Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Media Massa untuk Pendidikan Perdamaian

Dody Wibowo Direktur Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Sukma
20/9/2021 05:00
Media Massa untuk Pendidikan Perdamaian
(Dok. Pribadi)

TANGGAL 21 September diperingati sebagai Hari Perdamaian Internasional. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa dengan mendeklarasikan satu hari untuk perdamaian, kita diharapkan untuk ingat dan memperkuat usaha mewujudkan dunia yang damai. Dunia damai seperti apa yang ingin diwujudkan? PBB menyebutkan bahwa perdamaian bukan hanya keadaan ketika perang berhenti atau selesai.

Lebih dari itu, perdamaian terwujud ketika manusia terjaga harkat dan martabatnya, terpenuhi haknya, dan mampu mengaktualisasikan diri secara utuh. Manusia bebas dari rasa takut dan bisa memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti kesehatan, pangan, pekerjaan, dan pendidikan. Selain itu, perdamaian juga mensyaratkan lingkungan hidup yang terjaga kelestariannya.

Memastikan bahwa setiap manusia memahami makna perdamaian seperti yang dimaksudkan PBB dan kemudian berpartisipasi aktif untuk mewujudkannya ialah tugas dari pendidikan. Pendidikan untuk perdamaian memberikan pemahaman mengenai konsep-konsep terkait dengan perdamaian dan membekali pembelajar dengan berbagai keterampilan dan nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi aktif mewujudkan perdamaian.

Proses pendidikan perdamaian tidak hanya dilakukan dan dipengaruhi sekolah dan keluarga, ada pihak ketiga yang juga berkontribusi dalam proses pendidikan perdamaian, yaitu masyarakat. Masyarakat dengan segala bentuk kegiatannya, sengaja atau tidak, ikut membentuk pola pikir, sikap, dan perilaku individu terhadap perdamaian.

Pelibatan masyarakat dalam pendidikan telah dinyatakan tokoh besar pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, dan dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia (UU Sisdiknas RI) 2003. Bahkan, dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Formal disebutkan, masyarakat, yang menjadi bagian dari tripusat pendidikan selain sekolah dan keluarga, ialah aktor yang harus dilibatkan untuk menyukseskan penguatan pendidikan karakter; pendidikan yang memuat karakter-karakter penting untuk mewujudkan perdamaian.

Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah apakah usaha pelibatan masyarakat untuk berkontribusi bagi pelaksanaan pendidikan perdamaian, terutama di Indonesia, sudah cukup kuat dan efektif?

 

 

Peran media massa

Masyarakat menurut UU Sisdiknas RI meliputi berbagai kelompok, mulai perseorangan, kelompok, pengusaha, hingga beragam organisasi. Media massa menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki peran penting dalam memengaruhi publik. Dalam sejarah dunia, kita bisa melihat peran media massa melakukan propaganda untuk memengaruhi publik agar berpartisipasi dalam berbagai perang dan konflik bersenjata.

Walter Lippmann (1925) menyatakan bahwa jika media massa dapat digunakan untuk meyakinkan manusia untuk berperang, seharusnya media massa juga bisa digunakan untuk memperbaiki kehidupan manusia. Bahkan, Keith Spicer, pendiri Institute for Media, Peace, and Security, mengemukakan ide agar media massa bisa digunakan untuk melakukan propaganda perdamaian (2004). Walau Spicer menyatakan hal tersebut dalam konteks untuk merespons perang dan konflik bersenjata, kita juga bisa menggunakan istilah 'propaganda untuk perdamaian' untuk mempromosikan makna perdamaian yang lebih luas, seperti telah disampaikan di atas.

Media massa, mulai radio, televisi, surat kabar, hingga beragam bentuk lainnya, seperti media massa daring, menjadi pihak yang mampu memberikan informasi untuk anggota masyarakat. Dengan kekuatannya, media massa mampu memengaruhi cara pandang dan perilaku manusia. Tidak bisa dimungkiri bahwa media massa dimiliki sekelompok manusia yang tentunya memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri terhadap informasi yang disampaikan. Walaupun demikian, kenyataan tersebut hendaknya tidak menyampingkan tanggung jawab mereka sebagai anggota masyarakat untuk ikut melakukan tugas pendidikan.

Beberapa waktu lalu, sebuah acara infotainment televisi di Indonesia mengundang seorang mantan narapidana pelaku kejahatan seksual dan kasus penyuapan sebagai bintang tamu di acara tersebut. Publik mengecam keras penayangan acara tersebut dan menganggap bahwa apa yang dilakukan acara tersebut dapat memberikan pesan yang salah kepada publik, seperti pemakluman terhadap aksi kejahatan seksual. Lebih lanjut, acara tersebut dapat mengganggu kondisi kesehatan mental para korban kejahatan seksual. Stasiun televisi terkait akhirnya menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.

Dalam kasus lain, sebuah situs berita daring memuat beberapa berita terkait dengan atlet perempuan yang mengikuti Olimpiade Tokyo 2020 dengan menggunakan judul-judul berita yang merendahkan martabat perempuan. Absennya kepekaan penulis berita terhadap masalah penghormatan kepada sesama manusia dan dalam hal ini ialah perempuan, membuatnya hanya berfokus pada usaha untuk mendapatkan profit tanpa memikirkan dampak negatif dari tindakan yang dilakukan. Kasus ini ditindaklanjuti Seksi Wartawan Olahraga (Siwo) Pusat Persatuan Wartawan Indonesia yang mengirimkan surat peringatan kepada pimpinan redaksi situs berita tersebut.

Di sisi yang positif, keberadaan media massa di Indonesia yang melaksanakan perannya sebagai pendidik bisa kita temukan juga. Beberapa acara televisi dirancang dengan memikirkan pesan damai yang ingin disampaikan kepada publik. Ada acara bincang-bincang yang mengangkat isu-isu sosial dan menampilkan individu-individu yang berkontribusi aktif menyelesaikan masalah sosial yang dibahas. Acara bincang-bincang tersebut mampu memberikan contoh kegiatan yang bisa dilakukan atau juga inspirasi untuk anggota masyarakat yang lain yang ingin melakukan kontribusi serupa. Media-media daring yang menghadirkan laporan investigatif atas beragam kasus ketidakadilan telah memberi pemahaman mendalam mengenai akar masalah dan mampu mendorong daya pikir kritis dan kreatif publik untuk ikut memikirkan, dan mungkin juga berpartisipasi aktif, dalam upaya penyelesaian masalah terkait.

 

 

 

Kerja kolaboratif

Sejalan dengan pendapat Ellis dan Warshel (2010) yang berargumen bahwa komunikasi dapat memfasilitasi pengembangan sikap, kepercayaan, dan perilaku yang kondusif untuk mencapai perdamaian. Jika saja kesempatan dan kekuatan yang dimiliki media massa dapat digunakan untuk mempromosikan pengetahuan, keterampilan, dan nilai damai secara maksimal, anggota masyarakat akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk terekspos pada perdamaian, mempelajari, dan pada akhirnya dapat memilih perdamaian sebagai cara pikirnya.

Perdamaian hanya dapat terwujud ketika ada kerja kolaboratif dari semua pihak dalam masyarakat. Menyadarkan para pihak atas peran mereka dalam usaha bina damai hanya bisa dicapai melalui pendidikan perdamaian. Media massa sebagai bagian dari masyarakat memiliki peran penyadaran tersebut, sebagai pendidik perdamaian. Media massa perlu mengingat tanggung jawab moral dan sosial mereka untuk berkontribusi bagi pembentukan masyarakat yang damai dan tidak hanya berfokus pada usaha mengejar keuntungan. Terakhir, media massa perlu memastikan para pekerjanya dibekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai perdamaian untuk memastikan karya mereka bermanfaat untuk perdamaian.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya