Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
TERMINOLOGI 'politik keteladanan' sangat berkumandang dalam pilkada serempak di 2020. Terminologi itu secara fokus saya arahkan kepada Mas Gibran, putra Presiden Joko Widodo, atas prestasi awal politik formalnya, dalam pemilihan kepala daerah di wilayah Surakarta, Jawa Tengah. Sebuah makna politik, yang diperoleh secara mengagumkan dari warga Surakarta dalam pilkada, dan hal ini sangat berpengaruh secara signifikan dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Makna politik dalam pilkada serempak di Surakarta, spesifikasi politiknya ialah politik keteladanan. Politik keteladanan dalam hal ini bersifat aksidental, yang bukan melekat secara langsung pada Mas Gibran, melainkan melekat kuat pada Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia.
Sesuatu yang bersifat eksternal, yang punya daya dongkrak politik sangat tinggi bagi seorang kandidat Wali Kota Surakarta, yang namanya Mas Gibran. Fakta politiknya ialah Bapak Joko Widodo adalah ayahnya Mas Gibran, pernah menjadi Wali Kota Solo, daerah pemilihan Surakarta. Inilah fenomena politik yang terlihat menarik dan penting untuk dibahas dalam praktik perpolitikan Indonesia yang sedang terjadi dan terus menyiratkan banyak hal sebagai referensi dalam khazanah ilmu politik.
Pertanyaan singkat dan sederhananya ialah mengapa terjadi demikian? Salah satu jawaban yang cukup kuat atas pertanyaan di atas ialah kekuatan politik keteladanan di negeri ini terlihat sangat lemah dan masih jauh dalam pengertian luas (baca: pemilih), yang harus diperoleh netizen Indonesia pada umumnya dalam menyimak setiap peristiwa politik.
Politik keteladanan selalu berdampak luas dalam kekuatan politik yang memiliki daya pengaruh yang tidak sedikit, bahkan meluas dan terus diperluas. Politik keteladanan itu sendiri pada hakikatnya merupakan kekuatan politik yang terus dirindukan siapa pun netizen di negeri ini.
Politik keteladanan itu ibarat seorang netizen sedang berada dalam keletihan perjuangan hidup keseharian yang penuh dengan berbagai tekanan yang sangat mencekam. Di akhir harinya, ia duduk dalam suasana santai lalu merenung atas pergumulan hidup sepanjang harinya dan mengatakan: Apakah aku telah menjadi teladan di sepanjang hari ini?
Pertanyaan ini telah dijawab netizen, "Indonesia-nya Surakarta," dalam pesta demokrasi pada pilkada serempak yang barusan usai.
Masyarakat Surakarta, dalam menyikapi pilkada tahun ini, identiknya sebagai masyarakat cerdas dalam hal memilih jika problem pilkada Surakarta terus dihubungkan dengan politik keteladanan Bapak Joko Widodo. Pilihan mereka pun bersifat fenomenal dan juga terus mendapat afirmasi menjadi pilihan fenomenal.
Di tengah pahit-manisnya, keras-lembutnya, menangis berkepanjangan atau tetap tersenyum gembira, penuh perjuangan yang gigih dan air mata yang terus diseka. Seperti apa pun yang dihadapi Pak Joko Widodo, selanjutnya telah menjadi perhitungan politik warga Surakarta.
Problem keteladanan politik Bapak Joko Widodo terus saja menyiratkan nurani dan kehendak bebas netizen (Surakarta) untuk menjatuhkan pilihan pada Mas Gibran dalam pemilihan kepala daerah Surakarta.
Afirmasi dan keteladanan
Dalam ilmu politik, keteladanan politik tetap diakui sebagai kepemilikan pribadi yang terus melekat (possessive political) yang tak dapat direnggut dari nurani dan perilaku politik setiap pemilih, yang paling bening, yang sebetulnya mencuat keluar atas kehendak bebasnya.
Kehendak bebas inilah sebuah peradaban politik yang memiliki prinsip yang paling tinggi untuk kebaikan bersama (bonum commune) yang sebetulnya dalam perilaku politik mau meraih sebuah prinsip politik yang lebih tinggi levelnya, yakni summum bonum-nya ala Aquinas di dalam realitas sosial politik, yang penuh dengan kemungkinan yang luhur.
Inilah tujuan politik yang tidak boleh tidak (conditio sine qua non) yang harus diraih dalam keluhuran sebuah perilaku politik.
Pada aras ini, politik keteladanan memperoleh afirmasinya paling pas dan menampilkan sosoknya yang valid dalam dunia perpolitikan yang sedang marak di Indonesia.
Maraknya dunia politik dewasa ini pun, secara langsung atau pun tidak langsung, selalu saja menyiratkan kekuatan politik keteladanan yang terus menyita perhatian setiap warga negara, untuk meliriknya. Hal itu terjadi secara lumrah dalam setiap perjuangan politik bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya.
Politik dan alam
Soal politik keteladanan, ibarat semburan larva gunung api menjulang tinggi, mengusik keindahan panorama alam di sekitarnya, dan terus juga memengaruhi seluruh kepentingan politik pada lingkungan sekitarnya.
Seluruh keindahan berubah menjadi ketidakindahan, kondisi yang lembut dan ramah secara alamiah sebelumnya, berubah menjadi kondisi yang mencekam dan terasa mengerikan. Semuanya bisa bereaksi secara linear atau diagonal atas dahsyatnya erupsi alam yang menampilkan sebuah kehidupan baru seperti itu.
Mengapa terjadi demikian? Jawaban standarnya ialah peristiwa alam yang membuat siapa pun harus berjuang, dengan dayanya, ada bersama siapa pun jua untuk terus bahu-membahu, dan tolong-menolong agar semuanya bisa kembali berjalan baik dan benar sesuai dengan arasnya.
Kembali pada politik keteladanan. Politik keteladanan Mas Gibran belum teruji dalam perilaku politik formalnya. Yang terbaca oleh para pemilih di wilayah Surakarta ialah sebuah resonansi politik yang merupakan 'representasi keteladanan politik Pak Joko Widodo yang adalah ayahnya' tentang 'kerja, kerja, dan kerja'.
Dalam politik keteladanan, apa pun nilai politik yang ditampilkan Mas Gibran dalam pembangunan politik yang dibayangkan nanti menyatu dengan praktik politik sang ayahnya, yang mungkin saja tidak jauh berubah dengan berjalannya derap langka pembangunan politik, yang telah dan sedang dilakukan Pak Jokowi, yang tentu dengan catatan utamanya ialah tingkat atau skop pembangunan politiknya sangat berbeda dalam perilaku politik; antara Pak Jokowi dan Mas Gibran, antara seorang presiden dan seorang wali kota.
Warga Surakarta telah memilih pemimpin mereka secara cermat dan cerdas dalam tindakan memilih. Dalam konteks pilkada serentak yang tengah terjadi di Indonesia, dan fokus utamanya pilkada di Surakarta, sebuah nilai politik yang paling pas saya 'sematkan' pada akhir tulisan ini ialah "Katakan kepadaku siapakah orangtuamu maka aku akan mengatakan siapakah engkau." Praise the Lord.
Para konsultan ini sebenarnya memiliki opini-opini, terlebih saat diskusi. Namun, untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan tetap perlu diasah.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved