Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
MINGGU akhir November hingga pertengahan Desember setiap tahunnya, para pegiat HAM, perempuan, dan kemanusiaan biasanya merayakan 16 Hari
Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan. Diawali dengan peringatan Hari Antikekerasan terhadap Perempuan pada 25 November dan diakhiri pada 18
Desember, bertepatan Hari Buruh Migran Sedunia. Di antara waktu itu, terdapat juga Hari AIDS Sedunia, Hari Mengakhiri Perbudakan, Hari Disabilitas, Hari Antikorupsi, dan Hari HAM.
Hari Mengakhiri Perbudakan, yang diperingati setiap 2 Desember ini, tampaknya menjadi hal yang penting ketika minggu lalu terkuak lagi kasus perbudakan
yang dialami pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Selain mengalami penganiayaan, pekerja migran Indonesia asal Cirebon yang berinisial HS ini, juga dilarang berkomunikasi serta seringkali dipaksa tidur di teras rumah majikan. Kisah ini mengulang kekejian dua tahun lalu, yang dialami pekerja migran asal NTT, Adelina Sao, yang akhirnya pulang hanya tinggal nama.
Terperangkap praktik perbudakan modern
Tak hanya di sektor pekerja rumah tangga, di sepanjang 2020 ini, juga terungkap kasus perbudakan anak buah kapal Indonesia di kapal pencari ikan berbendera asing. Menurut penuturan para korban, bekerja di kapal pencari ikan sering kali harus menghadapi situasi bekerja nonstop dan abai pada pembatasan jam kerja. Fasilitas akomodasi dan makanan pun sangat tidak layak.
Terungkapnya pelarungan 3 jenazah anak buah kapal Indonesia di laut lepas, membuka kotak pandora, kerentanan pekerja migran Indonesia di sektor kelautan yang bisa berujung pada kematian.
Pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit juga menghadapi situasi yang sama. Sebagian besar perkebunan mengambil keuntungan dari kerentanan pekerja migran yang berstatus sebagai pekerja tidak berdokumen.
Status ini membuat pekerja migran selalu terancam akan kriminalisasi atas kebijakan keimigrasian Malaysia yang represif sehingga mereka tunduk atas kemauan perusahaan. Setidaknya, dalam tahun ini ada dua laporan investigasi independen, yang dilakukan lembaga HAM internasional yang memperlihatkan kerentanan mereka, terutama di masa pandemi covid-19.
Kisah kerentanan pekerja di tiga sektor ini, mengonfi rmasi temuan global slavery index pada 2014 dan 2016, yang menyebut bahwa sebagian besar pekerja migran Indonesia yang terjebak dalam praktik perbudakan modern bekerja di sektor keluatan, perkebunan kelapa sawit, dan pekerja rumah tangga. Jika kasus itu masih terus terjadi pada 2020, dapat disimpulkan belum ada perubahan yang signifi kan terhadap kondisi pekerja migran di tiga sektor tersebut.
Tentu saja, pemerintah Indonesia juga telah mencoba melakukan perbaikan kebijakan. Secara umum, telah ada komitmen perlindungan sebagaimana ditunjukkan dalam UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Di zaman Menteri Susi Pudjiastuti, juga telah dirumuskan peta jalan
mengakhiri segala aktivitas ilegal di bidang kelautan, termasuk perbudakan pekerja kelautan. Indonesia juga telah mencoba merumuskan agenda industri
kelapa sawit berkelanjutan.
Namun, langkah ini membutuhkan dukungan dan komitmen kuat dari sektor bisnis yang selama ini abai pada persoalan HAM. Dengan demikian, desakan agar seluruh entitas bisnis mematuhi Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan HAM, yang dikeluarkan PBB (The Guiding Principles on Business and Human Rights), menjadi mutlak.
Selain itu, karena persoalan pekerja migran ialah persoalan antarnegara, diperlukan juga komitmen yang kuat dari politik luar negeri dan diplomasi perlindungan. Harus diakui, di sektor ini, Indonesia mesti banyak berbenah.
Peran diplomat yang menjadi ujung tombak politik perlindungan pekerja migran harus benar benar memiliki komitmen yang kuat dan tidak menomorduakan urusan pekerja migran yang selalu dianggap ‘remeh temeh’ dalam diplomasi luar negeri. Modalitas yang dimiliki, seperti kesertaan menjadi negara pihak dalam instrumen HAM internasional, forum-forum regional dan multilateral, serta hubungan bilateral tidak ada artinya tanpa komitmen yang kuat dari diplomat yang mengawalnya.
Mengapa perbudakan modern?
Istilah perbudakan modern ini mempertegas realitas yang dihadapi mereka yang terperangkap dalam perdagangan manusia. Sering kali kita bersikutat dalam sengkarut peristilahan mengenai eksploitasi seksual, kerja paksa, dan perdagangan manusia. Instrumen-instrumen yang membahas perkara itu juga sangat ketat memberi batasan-batasan secara legal.
Hal itu tentu saja dibutuhkan karena akan memberi landasan dan tindakan hukum bagi aktivitas kriminal terkait dengan esksploitasi seksual, kerja paksa, dan perdagangan manusia. Namun, dibutuhkan juga istilah yang bisa diterima semua pihak, melampaui ketatnya batasan hukum. Namun, bisa menggambarkan
realitas kejahatan kemanusiaan seperti itu.
Perbudakan modern mempertegas kontrasnya realitas yang dihadapi para pekerja dan kelompok rentan menghadapi situasi eksploitasi di masa modern ini. Dalam perspektif historis, perbudakan selalu dilekatkan dengan kolonialisme. Oleh karena itu, istilah perbudakan modern juga bisa jadi peringatan bagi semua,
bahwa masih terjadi eksploitasi keji terhadap manusia di masa modern ini.
Mengakhiri perbudakan modern dalam SDGs
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam sustainable development goals (SDGs), keprihatinan terhadap eksploitasi manusia (utamanya perempuan dan anak) tecermin dalam beberapa gol dan target di komitmen global penanggulangan kemiskinan itu.
Di gol 5 mengenai kesetaraan gender, komitmen penghapusan perbudakan modern tecermin dalam target 5.2 menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi. Termasuk, perdagangan orang dan eksploitasi seksual serta berbagai jenis eksploitasi lainnya, dan
target 5.3 menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan.
Dalam kaitannya dengan kondisi kerja yang layak, seperti yang ada di gol 8, target terkait dengan penghapusan perbudakan modern ada di target 8.7 yang berbunyi mengambil tindakan cepat, dan untuk memberantas kerja paksa, mengakhiri perbudakan dan penjualan manusia, mengamankan larangan dan penghapusan bentuk terburuk pekerja anak. Termasuk, perekrutan dan penggunaan tentara anak serta ditargetkan adanya pengakhiran segala bentuk
pekerja anak pada 2025.
Di gol 16 terkait dengan penegakan HAM, perbudakan modern juga dikategorikan sebagai bentuk kejahatan transnasional yang harus dihapus. Di target 16.2 mendorong penghentian perlakuan kejam, eksploitasi, perdagangan dan segala bentuk kekerasan, dan penyiksaan terhadap anak dan di target 16.4 pada
2030, secara signifi kan mengurangi aliran dana gelap maupun senjata, menguatkan pemulihan dan pengembalian aset curian, serta memerangi segala bentuk
kejahatan terorganisasi.
Kuatnya komitmen antiperbudakan modern diberbagai gol dan target SDGs ini, memperlihatkan bahwa perkara ini merupakan perkara serius yang harus ditangani semua negara dan memerlukan peta jalan yang jelas dan terukur.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved