Headline
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.
BANYAK cara sebuah buku muncul ke permukaan. Namun, buku yang satu ini, beberapa hari silam, cukup mengundang perhatian di jagat media sosial dengan nasib yang agak unik. Ia dibaca Gubernur Anies Baswedan, difoto, dan di-posting agar diketahui khalayak umum.
Bersampul hitam, buku ini judulnya menarik perhatian, How Democracies Die, terbit dua tahun lalu, karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dua profesor ilmu politik dari Universitas Harvard. Isinya cukup serius, termasuk dalam genre literatur perbandingan sejarah dan pemerintahan.
Pesan apa gerangan yang ingin disampaikan Anies Baswedan lewat foto itu? Dia ingin memberi pembenaran pada sikapnya yang permisif terhadap Habib Rizieq Shihab? Apakah dia sedang mengkritik Presiden Joko Widodo? Atau ia sebenarnya mengkritik kita semua?
Saya hanya bisa menebak-nebak. Namun, dalam satu hal, kita harus berterima kasih kepada Anies. Buku ini memang sarat dengan pesan yang patut direnungkan kaum politisi, elite pemerintahan, dan tokoh partai politik. Khususnya, dalam konteks zaman ini, ketika demokrasi di mana-mana mengalami erosi yang tajam, dari Amerika Serikat, India, Turki, hingga Eropa Timur.
Dalam buku ini, salah satu yang paling menarik ialah cerita dan penjelasan tentang kaum demagog, tokoh-tokoh ekstrem di luar sistem. Kaum demagog selalu hadir dalam setiap tahap perkembangan masyarakat. Di zaman Yunani klasik, ia sudah menjadi bahan telaah Sokrates, dan Plato.
Namun, di zaman modern, khususnya sejak awal abad ke-20, peran mereka mencapai tingkat destruksi yang tak terbayangkan sebelumnya.
Alexander Hamilton, salah satu founding fathers Amerika Serikat, mendefinisikan pelaku demagogi sebagai men with talents for low intrigue, and the little arts of popularity.
Mereka ialah orang yang pandai kasak-kusuk, pencari popularitas, dengan berbekal teori kosong yang mengobarkan kebencian. Berbeda dengan orator di alam demokrasi (Churchill, Obama), kaum demagog biasanya mementingkan agitasi, mempertajam perbedaaan, serta cenderung memainkan emosi massa yang paling mudah terbakar, baik dalam soal golongan, ras, maupun agama.
Biasanya, dalam demokrasi yang stabil, kaum demagog hanya berada di pinggiran. Suara mereka keras, dengan pendukung fanatik, tapi lebih sebagai fenomena idolatri di luar sistem. Mereka mendapat tepuk tangan atau pemujaan pribadi, tapi bukan kursi kekuasaan.
Masalahnya, dalam periode sejarah tertentu, hal tersebut bisa berbalik sama sekali. Kaum demagog terkadang mendapat angin dan bahkan berhasil mencapai puncak pemerintahan. Dari kekuatan yang kecil dan militan, mereka kemudian menjadi pelaku dominan di pusat kekuasaan. Setelah itu, mereka menjadi tiran yang destruktif.
Itulah yang terjadi di Jerman (Hitler), Italia (Mussolini), Venuzuela (Chavez), dan banyak negeri lainnya. Di AS, Donald Trump sudah masuk kategori demagog, dan ia juga sudah menguasai pemerintahan selama empat tahun. Untungnya, sistem demokrasi AS jauh lebih matang dan kuat jika dibandingkan sistem yang ada di Jerman pada zaman Weimar.
Apa yang menyebabkan pembalikan itu? Faktor apa yang memungkinkan mereka menapak tangga kekuasaan dan meruntuhkan demokrasi? Jawaban Levitsky dan Ziblatt dalam buku ini cukup jelas, memiliki aplikasi universal dan karena itu, perlu direnungkan sebagai bahan pelajaran oleh kaum pendukung demokrasi, termasuk di negeri kita.
Kuncinya ialah krisis dan respons kaum elite politik, baik di dunia pemerintahan maupun di partai yang menguasai parlemen. Di Jerman, misalnya. Setelah Perang Dunia Pertama hingga Depresi Besar di dekade 1930-an, krisis sosial dan ekonomi datang silih berganti.
Reformasi politik Republik Weimar di bawah Presiden Paul von Hindenburg sebenarnya cukup berhasil, tetapi di Reichstag (parlemen Jerman), polarisasi menajam, dan koalisi partai yang ada tak kunjung menghasilkan kekuatan mayoritas. Situasi ini menghasilkan kebuntuan politik terus-menerus, dan akibatnya pemimpin pemerintahan (kanselir) hanya berumur pendek.
Untuk mengatasi kebuntuan ini, kaum elite politik, termasuk Von Hindenburg dan Frans von Papen, tokoh aristokrat dan mantan kanselir, mengambil sebuah keputusan penting, sebuah langkah dalam percaturan politik yang kini terus menjadi catatan sejarah. Mereka mencari jalan pintas, memasukkan tokoh ekstrem dan populer dari luar sistem untuk menjadi kanselir transisi. Tokoh yang mereka pilih ialah Adolf Hitler.
Bagi kelompok utama dalam tubuh elite politik Jerman waktu itu, tokoh transisi ini ialah semacam boneka yang sanggup menutup kelemahan mereka sendiri. Mereka sangat yakin, bahwa boneka ini bisa dikendalikan sepenuhnya, seperti yang dikatakan Von Papen, sebagaimana dicatat oleh Levitsky dan Ziblatt: “Dalam dua bulan kita pasti akan mendorongnya (Hitler) ke sebuah sudut, hingga dia akan menjerit sendiri…”
Sejarah membuktikan pilihan politik semacam itu bukan hanya keliru, melainkan juga keliru secara tragis dengan dampak historis.
Dalam buku ini, langkah strategis untuk menarik tokoh ekstrem di luar sistem ke dalam koalisi pemerintahan diberi istilah the fateful alliances. Kalau diterjemahkan bebas: aliansi maut yang menentukan percabangan peristiwa. Aliansi semacam inilah yang menjadi faktor penyebab matinya demokrasi di Jerman dan di banyak negara lainnya pada periode yang berbeda-beda.
Dengan semua itu, Levitsky dan Ziblatt menyimpulkan: “In each instance, elites believe the invitation to power would contain the outsider. But their plans backfired. A lethal mix of ambition, fear, and miscalculation conspired to lead them to the same fateful mistake: willingly handing over the keys of power to an autocrat-in-the-making.”
Jadi singkatnya, Levitsky dan Ziblatt tidak menekankan pentingnya faktor struktural (kelas ekonomi, misalnya), atau hubungan diplomasi dan asimetri kekuatan negara-negara Eropa pascaperang, atau faktor impersonal lainnya. Penekanan dalam buku ini ialah pada kualitas kepemimpinan serta pada pilihan-pilihan tindakan kaum elite politik.
Kalau kaum elite berhasil membangun kerja sama, untuk mengatasi masalah-masalah praktis yang ada, pemerintahan demokratis akan kuat. Namun, ketika mereka terus terbelah untuk hal-hal yang fundamental, lalu mencari jalan pintas, apalagi jika mereka mencarinya di kalangan militan, kaum demagog atau kaum ekstrem lainnya di luar sistem, pintu bagi datangnya prahara akan terbuka lebar.
Kurang lebih itulah salah satu pesan penting yang ada dalam buku ini. Kaum elite politik seperti Gubernur Anies Baswedan dan Pak Jusuf Kalla, dua tokoh nasional yang selama ini dikenal cukup memberi angin kepada kaum militan di garis agama, harus memikirkan secara mendalam pesan semacam itu.
Sebenarnya buku ini masih berbicara banyak hal lagi tentang berubahnya partai politik Amerika Serikat, dan bagaimana Donald Trump melemahkan fondasi demokrasi. Namun, esensi pesan yang ada di dalamnya tetap sama: tokoh-tokoh yang berada di lapisan kepemimpinan, perlu membangun konsensus di kalangan mereka sendiri. Tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dalam menapak tangga kekuasaan, serta tentang perlunya penegakan kembali, norma-norma baku, seperti fair play, mutual trust, dan tolerance.
Pesan seperti ini mungkin terdengar klise. Khususnya, mengenai norma-norma yang perlu dipegang bersama. Namun, justru di situlah kuncinya. Cersei Lannister dalam salah satu episode akhir The Game of Thrones, berkata kepada Eddard: “Dalam percaturan kekuasaan, kau akan memang atau mati. Tidak ada jalan tengah.”
Demokrasi layak diperjuangkan justru karena sistem ini membuka kemungkinan bagi kehidupan bersama yang damai, bersaing dalam perbedaan, dengan garis batas yang jelas tentang benar dan salah, fakta dan fiksi, adil dan tidak adil, dan semacamnya.
Itulah yang menjadi jiwanya setiap masyarakat demokratis. Tanpa itu, kematian demokrasi di tangan kaum demagog atau kelompok lainnya, hanya tinggal menunggu waktu. Hal ini, menurut saya, perlu direnungkan bukan hanya oleh Anies Baswedan, melainkan juga kita semua.
Para konsultan ini sebenarnya memiliki opini-opini, terlebih saat diskusi. Namun, untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan tetap perlu diasah.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved