Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Surga Itu Serupa Perpustakaan

Hikmat Gumelar, Koordinator Program Institut Nalar Jatinangor
16/3/2021 21:05
Surga Itu Serupa Perpustakaan
Hikmat Gumelar(Dok pribadi)

PADA 14 Maret 1948, Presiden Soekarno mencanangkan pemberantasan buta huruf (PBH). Padahal, Indonesia tengah menghadapi Belanda yang hendak kembali menjajah. Ibu kota negara terpaksa pindah ke Jogjakarta. Para pendiri bangsa sebagian sengit bersitegang. 

Namun, Soekarno bukan saja berkeras mengatasi itu semua, tapi juga memacu rakyat mewujudkan PBH. Pemerintahannya, misalnya, mengadakan kursus PBH yang melibatkan 17.822 guru dan 761.683 murid. Upaya ini bertemali dengan Soekarno sendiri. 

Pereka bangsa 

Ben Anderson menulis, bangsa adalah komunitas rekaan. Bangsa Indonesia tak terkeculi. Bangsa ini mula penjadiannya dipercepat kapitalisme cetak dan rute kereta api baru. Koran dan novel menerbitkan rasa senasib sebagai kaum jajahan di kalangan rakyat. Inilah embrio nasionalisme.

Sejak kuliah di Technische Hooge Shool (kini Institut Teknologi Bandung), Soekarno kerap mewarnai koran-koran. Daya pukau orasinya merupakan pendorong kuat pilihan gerakan politiknya yang mengandalkan rapat-rapat umum. Pada 1928, misalnya, sekali sepekan ia keliling Bandung berorasi. "Aku memekik-mekik kepada ratusan rakyat yang menyemut di tanah lapang," ucapnya.

Bagi Mohammad Hatta, yang ketika itu tokoh Perhimpunan Indonesia di Belanda, hal itu malah masalah. Menurutnya, terus mengandalkan gerakan massa bisa membuat pemerintah kolonial makin represif. Bahkan orasi-orasi Soekarno cenderung cuma mengumpulkan kerumunan dengan dia di pusat.

Hatta ingin kesadaran nasional rakyat tumbuh melalui pendidikan politik yang diberikan partai kader, sehingga dapat lahir 'beribu-ribu, bahkan berjuta-juta Soekarno'. Ia pun pecinta buku dan caranya membaca sistematis dan disiplin. Tahun pertama di sekolah menengah Prins Hendrik School, misalnya, Hatta sudah teratur membaca Socialisten HP Quack yang terdiri dari enam jilid. 

Namun, Soekarno bukan saja sumber berita. Ia juga rajin menulis artikel yang referensial, menerangi dan memikat. Misalnya, pada 21 Januari 1921, artikelnya terbit di halaman depan koran Oetoesan Hindia. Pada pertengahan 1926, terbit Nasionalisme, Islam, dan Marxisme di Indonesia Muda. Saat diadili pada 1930, pledoinya orasi manifesto politik Indonesia Menggugat selama dua hari berturut-turut. Daya pukau orasinya pun bukan saja berkat latihan dengan model dalang wayang kulit dan pidato pendiri Muhammadiyah Acmad Dahlan, tapi terilhami biografi George Washington, Garibaldi, dan Abraham Lincoln yang dibacanya.

Namun, Soekarno membaca bukan untuk mengakumulasi pengetahuan. "Jangan sekali-sekali menyembah aksara!" ucapnya. Membaca, baginya, terutama agar menjadikan dia dapat menyulut semangat kebangsaan dan menyatukan rakyat demi mencapai Lautan yang Bebas, Lautan Indonesia Merdeka. Untuk itu juga, ia produktif menulis. Dalam  Bibliografi Sukarno (Yayasan Idayu, 1988), tercetak 1.196 tulisan Soekarno dalam bentuk pidato, artikel, amanat, drama, dan karya tulis lain.  

Publikasi kreatif

Presiden Jokowi tampak memahami itu, dan berusaha mewujudkannya sebagai bagian dari fokus pemerintahannya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional IV periode 2020-2024, dinyatakan, sebagai lembaga negara yang bergerak dalam upaya literasi bangsa, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) ditugaskan meningkatkan literasi untuk kesejahteraan. Peningkatan literasi diyakini kongruen dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan berdaya saing serta pembangunan kebudayaan dan karakter bangsa.

Tanggung jawab itu berat. Namun, SDM bermutu dan berdaya saing, serta pembangunan budaya dan karakter bangsa memang bergantung pada informasi yang penting dan relevan, kemampuan mengolahnya, dan pengetahuan yang luas dan dalam, yang semua itu bisa dimungkinkan Perpusnas. 

Dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Perpusnas berwenang 'menjalankan fungsi sebagai pembina seluruh jenis perpustakaan di seluruh Indonesia'. Perpusnas menjadi bukan saja gedung di Jalan Medan Merdeka Selatan No.11, Jakarta, tempat pemustaka mencari referensi, membaca, mencatat, dan sejenisnya, tapi pun bergerak ke daerah-daerah. Sehingga memungkinkan 
berkembangnya perpustakaan provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan, desa, dan komunitas.

Perpusnas menyambut itu dengan mengembangkan Layanan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, yakni, seperti ditulis Paul Sturges, "Layanan perpustakaan yang memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan potensinya dengan memandang keragaman budaya, kehendak untuk menerima perubahan, serta menawarkan kesempatan berusaha, melindungi dan memperjuangkan budaya dan Hak Asasi Manusia." 

Perpustakaan diintegrasikan dengan fasilitas umum di daerah. Termasuk di dalamnya konektivitas internet permanen, data dalam skala besar, serta teknik penyimpanan data di awan dalam satu wadah pusat kegiatan komunitas yang memaksimalkan peran serta masyarakat.

Gedung yang kini gedung perpustakaan tertinggi di dunia, dan hingga pertengahan 2019 menyimpan 9.917.385 koleksi pustaka itu, memang bisa memungkinkan seperti dilakoni Soekarno ketika belajar di Hogere Burger School di Surabaya. Ketika itu, ia getol masuk Perpustakaan Teosofi yang baginya 'peti harta karun yang tidak mengenal pembatasan seorang anak miskin'. 

Dari sana ia bertualang ke 'dunia pemikiran', bercakap dengan para pemikir dunia yang lalu menginspirasinya, seperti Thomas Jefferson, yang berkata, "I cannot live without books." Pun ia penulis Declaration of Independence Amerika Serikat (AS) dan pendiri The Library of Congress, perpustakaan nasional AS.  

Namun, Perpusnas bisa melampaui Perpustakaan Teosofi. Perpusnas punya wewenang, fasilitas, dan cara untuk memungkinkan perpustakaan bermunculan dan berkembang di kota-kota besar hingga kampung-kampung perbatasan. Perpusnas, misalnya, seperti telah dilakukannya, dapat memberikan pelatihan mengelola perpustakaan, menyumbang buku dan komputer, serta memberi hibah kuda, mobil, genset, dan kapal untuk perpustkaan keliling. Perpusnas, meminjam perkataan Daoed Joesoef, "Telah berkembang menjadi suatu konservator kekayaan intelektual dan kemanusiaan."

Maka mungkin saja Perpusnas melahirkan jutaan, bahkan puluhan juta anak muda Indonesia yang seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan para pendiri bangsa lainnya. Mereka mungkin pula lebih mampu bergotong-royong menjadikan rakyat Indonesia sejahtera secara mental dan material. 

Kesejahteraan mental dan material ini merupakan pemungkin kesadaran kebangsaan mengakar, dan penjadian bangsa adalah proses aktualisasi potensi-potensi setiap anak bangsa. Bangsa pun menjadi proses yang hari ke hari semakin mendekati Lautan yang Bebas, Lautan Indonesia Merdeka.

Kemungkinan itu bisa lebih besar lagi jika layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial itu dipublikasi secara kreatif, sistematis, terstruktur, dan masif. Perpusnas memang sudah mempublikasi itu. Namun, daya jangkau dan daya gugah publikasinya tampak masih kurang. Mayoritas warga belum tahu bahwa Perpusnas, misalnya, dapat menyumbang 500 buku untuk satu perpustakaan, serta memberi hibah komputer, mobil, dan genset, atau kuda untuk perpustakaan keliling.

Jika kekurangan seperti itu diatasi dengan kerja sama dengan seniman, ahli komunikasi, dan media massa yang berlimpah di setiap daerah, hal yang sangat penting dan relevan dari Perpusnas itu bisa dipastikan dapat menyebar, mengakar, dan menumbuhkan perpustakaan-perpustakaan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. 

Perpustakaan-perpustakaan itu tak mustahil terus berkembang. Sehingga bisa jadi tak sedikit warga negara ini yang akan berkata seperti sastrawan besar, dan pernah menjabat Direktur Perpustakaan Nasional Argentina, Jorge Luis Borges, "Aku selalu membayangkan surga itu serupa perpustakaan."



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya