Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Sekolah Memang Bukan Ketok Magic

Alif Fadhiyah Chairunnisa, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan
27/9/2021 07:00
Sekolah Memang Bukan Ketok Magic
Alif Fadhiyah Chairunnisa(Dok.pri)

“GURU mah enak tinggal ngasih soal, kita kan di rumah yang harus ngajarin!”

Itu celoteh salah satu pegawai. Setelah ditelusuri, buah ucap ini lahir dari kondisi anaknya yang harus bersekolah secara daring di tengah pandemi.

Covid-19 memang berhasil mengubah berbagai aspek dalam kehidupan, lebih cepat dari prediksi mana pun yang pernah dibuat oleh manusia. Tidak ada ruang untuk mempertahankan status quo. Cara manusia hidup, berinteraksi, bekerja, termasuk belajar secara formal, dipaksa berdaptasi lebih kilat.

Perubahan secara masif datang lebih awal dari persiapan yang dilakukan oleh siapa saja. Tidak ada yang sepenuhnya siap dengan perubahan yang mendadak dan berdampak sistemik seperti saat ini.

Berdasarkan data UNESCO (2021), 68 juta pelajar di Indonesia terdampak aktivitasnya akibat pandemi. Proporsi terbesar datang dari siswa yang duduk di bangku sekolah dasar (43%), disusul tingkat menengah (36%), kuliah (12%), dan taman kanak-kanak (9%).

Pandemi memang menjadi ‘biang masalah’, namun jauh sebelum datangnya pandemi terdapat bahaya laten yang tidak disadari. Akar dari pola pikir tersebut adalah keinginan untuk lepasnya tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak.

Sekolah diposisikan seperti ketok magic yang dapat menghasilkan ‘produk’ berkualitas baik dalam sekejap. ‘Pengguna jasa’ diperbolehkan tidak memiliki sedikit pun pengetahuan akan ‘kendaraan’ mereka. Asal bisa membayar biaya jasa, voila hasil didapatkan dalam kediipan mata.

Pandemi bukanlah dalang utama, ia hanya memperparah yang sudah ada. Terlepas dari profesi yang dipilih orang tua, kehidupan anak menjadi tanggung jawab orang tuanya. Tanggung jawab dalam hal apa pun, termasuk pendidikan, tidak dapat dilemparkan 100% kepada institusi pendidikan.

Lingkaran dan agensi utama dari proses pendidikan seorang anak berasal dan kembali pada pola asuh orang tua. Mari kesampingkan pandemi sejenak, ide senada juga kerap kali kita dengar sebelumnya. Seorang anak dimasukkan ke dalam sekolah asrama atau pesantren dengan harapan anak ‘bermasalah’ dapat berubah sesuai cita-cita orang tua.

‘Pengobatan’ yang diberikan tidak sesuai dengan sumber ‘penyakit’ yang diderita. Mungkin benar seorang anak berubah mengikuti lingkungan ia berada, tapi hanya sementara. Jika pola asuh di rumah tetap sama, cepat atau lambat akan timbul masalah yang dikira telah terkubur lama.

Berdasarkan data PBB (2020), tren keletihan mental semakin sering disinggung setelah adanya pandemi dan tentu saja manusiawi, karena merubah banyak aspek di seluruh dunia. Setiap dari kita mengakui betapa bosan, lelah, bahkan stres dari aktivitas harian yang dilalui dengan menatap gawai.  

Tidak ada lagi jeda untuk menarik nafas di tengah kesibukan, apalagi untuk melakukan me time. Garis batas antara waktu untuk bekerja dan keluarga melebur tidak tersisa.

Bagaimana pun dampak negatif yang pandemi bawa, tentu tidak dapat mengubah fakta bahwa tanggung jawab menanti untuk dituntaskan, salah satunya pendidikan anak. Beragam emosi negatif yang kita rasa, pasti juga dimiliki oleh tenaga pendidik yang juga manusia.

Mari hentikan sikap melempar tanggup jawab dengan dalih pandemi, jika sejatinya memang kita yang tidak pernah peduli. Mari bertenggang rasa bahwa pandemi memang membuat susah kita semua, tanpa ada yang terkecuali.

Tentu kita berhak memiliki harapan bahwa institusi pendidikan dapat mengisi kekosongan dari peran kita yang tidak menguasai seluruh mata pelajaran. Tapi tetap perlu diingat, keseluruhan tanggung jawab pendidikan baik ada maupun tidak adanya pandemi bertempat utama di pundak orang tua.

Aristotel mengatakan “Mereka yang mendidik anak lebih dihormati daripada mereka yang (hanya) melahirkannya; karena hanya mereka yang memberika kehidupan, sebagai seni untuk hidup dengan baik”.

Pandemi berhasil memaksa manusia melakukan banyak hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Pandemi banyak membuat manusia mengakui kekurangannya, namun dengan adaptasi, manusia juga ternyata dapat melampaui batasan pemikiran yang dimilikinya.

Mari sadari tugas dan peran kita sebagai orang tua secara utuh penuh dan bahu membahu menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih kondusif untuk anak. Permasalahan utama bukanlah sekolah yang saat ini tidak bertatap fisik, tapi keengganan kita untuk mengakui bahwa sekolah memang bukan ketok magic.(*)

 

CATATAN:
Ini merupakan salah satu dari 11 karya peserta terpilih dari 76 karya peserta Workshop Penulisan Artikel Populer yang masuk. Workshop ini merupakan sesi ke tiga dari rangkaian pelatihan yang dipercayakan Departemen Komunikasi Bank Indonesia kepada Sekolah Jurnalistik Media Indonesia (SJMI).

Pada pelatihan yang dilaksanakan secara daring, 23-24 September 2021 lalu, diikuti oleh 100 peserta dari Kantor Perwakilan Wilayah se-Indonesia serta Luar Negeri selain peserta perwakilan dari Kantor Pusat.

Workshop hari pertama diisi narasumber dari Media Indonesia (Teguh Nirwahyudi) serta dua narasumber dari Bank Indonesia (Kristianus Pramudito dan Puji Astuti). Pada hari kedua berisi kegiatan evaluasi tulisan dari para peserta.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya