Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
SEMUA ada masanya; 'ada waktu untuk menanam dan ada waktunya pula untuk menuai'. Petuah tersebut tersurat dari sebuah "kitab kehidupan". Itu memang laik disematkan bagi pergantian diplomat Indonesia yang baru saja dihajat di Federasi Rusia.
Rusia, sejak era Uni Soviet sampai kini, memiliki hubungan sedikit mesra dengan Indonesia. Di balik keeratan kedua negeri itu, peranan seorang diplomat memang sangat penting. Ia menjadi kunci penjaga keharmonisan lewat jurus diplomasi.
Malam itu, di sebuah ruangan tengah KBRI, kawasan Jalan Novokuznetskaya, Moskow, Duta Besar (dubes) Indonesia untuk Federasi Rusia dan Republik Belarusia, yang baru, Mohamad Wahid Supriyadi, nampak ringan lidah. Ia menyapa tetamu yang belum ia kenali, Jumat (8/4) lalu.
Sebagai sebuah tradisi penyambutan dubes anyar, mahasiswa, masyarakat, dan pejabat negara setempat, ikut hadir. Tentu saja, tidak kalah menarik, yaitu suguhan tarian, nyanyian, dan aneka kuliner khas Indonesia.
Untuk urusan kuliner, memang, tidak ada restoran khas Indonesia di Moskow. Saya pun sulit menemukan panganan sorgawi itu. Sebut saja satai, soto, bakwan, rendang, pendar, dan karedok.
Berbeda dengan restoran Asia, seperti Vietnam, Thailand, dan China. Lebih menjamur dan mudah dijumpai di Negeri Beruang Merah, ini. Mungkin, orang Padang sudah waktunya menapis peluang. Membuka rumah makan di sini. Apalagi, rendang adalah menu yang wah sedapnya. Amboi!
Seusai sambutan resminya, Wahid mengitari ruangan. Konselor untuk Fungsi Protokol dan Konsuler Sugihartono dan Atase Laut Kolonel Laut Liber Sihombing, terlihat ikut mendampinginya. Dubes nampak menyalami tetamu yang kebetulan berpapasan muka. Ia tidak canggung beradaptasi dengan siapapun.
Wahid lebih bergaya santai. Ia tidak berjas atau berdasi, malam itu. Ia memilih menggunakan pakaian batik. Sebuah kesederhanaan terpancar dari gerak-geriknya. Intonasi bicara pun ia atur. Maklum, lelaki kelahiran Winong, Kebumen, Jawa Tengah, 18 Agustus 1959, itu pernah bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Wahid hadir bersama istrinya Murgiyati Supriyadi dan ketiga anaknya. Ada sebuah tradisi untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. Kelengkapan keluarga menjadi bukti autentik atas dukungan nyata keluarga bagi pengabdian sang ayah.
Ia merupakan alumnus bahasa Inggris di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1983) dan Applied Business di Swinburne University of Technology, Melbourne, Australia, (2000). Pengalaman di dunia diplomasi tak diragukan lagi.
Wahid pernah bertugas di Australia pada 1995-1999 dan 2004-2007. Ia memiliki kepekaan pada seni dan budaya. Ia adalah inisiator Festival Indonesia di Victoria, Melbourne. Itu mendapat apresiasi pemerintah lokal di negeri setempat.
Tak dinyana, kehadiran Wahid di Negeri Beruang Merah memberikan suasana baru. Ia menggantikan dubes sebelumnya, Djauhari Oratmangun. Djauhari kini menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Luar Negeri untuk Isu-isu Strategis. Ia turut hadir di acara penuh kekerabatan bersama istrinya, Sih Elsiwi Handayani Oratmangun, yang tak lain seorang pelukis dekoratif.
Wahid pun telah menyerahkan Surat-surat Kepercayaan (Letter of Credentials) kepada Presiden Vladimir Putin di Kremlin, Rabu, (20/4). Dengan begitu, ia kini mengemban tugas yang tak ringan.
Saat makan malam itu, sebagaimana sesi yang saya tunggu-tunggu karena perut sudah keroncongan, Wahid ikut bersantap bersama tetamu lainnya. Ia akrab berbicara. Mulai dari rencana kunjungan Presiden Joko Widodo, hingga program kinerjanya sebagai dubes.
Itu semua untuk meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Rusia ke depannya. "Kita kerja yang lebih giat lagi. Perlu meningkatkan lagi hubungan perdagangan hingga pariwisata," ucapnya, santai.
Wahid sangat supel dan mudah kepul senyum. Ia nampak langsung akrab dengan para staf KBRI. Ia tidak pandang bawahan ataupun junior. Baginya, semuanya harus saling gandeng tangan untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara di tanah perantauan ini.
Saat Wahid asik bersama tetamu lainnya, Djauhari nampak gundah-gulana di siku ruangan. Ia serius memandangi sederetan potret mantan dubes yang pernah menjabat di era Uni Soviet hingga Rusia. Semuanya terpajang rapih di tembok ruangan, itu.
Pemajangan pigura bergambar mantan dubes sudah menjadi kewajiban. Setiap orang yang masuk ke ruangan itu langsung bisa melihat sosok para diplomat. Mereka adalah figur yang pernah menduduki posisi dubes. Bisa jadi itu memang ruangan sakral!
Di tembok itu, berderet pigura dubes pada era Uni Soviet. Mereka adalah R Subandrio (1954-1956), Lambertus Nicodemus Palar (1956-1956), Alexander Maramis (1956-1960), Adam Malik (1960-1964), Manai Sophian (1964-1967), dan Max Maramis (1967-1970).
Lalu, ada R Moeljadi (1970-1972), Suryono Darusman (1973-1976), R B I N Djajadiningrat (1976-1980), R M Mohammad Choesin (1980-1985), dan R G Soegantyo Koesoemodigdo (1985-1988).
Sedangkan, pigura dubes pada masa Federasi Rusia, yaitu Janwar Marah Djani, (1989-1993), Racmat Witoelar (1993-1997), Tjahjono (1997-1999), Jhon Ario Katili (1999-2002), Susanto Pudjomartono (2004-2007), serta Hamid Awaludin (2008-2012).
Kini, bertambah satu. Pigura Djauhari sudah terpampang jelas di ujung tembok. Semuanya berjumlah 18 bingkai. Sambil memerhatikan secara mendalam pigura diri, Djauhari menarik nafas dalam-dalam. Sontak, ia pun merogok saku celananya.
Lelaki berperawakan gecul itu sejurus mengeluarkan ponsel pintar. Tak berapa lama, ia pun menjepret empat kali ke pigura bergambar wajahnya. "Saya mau simpan sebagai kenangan. Foto dulu, ah," cetus Djauhari, akrab.
Djauhari memang pribadi yang supel bergaul. Ia juga hobi menyanyi. Setiap kali ada kegiatan di KBRI saat menjabat, ia selalu eksis. Jiwa bermusiknya memang tak lain karena darah seni sebagai orang Maluku yang melekat erat.
Kursi pun beralih tuan. Wahid telah menggantikan Djauhari. Era kepempinan sebagai dubes memang tidaklah mudah. Meski demikian, jejak langkah Wahid tak diragukan lagi. Ia pernah duduk sebagai dubes Uni Emirat Arab (2008-2012).
Di luar jendela, udara bertuba. Angin berhembus dingin. Tak berapa lama seusai makan malam bersama kami, ada pentas seni. Titin Suhartini bersama rekan-rekannya dari Dharma Wanita Persatuan KBRI Moskow, menyajikan tarian kontemporer nan memikat.
Begitu pula dengan pelajar-pelajar dari Sekolah Indonesia Moskow. Mereka apik melantunkan lagu-lagu bertema nasionalisme. Itu sebagai cara mereka menyambut dubes anyar tersebut.
Di penghujung acara, segerombolan mahasiswa asal Pulau Kalimantan menodong Wahid. Mereka mengajaknya berfoto bersama. Seorang mahasiswa lainnya nampak menyodorkan sedulang kue bolu lembut sebagai simbol 'selamat datang'.
"Bapak, kalau mau ke daerah, harus bawa penerjemah. Karena tidak semua pejabat bisa berbahasa Inggris di sini. Semasa bertugas, saya selalu bawa, deh," bisik Djauhari. "Oh, ya. Nanti saya akan bawah. Kita punya penerjemah, ya?" sambung Wahid, antusias.
Di belakang daun pintu kecoklatan, seorang staf berperawakan sangar sumringah. Ia ikut menguping pembicaraan kedua diplomat tersebut. Ia mengedip matanya ke arah dubes. Seakan ada sebuah isyarat bahwa; semuanya akan beres saat melawat ke daerah.
Malam bertambah malam. Jarum jam menunjukkan hampir pukul 00.00. Satu per satu tetamu sudah mengangkat kaki. Di Novokuznetskaya, satu pigura terpaku rapat di dinding-dinding sejarah. Saya melangkah di trotoar. Sesekali angin jahat mengantup di ujung telinga ini. (...)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved