Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Menguak RUU HKPD bukan Buka Kotak Pandora

Windraty Ariane Siallagan Kepala Bidang PPA II, Kanwil DJPb DKI Jakarta
09/9/2021 05:00
Menguak RUU HKPD bukan Buka Kotak Pandora
(Ilustrasi)

PEMERINTAH berencana menerbitkan beleid yang mengatur ulang tata kelola hubungan keuangan pusat dan daerah (HKPD), menggantikan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Substansi dalam RUU HKPD mengusung langkah korektif berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal selama ini.

Agar tidak memantik keraguan masyarakat luas atas motif pemerintah dalam diskursus RUU HKPD, makna filosofis dari RUU itu, perlu dipahami lebih dalam. RUU HKPD terdiri atas 187 pasal terbagi dalam 12 bab. Keseluruhan pasal dalam RUU itu diarahkan untuk mendorong upaya pengalokasian sumber daya nasional yang efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan. Dengan demikian, RUU HKPD mendongkrak efektivitas upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat.

 

Peningkatan

Data Kementerian Keuangan menunjukkan tren peningkatan alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dari tahun ke tahun. Jika pada 2001, transfer ke daerah (TKD) hanya mencapai Rp81,7 triliun, tahun 2021 angka itu telah meningkat menjadi Rp795,5 triliun. Nominal TKDD yang cenderung naik juga dibarengi dengan tren kenaikan dana yang kembali ke daerah dari pajak dan PNBP melalui TKDD yang positif, yang mencapai 45,6% di tahun 2021. TKDD telah menjadi amunisi bagi penyediaan pelayanan publik di daerah.

Pemerintah berpandangan bahwa desentralisasi fiskal selama ini sejatinya sudah mencapai hasil. Pertama, theil indeks yang mengukur kesenjangan kapasitas keuangan antardaerah menunjukkan tren yang berkurang. Kedua, rasio penerimaan pajak terhadap PDRB cenderung meningkat, utamanya dari tahun 2016-2019. Ketiga, terdapat perbaikan capaian layanan publik yang indikatornya antara lain angka partisipasi murni (APM) SMP dan SMA meningkat, tingkat imunisasi dasar yang membaik, jumlah penduduk miskin yang semakin menurun dan IPM yang terkoreksi.

Walaupun secara umum indikator pembangunan sudah menunjukkan rapor hijau, ketimpangan masih mewarnai berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa daerah patut diacungi jempol karena capaian IPM kota yang tinggi seperti Yogyakarta (86,61), Banda Aceh (85,41), dan Denpasar (83,93). Namun demikian, masih terdapat daerah (kabupaten) yang IPM rendah seperti Nduga (31,55), Sabu Raijua (57,02), dan Malaka (60,21).

Di samping itu, jika terdapat wilayah memiliki tingkat kemiskinan telah mampu ditekan di bawah 2% (Kota Tangerang Selatan dan Kota Badung), masih ada yang tingkat kemiskinan yang tinggi bahkan meroket, bahkan di atas rata-rata nasional seperti Kabupaten Deiyai (41,76%), Kabupaten Sumba Tengah 34,49%, dan Kabupaten Sabu Raijua (30,18%). Angka-angka itu adalah fenomena yang diharapkan dapat dikoreksi melalui RUU HKPD.

Dari sisi belanja fiskal, pemerintah menyadari bahwa TKDD belum dimanfaatkan secara optimal. Secara umum, belanja daerah cenderung dicairkan untuk belanja pegawai. Dari transmisi fiskal, belanja pegawai dianggap kurang produktif karena memiliki efek pengganda yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan transmisi belanja modal.

Belanja pegawai daerah mencapai Rp385 triliun atau 32,4% dari total belanja APBD tahun 2019. Jika ditelusuri lebih lanjut, memang terdapat korelasi positif antara DAU per kapita dengan belanja pegawai per kapita. Artinya, belanja pegawai sebagai alokasi dasar dalam formula DAU telah mendorong peningkatan jumlah pegawai daerah. Rata-rata belanja pegawai daerah mencapai 35,7%. Angka itu masih lebih tinggi dari arahan Bapak Presiden yang menegaskan agar belanja pegawai maksimal sampai dengan 30%.

Sebagai konsekuensi dari tergerusnya belanja daerah ke belanja pegawai, belanja infrastruktur publik menjadi rendah. Akibatnya, belanja infrastruktur belum mampu berperan sebagai pengungkit perbaikan layanan dan pertumbuhan ekonomi.

Isu lain adalah DAK Fisik yang ditengarai mengalami crowding-out dengan belanja modal APBD. DAK Fisik ialah bagian TKDD untuk pembangunan fisik dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah. Fenomena yang muncul ialah pemda cenderung menggunakan DAK Fisik sebagai sumber utama belanja modal. Padahal, DAK Fisik merupakan skema penunjang.

Dari sisi pajak, walaupun rasio pajak daerah terhadap PDRB cenderung meningkat, kita harus lapang dada mengakui bahwa rasio itu belum terlalu tinggi. Rasio pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PDRB pada 2020 hanya mencapai 1,20%, turun dari angka yang sama 1,42 % pada 3 tahun berturut-turut 2019, 2018 dan 2017. Dengan pertimbangan pajak yang bersifat memaksa tidak menjadi beban masyarakat, peningkatan tax ratio perlu memperhatikan kondisi perekonomian.

 

Kerangka kebijakan

Lahirnya gagasan pengajuan RUU HKPD ialah untuk merespons berbagai isu itu di atas. Untuk itu, RUU HKPD dilengkapi beberapa kerangka kebijakan. Pertama, meminimumkan ketimpangan melalui reformulasi DAU dengan perbaikan presisi ukuran kebutuhan, DAK yang fokus kepada prioritas nasional, perluasan skema pembiayaan daerah dan sinergi pendanaan lintas sumber.

Kedua, meningkatkan kualitas belanja melalui penerapan TKD berbasis kinerja. Ketiga, harmonisasi belanja Pusat dan daerah melalui desain TKD yang dapat mengonter siklus ekonomi, penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, pengendalian defisit APBD dan refocusing APBD dalam kondisi tertentu. Kerangka kebijakan yang tidak kalah penting ialah menguatkan sistem perpajakan daerah, dengan semangat yang sama dengan UU Cipta Kerja untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Slogan no taxation without representation yang masih relevan saat ini. Untuk itu, pengaturan penguatan kewenangan pajak daerah (local taxing power) dalam RUU HKPD untuk menjadi UU harus dilakukan melalui persetujuan DPR. Pengajuan Opsen difungsikan sebagai pengganti skema bagi hasil beberapa pajak daerah, seperti PKB dan BBNKB, diharapkan mampu mendorong optimalisasi pendapatan daerah. Namun, tentunya tetap memperhatikan untuk tidak menambah beban wajib pajak.

Di samping itu, RUU ini memangkas 32 jenis retribusi menjadi 18 jenis retribusi yang bersifat layanan wajib sehingga masyarakat tidak perlu dibebani untuk membayar layanan yang merupakan hak dasar mereka. Ditilik dari filosofinya sangat jelas bahwa agenda kebijakan RUU HKPD mempersempit ruang inefisiensi anggaran, dan membuka jalan untuk akselerasi pemerataan layanan publik dari Sabang sampai Merauke. Dengan demikian, review beleid yang masih dalam proses pembahasan ini bukanlah bak membuka kotak pandora.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik