Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
“LAKONEH lakonah, kennengeh kennengah.”
Pepatah Madura di atas yang bermakna 'kerjakan apa yang menjadi pekerjaannya dan tempati apa yang menjadi tempatnya', memberikan pesan moral bagi kita: harus bersikap profesional dalam melaksanakan tugas dan menduduki jabatan.
Secara sosiologis, pepatah itu menguraikan dua kerangka metodologis dalam memahami sebuah kerja dan tempat yang perlu disikapi dengan baik, yaitu, pertama, konstruksi penanda yang berkaitan dengan tugas dan kepercayaan yang diberikan haruslah dikerjakan secara bertanggung jawab agar bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya, baik secara kualitas dan kuantitas.
Kedua, konstruksi petanda, yang berkaitan dengan labelitas profesi yang melekat pada tempat dan jabatan yang diberikan agar diperlakukan sesuai dengan jalur yang diarahkan.
Dalam bahasa agama, kedua unsur penanda dan petanda mencerminkan nilai filosofis fi kulli ‘amalin makanun wa fi kulli makanin maqamun, yakni setiap pekerjaan memiliki tempat yang sesuai dengan kapabilitas dan kapasitas.
Dua nilai itu saling berjalin kelindan untuk menuju ke kesempurnaan kesalehan kita. Pertanyaannya, apakah kita telah memosisikan diri sebagai orang yang bisa melaksanakan tugas dan fungsi dengan baik dan tepat?
Tumpang-tindih
Banyak di antara kita yang tidak bisa memosisikan diri dengan baik ketika berhadapan dengan pekerjaan. Fenomena aktualisasi diri yang melampaui batas kewenangan yang ditegaskan dalam tugas dan fungsi telah menimbulkan kesemrawutan dan keteledoran yang justru merugikan banyak pihak. Sebagai contoh, banyak di antara kita manakala diamanati jabatan, yang seharusnya diekspresikan berdasarkan aturan main yang sudah ditegaskan dalam peraturan, justru dilampaui atas nama tindakan terobosan, yang terkadang diliputi nuansa kepentingan.
Indikasinya bisa dicermati pada beberapa kecenderungan yang marak terjadi di lingkungan kita seperti, pertama, tindakan merangkap segala jenis pekerjaan dan menguasai banyak tempat hanya karena iming-iming materi yang sangat menjanjikan.
Kedua, memosisikan diri sebagai pengamat yang di saat bersamaan sebenarnya identitas yang melekat pada dirinya ialah pelaksana tugas. Ketiga, menggeneralisasi perolehan pendapatan, antara satu tempat kerja dan tempat kerja lain, dan karena itu, bila sebuah tempat kerja tidak bisa menghadirkan pendapatan yang serupa dengan yang lain, harus dituntut sama. Padahal, bisa jadi sistem anggaran dan alokasi belanja yang dimiliki sebuah tempat kerja sangat berbeda dengan tempat kerja yang lain.
Berdasarkan beberapa indikasi di atas, banyak orang mengalami krisis dedikasi dan loyalitas terhadap pekerjaan yang sedang diamanati. Padahal, tugas yang diberikan kepada kita saat ini bisa jadi ialah sarana ekspresi diri untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa kita bisa bertanggung jawab atas apa yang kita kerjakan dan tempati. Apabila kita bisa menunjukkan rekam jejak yang baik, bisa jadi dengan sendirinya kita akan memperoleh nilai tambah (barokah) dari apa-apa yang kita bayangkan, baik pendapatan materiel maupun imateriel.
Namun, anggapan kita sering kali menuntun pada sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas kerja yang kita hadapi. Sementara itu, di saat bersamaan, kita selalu dihantui rasa gengsi (prestise) yang sebenarnya belum sepadan dengan prestasi yang harus dicapai. Dampaknya banyak pekerjaan yang seharusnya dikerjakan dengan profesional menjadi terbengkalai dan banyak jabatan yang seharusnya dikelola dengan proporsional menjadi telantar.
Momentum puasa Ramadan
Mencermati kondisi 'kerja' dan 'tempat' yang serbatumpang-tindih, kita perlu membangun sebuah tradisi baru, yang lebih memberikan kemaslahatan. Puasa Ramadan mengajarkan sebuah penghargaan diri secara profesional dalam memperlakukan 'kerja' dan 'tempat' dengan semangat pengabdian.
Di samping itu, penyikapan 'kerja' dan 'tempat' secara profesional perlu dibangun berdasarkan roh spiritualitas agar apa yang kita lakukan berkelindan dengan nilai-nilai keimanan (imanan) dan ketulusan dan kehati-hatian (ihtisaban), sebagaimana yang termuat dalam grand norm puasa Ramadan: barang siapa yang berpuasa pada Ramadan dengan penuh keimanan (imanan) dan ketulusan (ihtisaban) maka akan diampuni segala dosa-dosanya.
Dua nilai luhur dalam grand norm di atas menjadi saka guru kesalehan dalam kehidupan kita. Dalam hal ini, kesalehan tidak sekadar menjadi simbol ketaatan seseorang untuk menunjukkan komitmen dan ketulusan dalam menjalankan praktik peribadatan baik yang bersifat ritual-religius (hablun minallah) maupun kesalehan sosial yang berhubungan erat dengan tindakan-tindakan kedermawanan dan kebersahajaan kepada manusia. Akan tetapi, kesalehan profesional dapat menjadi jalan ketiga sebagai asas utama dalam mengimplementasikan segala bentuk tugas untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik, mulai proses hingga hasil yang diperoleh.
Secara epistemologis, kesalehan profesional mencerminkan sebuah ekspresi ketaatan yang memiliki esensialitas, antara pekerjaan dan religiositas. Satu sisi kesalehan merupakan kapasitas yang berbasis kepada nilai-nilai keberagamaan dan pada saat bersamaan profesional merupakan kapabilitas yang berbasis kepada nilai-nilai pengetahuan.
Dengan kata lain, meminjam pandangan Max Weber, kesalehan profesional harus bisa mengombinasi nilai-nilai keagamaan untuk meningkatkan spirit kapitalisme yang salah satu cirinya ialah nilai-nilai profesionalisme.
Oleh karena itu, sudah semestinya kita memperlakukan pekerjaan yang ditugaskan dan jabatan yang ditempati sebagai sarana pembuktian diri bahwa prestasi utama yang harus digapai ialah kemaslahatan bersama agar Indonesia menjadi negara yang bisa berkarya nyata.
Semoga puasa Ramadan kali ini menjadi medan pendidikan dan latihan (tarbiyah wa tajribiyah) yang bisa membentuk kesalehan profesional yang bisa bermanfaat bagi kita, negara, dan bangsa.
Program ini menjadi bukti bahwa Ramadan tak hanya sebagai momen ritual ibadah semata, tetapi langkah nyata memperkuat solidaritas sosial.
Kesejahteraan masyarakat mengalami penurunan selama Ramadan hingga Idul Fitri 2025. Hal ini tercermin dari data Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) per Maret 2025.
Pembahasan tentang puasa Syawal terkait dalil hukum dan beda pendapat mazhab, nilainya seperti puasa setahun, orang yang tidak berpuasa Ramadan, dan niat puasa Syawal. Berikut penjelasannya.
Pada momen Ramadan dan Lebaran, kesehatan kulit harus dijaga agar tidak terpengaruh dengan pola makan, hidrasi, dan gaya hidup.
Melalui program Hampers Produk Mustahik ini, Baznas telah melakukan Kurasi Produk untuk mendukung UMKM binaannya dalam memproduksi kue-kue berkualitas.
Pernah membayangkan Ramadan terjadi dua kali dalam satu tahun? Jika melihat kalender, fenomena unik ini akan terjadi pada 2030 nanti.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved