Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Titik Balik KPK

Adi Prayitno Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik
08/12/2020 05:00
Titik Balik KPK
(Dok.Pribadi)

TERUNGKAPNYA kasus korupsi Edy Prabowo dan Juliari P Batubara menjadi momen titik balik kerja KPK. Komisi antirasuah perlahan mulai mendapatkan kepercayaan kembali setelah melakukan tangkapan besar terhadap dua menteri yang merupakan politisi Gerindra dan PDIP. Semua pihak mengira KPK mati suri setelah disahkannya revisi UU KPK beberapa waktu lalu yang penuh gejolak protes.

Publik bungkam, seakan tak percaya manuver KPK yang berhasil mengungkap praktik kotor di kementerian vital negara. Temuan praktik korup yang ditengarai terkait dengan suap izin ekspor lobster melibatkan perkongsian sejumlah perusahaan yang mendapat hak istimewa. Jelas ini tangkapan 'ikan besar' (big fish) yang menjadi titik tolak pembuktian kinerja KPK ke depan.

Terlebih, KPK juga berhasil mengungkap praktik korupsi bansos covid-19, yang membuat publik kian respek dengan kerja keras KPK dalam mengungkap kasus besar yang merongrong negara. Publik tak habis pikir dana bantuan sosial dikorup. Menari indah di atas penderitaan rakyat yang kesulitan hidup.

Pasti ada masalah besar dengan mental model pejabat negeri ini. Ancaman hukum mati koruptor dana bantuan sosial korona nyatanya tak bikin takut. Mungkin malaikat pencabut nyawa perlu turun langsung ke bumi untuk memberikan efek jera.

Pada tahap ini, publik layak memberikan apresiasi terhadap kinerja KPK. Menangkap dua menteri kader partai yang saat ini ditengarai lagi mesra-mesranya. Partai simbol penguasa dan simbol oposisi yang kini berkongsi dalam koalisi rekonsiliatif. Edy Prabowo dan Juliari P Batubara merupakan kader terbaik Gerindra dan PDIP yang didapuk sebagai pembantu Jokowi di periode kedua.

PDIP dan Gerindra pasti shock berat dengan perilaku korup kadernya. Dua partai yang disinyalir sedang membangun upaya bersama menempuh jalan panjang menuju Pemilu 2024 mendatang. Ibarat pepatah, nila setitik rusak susu sebelanga. Apa daya, citra positif yang coba dibangun dua partai itu seketika tercoreng. Bak menyiram kotoran di wajah. Hancur sudah dunia persilatan.

 

Wajah ganda

Pengungkapan sejumlah kasus megakorupsi menegaskan wajah ganda KPK. Satu sisi, KPK dituding melemah setelah revisi Undang-Undang KPK yang ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Muncul dugaan serius KPK berada di ambang senjakala karena regulasi yang tak pro terhadap pemberantasan korupsi.

Adanya dewan pengawas, drama mundurnya pegawai KPK, dan kasus etik yang sempat membelit Firli Bahuri semakin mempertegas keyakinan bahwa KPK cita rasa baru seakan tak bersahabat dengan semangat pemberantasan korupsi. Publik mudah menghakimi jika KPK sedang sakaratul maut karena dirongrong dari dalam.

Namun, rentetan pengungkapan kasus korupsi belakangan ini mencuri perhatian bahwa KPK kini mulai bekerja ekstra. Mulai dari OTT Edy Prabowo dan Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo hingga tersangkanya Jualiari P Batubara. Sebelumnya, Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna juga telah ditetapkan sebagai tersangka penambahan gedung Rumah Sakit Kasih Bunda.

Pada konteks ini, perlu kiranya melihat kembali esensi KPK sebagai lembaga superbodi yang masih bisa diharapkan dalam pemberantasan korupsi. Apakah tangkapan besar korupsi murni sebagai titik balik KPK memamerkan taji, atau ada persoalan lain yang tak terendus publik. Atau, mungkinkah kasus korupsi Edy Prabowo dan Juliari P Batubara cukup dijadikan variabel penting penilaian bahwa KPK sudah kembali ke khitah sebagai institusi penegak hukum yang ditakuti koruptor.

Tak berlebihan kiranya jika nalar kritis selalu menyeruak ke permukaan. Publik belum sepenuhnya yakin pemberantasan korupsi sudah maksimal. Sebab, urusan Harun Masiku saja belum selesai. Kasus yang begitu banyak membetot perhatian tentang praktik suap pejabat negara yang seolah ditelan bumi.

Tanpa henti publik bertanya, jika KPK berhasil mengungkap kasus besar, kenapa suap PAW dewan yang melibatkan komisioner KPU Wahyu Setiawan senyap. Apa bedanya kasus ini dengan praktik suap lainnya. Pertanyaan simpel yang hingga saat ini mengganjal sekadar untuk mengembalikan kepercayaan sepenuhnya terhadap KPK.

 

Kado akhir tahun

Berbagai kasus korupsi pejabat negara yang terjadi belakangan ini tentu saja menjadi kado akhir tahun yang indah sekaligus pahit. Indah karena di tengah sorotan tajam lemahnya pemberantasan korupsi, di tengah pilunya negara menghadapi badai wabah korona, publik disuguhi 'hadiah' yang menjadi pelipur lara soal prospek supremasi hukum di Indonesia. Ternyata, urat nadi KPK masih berdenyut meski tak terlampau kencang.

Setidaknya, selalu ada harapan yang terus membuncah bahwa potret penegakan hukum masih bisa diharapkan. Masih ada secercah cahaya di ujung terowongan. Tak melulu seperti persepsi miring bahwa KPK telah mati suri. Dua tangkapan besar menteri negara mesti menjadi titik balik mengembalikan kejayaan kinerja KPK, sekaligus kepercayaan publik.

Energi positif pengungkapan korupsi besar mesti terus dijaga. Jangan berhenti di dua menteri dan beberapa kepala daerah. Lanjutkan pada kasus lainnya yang masih menggantung, seperti kasus Harun Masiku.

Kado akhir tahun ini juga terasa pahit karena negara belum selesai dengan perkara korupsi. Padahal segala upaya sudah dilakukan maksimal untuk mengamputasi budaya korupsi di berbagai level.

Percuma Presiden Jokowi selalu mengingatkan para menteri dan pejabat daerah agar menghindari perilaku menyimpang merugikan bangsa dan negara, tapi perilaku korup terulang tanpa henti. Makin masif dan menyebar ke berbagai penjuru daerah. Dari hulu hingga ke hilir korupsi mengalir sampai jauh.

Di ujung spektrum lainnya, kasus korupsi Menteri Edy Prabowo dan Juliari P Batubara menjadi momen merombak kabinet kerja Jokowi. Menteri yang kinerjanya tak maksimal segera diganti. Jokowi tak perlu lagi curhat, berkeluh kesah, dan marah tentang menteri yang tak bisa kerja di tengah pandemi. Perombakan kabinet bakal menjadi kado tambahan akhir tahun bagi rakyat yang ingin melihat kinerja maksimal pemerintahan.

Jokowi tak perlu berpikir panjang lagi, segera reshuffle menteri yang performanya anjlok. Setahun kerja waktu yang cocok untuk mengevaluasi kabinet. Terutama, menteri yang berkaitan langsung dengan penanganan korona dan dampaknya. Politik tanpa beban harus dibuktikan dengan mengganti menteri. Inilah saat yang tepat bagi Jokowi mengeluarkan jurus pamungkas. Menggunakan 'tangan besi' merombak menteri demi meninggalkan warisan kerja baik periode kedua Jokowi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya