Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
UMAT Islam menyambut sukacita datangnya Ramadan yang penuh berkah, meski tahun ini juga masih dalam suasana prihatin karena wabah covid-19 masih masif menyebar dan korban terus berjatuhan setiap hari.
Secara terminologi, puasa bermakna menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan, yang disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Puasa yang dilakukan umat Islam secara tidak langsung juga bermakna pembatasan konsumsi makanan dan minuman dalam jangka waktu tertentu (umumnya 14 jam) sehingga terjadi pengurangan asupan zat gizi. Pengurangan kalori 20%-25% di saat kita berpuasa lazim terjadi karena frekuensi makan berkurang dari 3 kali sehari menjadi 2 kali sehari. “Berpuasalah, niscaya kamu sehat,” demikian hadis Nabi SAW.
Pembaruan sel tubuh
Secara fisik, tidak diragukan bahwa berpuasa ialah salah satu cara mencapai kesehatan yang praktis dan murah. Berpuasa akan memberikan ruang bagi pencernaan dan organ-organ tubuh lain untuk beristirahat sejenak dari rutinitas. Dengan demikian, memungkinkan terjadi pembersihan dan pembaruan sel-sel dalam tubuh.
Puasa juga dapat mencegah penyakit akibat pola makan yang berlebihan. Pola makan berlebihan menimbulkan asupan gizi lebih yang mengakibatkan kegemukan, juga memicu berbagai penyakit, seperti kolesterol tinggi, penyakit jantung, diabetes, dan hipertensi.
Melalui rasa lapar, hakikat amarah dan nafsu dilemahkan. Ketika seseorang berpuasa, maka dia belajar mengendalikan emosinya, belajar mendisiplinkan diri agar terhindar dari penyakit hati dan omongan yang tidak berguna, juga belajar berjiwa ikhlas dan berperilaku jujur dalam segala aspek kehidupan. Jiwa yang sakinah akan membawa dampak positif bagi kesehatan.
Ikhlas dalam berpuasa ditandai oleh sikap tidak mudah mengeluh dan putus asa. Di tengah berkecamuknya wabah covid-19, kita harus tetap tegar dan percaya bahwa bangsa ini akan mampu melewatinya. Ikhtiar yang dilakukan dengan vaksinasi dan perubahan perilaku keseharian seperti physical dan social distancing adalah upaya pencegahan yang harus kita patuhi. Selain itu, melalui doa yang dipanjatkan di bulan Ramadan, semoga wabah covid-19 dapat segera menyingkir dari bumi Indonesia.
Keimanan seseorang meningkat berlipat ganda di bulan puasa. Pada bulan ini umat Islam lebih khusyuk menjalankan ibadah, banyak dengan beriktikaf di masjid, berzakat dan bersedekah untuk yang miskin, serta berlomba-lomba menyantuni anak yatim.
Akibat pandemi covid-19, kemiskinan ekstrem di seluruh dunia diprediksi meningkat pada tahun ini. Kenaikan angka kemiskinan ekstrem ini tercatat menjadi yang pertama kali terjadi sejak 1998 atau dua dekade terakhir. Ketika itu, krisis keuangan negara-negara Asia mengguncang ekonomi global.
Bank Dunia mendefinisikan orang yang mengalami kemiskinan ekstrem sebagai orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari US$1,9 atau pendapatan setara Rp10.000.000 per kapita per tahun. Bank Dunia juga menyebut dampak pandemi memperlambat upaya mengurangi kemiskinan. Penduduk miskin Indonesia per September 2020 menjadi 27,55 juta orang atau meningkat 2,76 juta orang dari jumlah pada September 2019.
Dalam kondisi normal, kita menyadari bahwa dimensi kemiskinan memang sangat luas. Hal ini menyangkut ketidakberdayaan dalam mengakses pangan, pendidikan, perumahan, dll. Derivasi yang dialami orang miskin dalam segala dimensi membuat mereka menderita. Suara-suara orang miskin adalah keluhan tentang kondisi sulitnya mengonsumsi makanan yang layak gizi, rumahnya yang tidak layak huni, rendahnya daya beli, buruknya sanitasi lingkungan, dan ketakutan bila ada anggota keluarga yang sakit karena tak mampu berobat.
Kini, dengan adanya wabah covid-19, keluhan utama masyarakat ialah bagaimana menyambung hidup sehari-hari untuk keperluan pemenuhan pangan. Bagi pekerja harian, kondisi kehidupan saat ini ibarat kiamat kecil yang membuat ekonomi rumah tangga hancur. Tanpa kebijakan pemerintah untuk meluncurkan program-program bantuan yang sifatnya langsung, maka mereka nyaris tak mampu menolong dirinya sendiri.
Lebih berempati
Pada tahun-tahun sebelumnya, orang Indonesia mungkin dapat dikatakan orang yang tidak rasional dalam menyambut Ramadan dan Lebaran. Sebagian berprinsip bahwa penghasilan setahun akan dihabiskan untuk menyongsong hari besar ini. Oleh sebab itu, setinggi apa pun harga barang yang ditawarkan, akan dibeli demi kebahagiaan anak dan seluruh anggota keluarga.
Namun, tahun ini, kita tidak perlu lagi berbelanja berlebihan untuk kepentingan sendiri. Kita perlu lebih berempati pada masyarakat di sekitar kita yang kini jatuh miskin akibat covid-19. Larangan mudik oleh pemerintah hendaknya dipatuhi. Dana untuk mudik bisa lebih digunakan untuk membantu orang miskin di sekitar kita. Kita harus belajar dari India yang membukukan kematian 2.000 orang dalam sehari akibat covid-19 yang kembali merebak dan diperkirakan terjadi sehabis perayaan ritual keagamaan.
Pengentasan warga dari kemiskinan sudah dijalankan sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Beliau sangat menegaskan pentingnya zakat, infak, dan sedekah. Jutaan orang Islam yang kaya di Indonesia harusnya menjadi kekuatan ekonomi untuk mengeliminasi kemiskinan.
Negara ini akan sejahtera kalau pemimpinnya adil, orang berharta mau bersedekah, dan orang fakir rajin berdoa. Ramadan dan Lebaran tahun ini tidak perlu menghambur-hamburkan harta. Masih banyak keluarga terdampak pandemi covid-19 yang tidak tahu apa yang bisa dimakan besok. Mereka adalah golongan prasejahtera, kaum duafa, orang miskin (lama dan baru) yang memerlukan uluran tangan orang berpunya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved