Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Humanisasi DUHAM

Andrey Sujatmoko,  Dosen pada FH Universitas Trisakti dan Sekretaris Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM
30/11/2020 21:00
Humanisasi DUHAM
Andrey Sujatmoko(Dok pribadi)

MEMPERINGATI 72 tahun deklarasi universal hak asasi manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights) yang disahkan Perserikatan Bangsa Bangsa/PBB pada 10 Desember 1948, kita masih saja menyaksikan sejumlah tragedi kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Konflik bersenjata antara Armenia versus Azerbaijan adalah realita yang menggambarkan tragedi tersebut. 

Hal itu sesungguhnya merupakah langkah mundur bagi realisasi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), karena di dalamnya terjadi proses 'dehumanisasi'. Kenyataan itu telah menunjukkan adanya fakta bahwa perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM masih jauh dari harapan. Secara faktual hal yang sama juga terjadi di Indonesia, walaupun sebenarnya falsafah negara kita Pancasila serta konstitusi negara UUD 1945 secara tegas telah menjamin eksistensi HAM. Bahkan, secara historis jaminan tersebut telah ada sebelum kelahiran DUHAM.
 
Dalam konteks Indonesia dapat dipersoalkan, mengapa dibutuhkan waktu yang lama untuk lebih 'membumikan' dan 'membunyikan' nilai-nilai DUHAM? Bukankah secara ideologis, telah ada Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai (universal) HAM? Demikian pula dengan UUD 1945, tidak kalah lengkap materi muatan HAM-nya.
 
Tidak dipungkiri bahwa implementasi HAM di setiap negara memiliki kompleksitas yang berbeda. Di negara maju dan demokratis, masalah realisasi HAM biasanya tidak serumit di negara miskin/berkembang. Namun, sebaliknya, di negara miskin/berkembang, apalagi otoriter (seperti Korea Utara), HAM seringkali menjadi masalah besar dan pelik. Alih-alih diterapkan, HAM malahan menjadi 'komoditas' politik.
   
Sejatinya, spirit yang termuat dalam mukadimah DUHAM merupakan pengakuan atas martabat yang bersifat melekat (inherent) dan hak-hak yang bersifat setara (equal) dan tidak dapat dipisahkan (inalienable) dari keluarga manusia yang merupakan fondasi bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia. Lalu, bagaimana 'membumikan' serta 'membunyikan' spirit itu, penulis berpendapat perlu humanisasi nilai-nilai DUHAM. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 361), humanisasi adalah 'penumbuhan perikemanusiaan; pemanusiaan'. Berdasarkan makna tersebut, secara sederhana, maka kita sudah semestinya kembali kepada nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-2. Sila ini memuat prinsip (peri) kemanusiaan dan meletakkan HAM dalam kerangka berbangsa dan bernegara. Mengenai kata 'pemanusiaan' dapat dimaknai sebagai 'memanusiakan manusia' atau dengan kata lain 'manusia mesti diperlakukan manusiawi karena ia adalah manusia'. Lalu, mengapa manusia mesti diperlakukan manusiawi? Karena manusia memiliki HAM yang bersifat melekat dan tanpanya ia tidak dapat hidup sebagai manusia.

Secara teoretis, dengan kembali kepada nilai-nilai sila ke-2 tersebut sesungguhnya secara tidak langsung telah melakukan 'humanisasi' nilai-nilai DUHAM. Sila ke-2 tersebut harus dimaknai tidak saja sebagai the way of thinking dalam tataran ide untuk 'membunyikan' HAM, tetapi juga sebagai the way of life dalam tataran konkret untuk 'membumikan' HAM di Republik ini. 

Mengenai 'penumbuhan' dapat diartikan sebagai proses agar nilai-nilai HAM dalam DUHAM 'tumbuh' dan 'berkembang'. Proses itu dilakukan melalui upaya edukasi secara sistematis kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dengan penekanan pada organ-organ negara. Konkretnya, hal itu diterapkan melalui jalur pendidikan, misalnya dengan memasukkan materi HAM ke dalam kurikulum pendidikan berbagai profesi, seperti polisi, jaksa, hakim, advokat, maupun tentara. Demikian pula pendidikan umum lainnya, seperti sekolah (sejak tingkat dasar) hingga perguruan tinggi. Walaupun membutuhkan waktu, pendidikan diperlukan sebagai 'wadah' untuk proses 'internalisasi' nilai-nilai HAM.  

Upaya di atas 'senafas' dengan amanat Mukadimah DUHAM di mana Majelis Umum PBB menyatakan bahwa DUHAM merupakan  ”'a common standard of achievement for all peoples and all nations'' dengan tujuan agar setiap orang dan setiap organ dalam masyarakat senantiasa mengingat deklarasi ini yang untuk tujuan itu akan diupayakan melalui pengajaran (teaching) dan pendidikan (education).
          
Menyangkut pengajaran dan pendidikan tentunya perlu dibarengi dengan kesiapan teknis, seperti ketersediaan sumber daya manusia (guru, dosen, instruktur) dan sumber dana (untuk pengadaan sarana dan prasarana). Selain itu, dibutuhkan kemauan politik (political will) yang nyata dari negara (pemerintah) yang secara formal ditegaskan dalam suatu kebijakan sebagai dasar legitimasi dan pengarah dari upaya-upaya yang ditempuh.

Berhasil tidaknya upaya di atas tergantung pada itikad baik (good faith), kerja sama, dan kesadaran dari semua kalangan agar senantiasa berikhtiar, bahwa 'humanisasi' nilai-nilai HAM semata-mata adalah untuk memanusiakan manusia. Manusia memiliki HAM tidak lain karena ia adalah manusia semata.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya