Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Lokomotif Saintis Diaspora NU

Budy Sugandi Wakil Katib Syuriah PCINU Tiongkok & Mahasiswa PhD jurusan Education Leadership and Management, Southwest University China
08/5/2021 05:00
Lokomotif Saintis Diaspora NU
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PERSEBARAN diaspora NU di lebih dari 33 negara, menjadi bagian dari soft diplomacy sains dan teknologi antara Indonesia dan negara setempat. Kader Nahdliyin di luar negeri tersebut, biasanya diwadahi dalam bentuk Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU). Anggotanya pun variatif, mulai mahasiswa, pekerja, profesional, bahkan ada yang sudah berkeluarga dengan warga setempat.

Konon, dulu diaspora NU yang sedang menempuh studi banyak yang memilih mengambil konsentrasi sosial humaniora dan keislaman, seperti ilmu tafsir Alquran, akidah dan filsafat Islam, studi agama-agama dan tasawuf yang mayoritas ke negara-negara Timur Tengah. Namun, saat ini terjadi diversifikasi keilmuan dengan mengambil konsentrasi di bidang sains dan teknologi, seperti ilmu komputer, kedokteran, teknik biomedis, robotika, aerodinamika, dan arsitektur.

Kehadiran PCINU sebagai wadah resmi NU di luar negeri diberikan Surat Keputusan (SK) Kepengurusan ditandatangani langsung oleh Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PBNU menjadi kepanjangan tangan dalam menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam ahlussunnah waljamaah, yang memiliki empat prinsip utama, yakni tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), ‘adalah (adil). Tentu, tanpa harus meninggalkan kewajiban utama untuk memperdalam keilmuan yang dipelajari sesuai dengan bidang yang ditekuni.

 

 

Inklusif

Pengamatan saya, diaspora NU sangat inklusif dalam menyelenggarakan kegiatan dan aktivitas sosial kemasyarakatan. Mereka siap berkolaborasi dengan organisasi lain, seperti Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Muhamadiyah. Bahkan, dengan organisasi di negara setempat.

Sewaktu saya masih aktif di PCINU Turki, kami biasa menyelenggarakan kegiatan bersama Oender Imam Hatipliler Dernegi. Ada kelas diskusi rutin dan belajar bahasa Arab waktu itu. Saat ini pun saya rasa demikian, banyak kegiatan PCINU Turki dan PCINU negara lain yang berkolaborasi dengan organisasi lain.

Selain aktivitas di atas, relasi diaspora NU juga sangat cair. Tak jarang rumah menjadi tempat berkumpul, berdiskusi, bahkan penampungan sementara. Ketika saya mendapatkan kesempatan exchange student ke Jerman pada 2013, tepatnya di kampus Technische Universitat Braunchweig, saya yang awam dengan Jerman memilih terbang dulu dari Istanbul ke Frankfurt am Main sebelum ke Kota Braunschweig untuk sowan ke Mas Suratno Paramdina, Ketua Tanfidziyah PCINU Jerman waktu itu.

Di sana, saya mendapatkan wejangan seputar budaya, termasuk diajak bertemu mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Frankfurt hingga diajak keliling kota untuk mengenal lebih dekat tentang Jerman.

Setelah menyelesaikan studinya, diaspora NU ada yang kembali ke Tanah Air dan ada juga memilih bekerja di luar negeri. Misalnya, Nadirsyah Hosen yang saat ini mengajar di Monash University Australia, Ayang Utriza Yakin menjadi Visiting Professor di Ghent University Belgia, Sumanto Al Qurtuby mengajar di King Fahd University of Petroleum and Minerals Saudi Arabia. Lalu, Mun’im Sirry mengajar di University of Notre Dame Amerika Serikat, Etin Anwar mengajar di Hobart and William Smith College Amerika Serikat, Ismail Fajrie Alatas mengajar di New York University Amerika Serikat.

Deretan nama itu tentu tidak asing bagi kalangan Nahdliyin, bahkan mereka menjadi inspirasi dan idola karena dianggap menguasai khazanah pemikiran Islam serta berhasil berkiprah di mancanegara dengan menjadi pengajar di kampus-kampus top dunia.

 

 

Diversifikasi keilmuan

Diversifikasi keilmuan yang saya maksud di sini bukan berarti untuk mendikotomikan antara mereka yang mengambil ilmu sosial humaniora dan ilmu sains teknologi. Itu karena keduanya sama-sama fundamental bahkan bisa berintegrasi dan terinterkoneksi.

NU sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia--jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 270 juta dan mayoritas NU--bahkan terbesar di dunia memiliki tanggung jawab dalam menjawab persoalan masyarakat yang kian hari kian kompleks. Maka, persoalan umat saat ini bukan hanya tentang fikih, akidah, halal-haram, dan seterusnya. Namun, lebih dari itu, permasalahan pendidikan, Kesehatan, dan ekonomi juga menunggu untuk diselesaikan.

Ambil contoh, pandemi covid-19 saat ini, membutuhkan ahli kesehatan untuk membuat vaksin, atau pemanasan global yang membutuhkan pakar lingkungan hidup. Di titik inilah, kader-kader NU perlu juga terjun mendalami dan menjadi saintis. Menjadi bagian dari solusi hajat orang banyak.

Diversifikasi keilmuan diaspora NU yang menekuni saintek sudah terlihat. Tidak sekadar menjadi mahasiswa, beberapa dari mereka dikategorikan berprestasi. Contohnya, Wakil Katib Syuriah PCINU Jerman Hendro Wicaksono, yang mengajar industrial engineering mathematics and logistics, baru-baru ini menyabet penghargaan dosen terbaik di Universitas Jacobs, Bremen, Jerman.

Ada juga Ketua Tanfidziyah PCINU Jerman, Muhammad Rodlin Billah, yang pernah mendapat penghargaan bergengsi dalam Leibinger Innovationpreiss 2018, dan Ahmad Ataka mantan Ketua Tanfidziyah PCINU UK dan ahli Robotika yang menyelesaikan S-3 di King’s College London Inggris.

Belajar di luar negeri, tentu tidak menjamin seseorang menguasai keilmuannya. Apalagi, sampai pada kesimpulan alumni luar negeri pasti lebih baik daripada alumni dalam negeri. Semua itu kembali pada pola dan ketekunan personal dalam menuntut ilmu.

Kesempatan studi di luar negeri harus dijadikan tantangan untuk menggali lebih jauh dan dalam bidang keilmuan. Fasilitas yang memadai baik dari kualitas pengajar, alat laboratorium, hingga membanjirnya koleksi referensi, menjadi keunikan tersendiri, termasuk atmosfer belajar bersama mahasiswa asing dari berbagai latar belakang dan budaya. Momentum ini sayang jika tidak dioptimalkan.

Bagi yang menekuni rumpun saintek, hadirnya peralatan yang (super) canggih akan mengakselarasi pengetahuan. Ini akan meningkatkan daya kritis dan berpikir serta bertindak ilmiah. Belajar itu, baik di dalam maupun di luar negeri, bukan hanya tentang kampus, melainkan bagaimana kehidupan di luar kampus.

Justru secara persentase, ilmu di luar kampus lebih besar dan banyak digunakan dalam kehidupan nyata ketimbang ilmu yang di dapat di dalam kampus. Wawasan seperti ini yang akan mendorong diaspora tidak sekadar menjadi mahasiswa ‘kupu-kupu’ alias kuliah pulang-kuliah pulang. Namun, lebih dari itu menjadi duta-duta bangsa, memberikan citra positif bangsa Indonesia ke seluruh penjuru dunia, serta menjadi jembatan penghubung bilateral antarnegara.

 

 

1 abad NU

Jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi didirikan pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M, meskipun secara kultural NU sudah hadir di Nusantara sekitar 1.000 tahun lalu. Artinya, pada 2026 akan memasuki usia 1 abad. Momentum 1 abad ini sangat penting untuk melakukan refleksi dan resolusi. Peran NU dalam sosial keagamaan sudah tidak diragukan lagi, tidak hanya dalam menjaga kerukunan dan kedamaian di Indonesia, tapi juga hingga skala global.

Di tengah karut-marutnya persatuan seperti yang terjadi di Afghanistan, Yaman, Libia, Suriah, hingga Myanmar, Indonesia tetap kukuh dengan Bhinneka Tunggal Ika. Munawir Aziz dalam Opini Media Indonesia (3/4) berjudul Islam Indonesia, Soft Power dan Diplomasi Perdamaian, menuliskan para kiai NU sejak lama memimpikan situasi damai antara Israel dan Palestina, yang itu bisa dimulai dengan dialog antaragama; Yahudi, Nasrani, dan Islam dalam konteks global.

Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selama beberapa dekade berjuang untuk proses perdamaian itu dengan melancarkan beberapa program inisiasi serta sinergi antartokoh agama.

Peran NU menjadi kunci terutama bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Berbeda-beda suku, agama, bahasa hingga budaya, tapi hingga saat ini kita mampu menjadi rumah bersama bagi semua golongan. Tak pelak banyak suara dari luar bertanya-tanya mengapa Indonesia bisa senyaman ini. Indah alamnya, ramah orangnya, luhur budayanya.

Momentum 1 abad ini, juga bertepatan dengan bonus demografi Indonesia yang usia produktifnya (15-64 tahun) akan mendominasi. Bonus demografi ini beranjak dari 2025-2026 hingga memuncak pada 2030-2040. Yang menurut Bappenas pada periode tersebut penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64% dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa.

Bonus demografi hadir bersamaan dengan tantangan baru. Menjadi pisau bermata dua. Menjadi berkah ketika masyarakatnya mampu berinovasi, sebaliknya menjadi musibah ketika ketika masyarakatnya tak peduli.

Problem umat akan lebih kompleks. Revolusi industri baru akan hadir. Muda-mudi Indonesia akan terjun menjadi bagian dari perubahan bangsa. Di titik inilah, kompetensi diaspora NU bisa disalurkan. Tidak sekadar menjadi penonton, tetapi hadir di segala lini.

Sudah barang tentu NU hadir dalam elemen keagamaan, tapi juga harus siap dan memiliki stok ahli di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Mari terus kita jaga bara api semangat saintis diaspora NU. Semoga apa yang sudah ditanam dan dirawat bisa dipetik dan dinikmati bagi kemaslahatan umat. Menjadi lokomotif dalam menyongsong 1 abad kelahiran NU hingga akhirnya menjadi tuan di negeri sendiri.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya