Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SAAT ini sedang musim penerimaan peserta didik baru (PPDB), dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Untuk perguruan tinggi juga demikian. Pertama-tama, PPDB yang dijalankan saat ini pada dasarnya bermasalah dari segi keadilan pendidikan, yakni dalam perkara ekualitas dan ekuitas. Ekualitas terkait dengan kewajiban negara untuk memastikan setiap warga mendapat perlakuan sama terkait akses terhadap pendidikan. Tidak boleh ada yang diistimewakan atau dianaktirikan.
Sementara itu, ekuitas terkait dengan kewajiban negara untuk memastikan setiap warga negara mendapat pendidikan sesuai dengan realitas dirinya. Di sini, misalnya, berlaku prinsip inklusi bahwa pemerintah wajib memfasilitasi pendidikan bagi semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK).
Dalam PPDB yang dijalankan pemerintah saat ini, di sekolah-sekolah negeri terdapat apa yang disebut jalur prestasi, afirmasi, zonasi, perpindahan tugas orangtua dan anak guru. Wajib diakui bahwa upaya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) ini untuk mendekati keadilan pendidikan. Namun, harus juga dikatakan bahwa dalam beberapa hal masih jauh panggang daripada api.
Sepintas lalu, upaya penegakan keadilan terlihat pada jalur afirmasi dan zonasi--meskipun dalam keduanya masih terdapat masalah akut. Sementara itu, pada jalur prestasi jelas terdapat masalah konsep dan praktik ketidakadilan terhadap anak-anak secara psikologis dan sosial ketika pada jalur pindah tugas orangtua terdapat masalah ketidakadilan karena persamaan hak warga negara.
Kecurangan PPDB
Potensi kecurangan sebenarnya terdapat pada semua jalur. Pertama, pada jalur prestasi, kecurangan paling rentan terjadi pada jalur prestasi rapor yang mana bisa terjadi rekayasa nilai dan pihak sekolah asal biasanya menjadi pelaku utama. Selain dengan tujuan memuaskan orangtua dan anak, kuantitas anak yang lolos PPDB di ‘sekolah-sekolah favorit’ menjadi semacam kebanggaan semu dan sesat. Kedua tujuan ini secara materiel berhulu pada kepentingan marketing sekolah.
Seiring dengan itu, proses seleksi penerimaan murid memerlukan parameter dan instrumen yang valid, tepercaya, dan sama bagi semua peserta seleksi. Rapor murid, seperti kita tahu, sama sekali tidak memenuhi kriteria ini. Setiap guru, meskipun mengajar mata pelajaran yang sama, memiliki referensi, preferensi, kecenderungan, dan cara berbeda dalam memberikan penilaian. Sekolah-sekolah, meskipun berkurikulum sama atau bahkan memakai buku teks yang sama, memiliki kebijakan yang berbeda-beda. Alhasil, rapor seorang anak dari satu sekolah tak bisa dibandingkan dengan rapor sekolah lain meskipun sama-sama duduk di kelas tertentu.
Kalau proses seleksi berbasis hasil belajar ini akan dilanjutkan, harus ada semacam scholastic aptitude test, uji kemampuan akademik. Namun, ini tidak bisa dalam bentuk ujian nasional yang bermasalah. Kalau perlu, untuk menghindari rangkaian kecurangan baru, ujian ini diselenggarakan lembaga-lembaga independen tepercaya di dunia.
Kedua, pada jalur zonasi rentan terjadi kecurangan dengan melakukan rekayasa koordinat tempat tinggal calon murid. ‘Kongkalingkong’ bisa dilakukan oleh tim PPDB, sekolah asal, sekolah tujuan, dan orangtua. Salah satu penyebabnya ialah software yang dipakai saat ini tidak secara otomatis mengecek dan mengunci kesesuaian data pada kartu keluarga (KK). Sebaliknya, koordinat tempat tinggal asli calon murid bisa diutak-atik sedemikian rupa sehingga rentan kecurangan. Demikian pula praktik tumpang-menumpang KK sangat umum dilakukan.
Ketiga, ‘kecurangan’ atau lebih tepatnya ‘ketidakadilan’ juga kental pada jalur perpindahan tugas orangtua. Secara terang benderang dinyatakan bahwa jalur ini--di sekolah-sekolah negeri--terutama untuk anak dengan orangtua aparatur sipil negara (ASN), TNI/Polri, dan anak guru.
Kenapa bisa hanya atau diutamakan untuk segmentasi sosial ini? Bagaimana dengan anak-anak yang kebetulan juga harus pindah karena orangtua mereka juga harus pindah, tetapi bukan bekerja sebagai alat negara? Apa tolok ukurnya? Bukankan setiap warga negara, terlepas dari apa pun profesi dan status sosialnya, sama-sama berhak untuk ‘menikmati’ pendidikan yang dibiayai pajak dan pendapatan negara lainnya?
Sebagai penutup bagian ini, ada sedikit catatan terkait jalur afirmasi, khususnya mengenai jalur inklusi. Persoalan terbesar ialah pada paradigma, prosedur, dan kesiapan sekolah. Masih kuat, misalnya, pandangan umum bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) dipandang sebagai ‘anak bermasalah’ atau ‘tidak normal’. Demikian juga karena keterbatasan perspektif dan pengetahuan tentang inklusi, serta rangkaian prosedural penerimaan menyebabkan peluang keterterimaan ABK mengecil, memberatkan, dan hanya untuk sekadar memenuhi formalitas.
Sementara itu, terkait kesiapan sekolah terdapat masalah besar, terutama sekolah-sekolah negeri dan sekolah swasta yang secara formal ‘berpura-pura’ siap dengan program inklusi. Berapa persen, misalnya, guru-guru yang terlatih dan terbukti mampu mengajar di kelas-kelas inklusi? Bagaimana dengan infrastruktur sekolah? Bagaimana dengan rasio jumlah guru-murid yang mana jumlah murid yang sering amat besar dalam satu rombongan belajar? Bagaimana dengan ketersediaan tenaga ahli yang benar-benar bisa menjadi pamong dalam perkara inklusi di setiap sekolah?
Masalah prestasi
Soal prestasi mendapat sorotan utama di sini karena menjadi akar persoalan akut dalam dunia pendidikan kita. Sebenarnya, sudah sejak lama kritik terhadap apa yang disebut ‘prestasi’ dalam dunia pendidikan sehingga melahirkan diskusi panjang dan karya-karya ilmiah yang menunjukkan berbagai bias di dalamnya.
‘Anak berprestasi’ sendiri secara umum diartikan sebagai anak yang menonjol secara akademik--dalam bidang atau mata pelajaran tertentu atau hasil pukul-rata kuantifikasi--atau memiliki kelebihan, atau kebolehan yang terbukti dalam kompetisi atau lomba-lomba. Anak-anak berprestasi ini kemudian cenderung mendapat perlakuan istimewa, seperti mendapatkan hadiah-hadiah, pujian, status, prioritas, dan seterusnya. Bukan hanya di Indonesia, di negara-negara lain atau bahkan yang sudah maju sekalipun-- dengan kualitas inklusivitas yang rendah--anak-anak yang dinilai berprestasi tiba-tiba saja bisa mendapat positioning berbeda secara sosial dari anak-anak lainnya.
Bahaya paling dekat--atau secara psikologis disebut efek detrimental--dari pengistimewaan ini ialah apa yang kita sebut saja sebagai efek meteor. Ketika tiba-tiba saja seorang anak menjadi istimewa jika dibandingkan dengan anak lainnya ketika di bangku TK, SD, SMP, atau SMA, mereka seperti menjadi meteor yang melejit, mengagumkan, melintas di cakrawala. Akan tetapi, itu tidak ajek, hanya sementara waktu. Ketika faktor-faktor eksternal--biasa disebut sebagai motivasi ekstrinsik--melemah, misalnya, efek meteor mereka akan menjadi semakin pendek atau situasional.
Dalam jangka waktu yang lebih panjang, anak-anak yang terbiasa diistimewakan karena dianggap berprestasi ini akan membangun citra diri atau identitas secara tidak sehat, yakni bahwa mereka ‘berbeda’ karena ‘lebih’ dari orang lain. Dalam hal kecerdasan sosio-emosional, misalnya, akan cenderung terjadi masalah dengan sosiabilitas, hambatan pertumbuhan empati atau bahkan menguatnya egosentrisme.
Secara sosial, prestasi-prestasian melanggengkan ketidaksetaraan (inequality) atau ketidakadilan. Anak-anak yang ‘tidak berprestasi’ akan terus-menerus diposisikan sebagai warga negara kelas dua. Hak mereka akan akses pendidikan rentan dicuri dan pertumbuhan identitas sosial mereka dipaksa bertumbuh tidak wajar. Jika mereka berlatar belakang ekonomi lemah atau berlatar belakang lingkungan sosial dengan kesadaran pendidikan lemah, kesempatan mendapat pendidikan yang baik berarti akan semakin mengecil.
Akar masalah pada perkara prestasi-prestasian ialah apa yang disebut sebagai social comparison, yakni pandangan dan praktik yang menghalalkan satu anak boleh dan kalau perlu wajib dibanding-bandingkan dengan anak lainnya. Dengan dalih sesat memotivasi anak, di kelas-kelas dibuat sistem ranking yang mana masih ada guru-guru atau sekolah yang memajang ranking dan nilai anak untuk dikonsumsi umum.
Demikian pula ada lomba-lomba antarkelas, hadiah-hadiah, dan sebagainya. Bahkan ada kelas khusus (honors class) untuk anak-anak berprestasi berbanding dengan kelas reguler atau kelas-kelas untuk anak ‘biasa’. Bahkan, juga ada apa yang disebut kelas-kelas akselerasi!
Korban perspektif social comparison ini mencakup anak-anak yang mengalami disprivileged maupun yang diistimewakan (priveleged). Ketika anak-anak yang disprivileged kehilangan hak akan keadilan perlakuan, anak-anak yang privileged ‘dirusak’ dengan pengistimewaan. Ketika anak-anak dispriviliged bisa mengalami rendah diri, anak-anak priviliged bisa saja menjadi tinggi hati. Ketika anak-anak disprivileged tersesat membangun identitas diri sebagai warga sosial kelas dua, anak-anak privileged juga bisa tersesat dalam mempersepsi diri sebagai warga sosial istimewa.
Salah satu alternatif bagi sistem berbasis social comparison yang terlanjur jamak ini sebenarnya sudah lama ada. Di Indonesia sudah cukup lama wacana tentang potensi unik anak dan di sekolah-sekolah swasta berwawasan global--dan/atau biasanya internasional--juga sudah dikembangkan tentang collaborative learning atau fasilitasi pembelajaran yang didasarkan pada kerja sama antaranak yang berbakat dan minat berbeda-beda. Sayangnya, ini masih lebih banyak wacana dan masih jauh panggang daripada api di sekolah-sekolah negeri dan swasta kebanyakan.
Terkait pemaknaan prestasi, salah satu konsep yang baik ialah prestasi sebagai keberhasilan mencapai pengetahuan, sikap, atau keterampilan tertentu tanpa mesti dibanding atau membanding-bandingkan dengan siapa pun. Ukurannya bukan peringkat, piala, besaran hadiah, dan sebagainya karena memiliki skor yang lebih tinggi.
Sebaliknya, berprestasi berarti mampu membuat berbagai pilihan dari waktu ke waktu secara mandiri atas pertimbangan-pertimbangan yang logis dan situasional. Achievement juga ialah keberhasilan tiba pada pemahaman tentang bakat dan minat pribadi dan kemudian mengembangkan diri sesuai bakat dan minat tersebut sebagai individu yang memiliki self-agency. Achievement bersifat individual-unik dan tidak bisa atau perlu disamaratakan atau dibanding-bandingkan.
Sekolah bagus
Di tengah berbagai potensi kecurangan PBDB dan carut-marut basis penyelenggaraan pendidikan, anak-anak kita tentu saja tetap wajib mendapatkan fasilitasi belajar. Ketika bersekolah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern, harus dicari apa yang disebut sekolah bagus (good schools).
Sebelum itu, wajib disadari bahwa lolos atau tidak lolos PPDB pada dasarnya sama saja. Lolos PPDB di sekolah favorit, misalnya, bukanlah jaminan mutlak bagi suatu keterdidikan. Kontribusi sebuah sekolah bagi keterdidikan hakiki--sebagai lawan dari keterdidikan formal yang dibuktikan dengan berlembar-lembar ijazah--tak bisa dijamin begitu saja. Apalagi jika terkait apa yang disebut sebagai sekolah favorit, seperti pernah dibahas penulis sebelumnya, itu ialah satu kesalahan fundamental yang akan berlanjut dengan kesalahan-kesalahan berikutnya.
Demikian pula dengan dikotomi sekolah negeri versus sekolah swasta. Tak ada jaminan bahwa secara proses pendidikan sekolah negeri ialah lebih baik dari sekolah swasta. Demikian pula sebaliknya. Hal yang pasti, sekolah-sekolah negeri semestinya gratis atau lebih murah jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta yang harus memungut biaya pendidikan untuk menghidupi diri. Meskipun, seperti kita tahu, sering kali para oknum di sekolah-sekolah negeri bisa lebih rakus memungut biaya ini-itu, salah satunya dengan memainkan embel-embel ‘sekolah favorit’.
Ciri umum sekolah bagus ialah terdapatnya fasilitasi pendidikan berkualitas. Apa saja parameternya? Riset-riset pendidikan mengarah pada tiga hal, yakni fasilitasi pertumbuhan dan perkembangan sosio-emosional, perkara ekuitas dan pencapaian akademik (academic excellence). Ketika rata-rata sekolah berkutat pada upaya-upaya pencapaian akademik, semacam konsensus telah dicapai bahwa ketika aspek sosio-emosional dan ekuitas terpenuhi, pencapaian akademik dengan sendirinya menjadi mudah.
Anak-anak di sekolah yang bagus mengalami proses perkembangan sosial dan emosional secara bertahap dan integratif melalui mana mereka menguasai kemampuan untuk memahami, mengalami, menunjukkan, dan mengelola berbagai bentuk emosi, serta mengembangkan hubungan bermakna bersama orang lain. Di antara buah dari perkembangan ini ialah kemampuan wawas diri, kerja sama dalam bermain dan bekerja, empati, pengelolaan emosi, kepercayaan diri, persahabatan, dan perkembangan identitas diri. Dalam kehidupan nyata, kita bisa melihat perkembangan sosio-emosional pada anak-anak yang mampu bekerja sama dalam menyelesaikan tugas yang sulit, mengendalikan dan mengelola rasa frustasi ketika gagal, mencari bantuan dan orientasi penyelesaian masalah, serta resolusi konflik.
Sementara itu, ekuitas merupakan perspektif, sikap, dan perilaku yang berakar pada pengakuan dan penghormatan atas keunikan setiap anak atau orang bahwa mereka tak ada yang sama. Tugas sekolah atau guru-guru ialah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk mengembangkan potensi diri, belajar, dan bekerja sesuai kekuatan diri serta berlatih mandiri memenuhi kebutuhan diri.
Dalam hal ini sekolah-sekolah yang bagus tidak monoton dengan perkara konten, prestasi akademik matematis-linguistis, dan sebagainya. Sebaliknya, di sana terdapat variasi kegiatan akademik dan nonakademik serta fasilitas-fasilitas unik atau pusat belajar yang tidak melulu berupa lab-lab kuno yang biasanya amat jarang dipakai.
Bagaimana kita tahu adanya sekolah yang bagus? Dalam konteks Indonesia, tiada jalan lain kecuali langsung berkunjung ke sekolah-sekolah yang menjadi calon sekolah buat anak-anak kita. Waktu berkunjung yang tepat ialah ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Dalam kunjungan ini bisa dilakukan penggalian informasi berupa tanya jawab dengan para guru, murid-murid, dan warga belajar lainnya. Jangan pernah tergiur dengan berbagai pajangan fisik seperti piala dan simbol-simbol menipu lainnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved