saluran pengaduan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya tindak pelecehan seksual, maka upaya untuk mencegah agar hal ini tidak terjadi akan lebih mungkin diwujudkan.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya