Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Pendidikan Berbasis Keimanan dan Akhlak Mulia

Imam Nur Suharno, Penulis Buku Membentuk Karakter Peserta Didik, Kepala Divisi HRD-Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat
03/11/2021 14:55
Pendidikan Berbasis Keimanan dan Akhlak Mulia
Imam Nur Suharno,(Dok pribadi)

PENDIDIKAN adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No 20 Tahun 2003).

Di antara arah pendidikan nasional yang terkandung dalam definisi di atas adalah pendidikan spiritual keagamaan (keimanan) dan akhlak mulia. Hal ini menegaskan bahwa kewajiban bagi para pengambil kebijakan pendidikan untuk mewujudkannya. UUD 1945 menekankan pentingnya pendidikan keimanan dan akhlak mulia. Pasal 31 ayat (3) disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.

Selain pemerintah terus mengupayakan merealisasikan pendidikan berbasis keimanan dan akhlak mulia, paling tidak ada dua upaya mendasar yang dapat dilakukan oleh guru di sekolah sebagai ujung tombak dalam mengawal pendidikan keimanan dan akhlak mulia; pertama, melakukan internalisasi pendidikan agama melalui pembelajaran. Kegiatan pembelajaran merupakan fungsi pokok dan usaha yang strategis untuk mewujudkan tujuan institusional. Tujuan setelah proses pembelajaran adalah sistem nilai yang harus tampak dalam perilaku dan merupakan karakteristik kepribadian siswa. 

Pembelajaran sebagai sebuah metode menghendaki adanya perekayasaan situasi terencana yang memberikan perlakuan tertentu, untuk mengetahui akibat-akibatnya terhadap siswa. Menggunakan metode secara terencana, sistematis, dan terkontrol, baik dalam bentuk desain fungsional maupun faktoral melalui pengenalan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, melalui penggambaran konsep yang bersifat penghayatan dan pengamalan.

Pembelajaran dan internalisasi pendidikan agama di sekolah menghadapi persoalan yang mendasar. Di antaranya terkait relevansi materi pembelajaran, strategi pembelajaran, dan keterbatasan bahan bacaan yang mendukung perkembangan keagamaan siswa. Sejauh ini penanaman nilai-nilai pendidikan agama di sekolah masih menitikberatkan kepada domain kognisi yang cenderung menampilkan agama sebagai seperangkat rumusan kepercayaan dan ajaran yang cenderung indoktrinatif-normatif. Akibatnya, bahan-bahan bacaan untuk mendukung domain tersebut terbatas pada buku-buku teks.
 
Upaya penanaman nilai-nilai pendidikan agama tidak sekadar menyangkut dimensi kepercayaan, tetapi lebih dari itu adalah dimensi pembudayaan. Dalam hal ini dibutuhkan agama dalam bentuknya yang efektif dan praktis. Agama mesti ditampilkan dalam performa historik, kontekstual dan aktual yang disajikan melalui pengalaman dan kisah hidup yang mengekspresikan perilaku keagamaan dan menjawab berbagai problem keseharian dalam suatu dimensi ruang, waktu dan konteks tertentu. Melalui pola pembelajaran yang diarahkan pada upaya menciptakan model pembelajaran bagi siswa dan memberi warna baru bagi pembelajaran nilai keagamaan.
    
Kedua, membentuk lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai pendidikan agama. Institusi pendidikan merupakan sebuah ranah sosial yang diharapkan dapat berperan sebagai kawah candradimuka lahirnya intelektualitas, moralitas, dan orde kehidupan yang menjunjung tinggi perdamaian. Secara eksistensial, setiap manusia dalam lingkungan pendidikan didorong mengenal hakikat kemanusiaan dirinya secara utuh dan belajar menerima keberadaan orang lain dengan prinsip tepa selira. 

Melalui internalisasi dan pembentukan lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai pendidikan agama, diharapkan dapat meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya giat dalam menjalankan ibadah ritual, tetapi juga komitmen melakukan aktivitas yang terbingkai dengan nilai pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari.

Integrasi pembelajaran 

Rasanya sangat tidak cukup mewujudkan pendidikan keimanan dan akhlak mulia hanya dengan dua atau empat jam per pekan mata pelajaran pendidikan agama Islam (PAI). Untuk itu, ada upaya yang dapat dilakukan untuk membantu mewujudkan hal itu; pertama, integrasi mata pelajaran umum dengan PAI. Guru harus dapat mengaitkan atau memadukan mata pelajaran yang diajarkan dengan PAI. Misalnya, guru matematika menjelaskan perhitungan dengan contoh perhitungan zakat harta atau perhitungan warisan. Guru bahasa dan sastra harus berusaha agar tema yang diajarkan, baik pada bagian mengarang, cerita, dan puisi mengandung ide-ide islami. Melalui pembelajaran terintegrasi ini secara otomatis ketika siswa belajar pelajaran umum juga belajar PAI.

Kedua, menghimpun ayat-ayat Alquran dan hadis yang terkait dengan materi yang akan diajarkan. Dalam hal ini, guru agama berperan membantu guru-guru umum dalam menyiapkan ayat dan hadis yang terkait. Ketiga, membangun pola hubungan yang agamais. Ketika hendak masuk kelas, guru menunjukkan wajah cerah kepada siswa dan mengucapkan salam. Begitu pula ketika bertemu di luar kelas, hendaknya mengucapkan salam dan berjabat tangan. 

Kemudian, guru memulai pembicaraan dengan mengucapkan pujian kepada Allah dan salawat Nabi SAW. Jika hendak menjelaskan pelajaran di atas papan tulis, buatlah tulisan basmalah terlebih dahulu, agar kalimat itu yang pertama kali dilihat oleh siswa. Sehingga, siswa tahu setiap akan memulai aktivitas harus dimulai dengan basmalah. Dan, setelah selesai pelajaran, guru menutup dengan doa, dan mengucapkan salam.

Pembiasaan

Untuk pengembangan potensi diri peserta didik diperlukan pendidikan pembiasaan. Dalam syair dikatakan, "Anak akan tumbuh pada apa yang dibiasakan ayahnya kepadanya. Ia tidak dapat tunduk oleh akal, tapi kebiasaanlah yang dapat menundukkannya."

Dalam pepatah Arab, man syabba ’ala syai’in, syaaba ’alaihi, barangsiapa yang membiasakan sesuatu (di waktu mudanya), maka akan terbiasa melakukannya (di masa tuanya). Dalam proses pembiasaan, peserta didik perlu dihindarkan cara-cara kekerasan dalam pendidikan. Nabi SAW telah menegaskan dalam sabdanya, "Perintahkanlah anak-anakmu untuk salat ketika umurnya telah mencapai tujuh tahun, pukulah mereka (jika tidak mau salat) jika telah berumur sepuluh tahun. Dan, pisahkanlah tempat tidur di antara mereka." (HR Abu Dawud).

Islam mengalokasikan waktu selama tiga tahun berturut-turut untuk mengajarkan salat pada anak didik. Hal ini merupakan rentang waktu yang leluasa untuk membiasakan shalat. Jika masih belum terbiasa melakukannya selama rentang waktu pembiasaan tersebut, langkah tegas (bukan keras) harus diambil untuk menjamin mapannya kebiasaan itu.

Jika dihitung, perintah salat berdasarkan hadis di atas, setiap orang tua menyuruh anaknya untuk mengerjakan salat selama tiga tahun dan pada setiap waktu salat akan menghasilkan jumlah hitungan yang sangat banyak. Hitungan itu adalah 5 waktu x 365 hari x 3 tahun = 5.475. Sekiranya angka tersebut memiliki arti, maka hal itu menunjukkan pentingnya pengulangan dalam mendidik anak didik. Jika hal ini dapat dilakukan akan dapat melahirkan peserta didik yang beriman dan berakhlak mulia sebagai modal dalam mengelola bangsa dan negara. Buktikan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya