Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Krisis Demokrasi dan Tirani Meritokrasi

Otto Gusti Dosen Filsafat di STFK Ledalero, Maumere, NTT, alumnus program doktoral di Hochschule für Philosphie, München, Jerman
19/11/2020 04:55
Krisis Demokrasi dan Tirani Meritokrasi
(Dok.Pribadi)

PERTENGAHAN September lalu, Michael Sandel dari Harvard University, Amerika Serikat, menerbitkan sebuah buku berjudul The Tyranny of Merit atau Tirani Meritokrasi. Buku ini merupakan tanggapan atas krisis demokrasi global yang ditandai dengan menguatnya gelombang populisme kanan. Hal ini, mencapai puncaknya, dengan terpilihnya Donald Trump, pada pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2016.

Dalam Pilpres 2020, Joe Biden berhasil mengalahkan Donald Trump. Namun, 70 juta atau 48% pemilih Amerika tetap menjatuhkan pilihannya pada Trump. Dukungan elektoral yang tidak kecil ini dicapai karena Donald Trump mengangkat isu kampanye rasial. Artinya, kemenangan Biden belum berarti kemenangan demokrasi, berhadapan dengan populisme kanan.

Menurut Sandel, krisis demokrasi liberal tersebut berakar pada ideologi meritokrasi. Sandel menulis, “Serangan populisme adalah pemberontakan melawan tirani meritokrasi” (2020). Tirani meritokrasi dialami kelompok pekerja yang merasa direndahkan sistem meritokrasi, dan seluruh proyek politik liberal. Sandel menggambarkan, bagaimana prinsip meritokrasi
menghancurkan sistem demokrasi.

Meritokrasi adalah sebuah sistem dalam masyarakat yang menjadikan prestasi individu sebagai ukuran satu-satunya dalam kehidupan sosial serta memandang tinggi-rendahnya status, atau peringkat sosial, atas dasar prestasi tersebut. Dalam masyarakat seperti ini, orang yang menghasilkan banyak akan mendapat banyak, dan yang menghasilkan sedikit akan mendapat sedikit.

Menuju masyarakat meritokratis

Selama empat dekade terakhir, masyarakat Amerika menjadikan prestasi sebagai episentrum gambaran dirinya. Para mahasiswa menafsirkan posisi mereka di tengah masyarakat, seperti yang disuguhkan Zeitgeist tersebut.

Zeitgeist itu muncul dalam wajah neoliberalisme pada masa pemerintahan Ronald Reagan pada tahun 80-an. Akan tetapi, kecenderungan itu baru menjadi hegemonial, berkat jasa para petinggi Partai Demokrat seperti Bill dan Hilary Clinton, serta Barack Obama.

Di sini, Sandel menampilkan argumentasi pokoknya. Ia menunjukkan kepada para elite Partai Demokrat serta mengonfrontasi mereka, dengan pengetahuan baru, bahwa mereka telah berjasa dan bertanggung jawab menghantar seorang presiden seperti Donald Trump ke puncak kekuasaan politik Amerika Serikat. Karena itu, terlalu mudah untuk marah dan kecewa dengan Trump, tanpa merefl eksikan peran Partai Demokrat yang telah menciptakan kondisi sosial yang memuluskan jalan bagi Donald Trump.

Menurut Sandel, kendatipun Donald Trump telah mengumbar kebohongan, satu hal yang otentik padanya yakni kemarahan terhadap para elite. Elite politik yang telah mendegradasi kelompok pekerja tanpa ijazah universitas.

Aspek ideologi meritokrasi


Sandel menunjukkan sejumlah aspek ideologis dari praktik meritokrasi. Pertama, berkaitan dengan cara menghadapi persoalan ketimpangan sosial. Dalam kaca mata paradigma meritokrasi, penjelasan untuk persoalan ketimpangan sosial sangat sederhana, yakni karena ada orang menghasilkan banyak, dan yang lainnya sedikit.

Tafsiran ini sangat merendahkan, dan menstigmatisasi orang miskin. Hillary Clinton misalnya, merelativisir kekalahannya pada tahun 2016, dengan mengatakan, bahwa dia dipilih oleh warga USA yang menyumbangkan 80 % dari pendapatan bruto nasional. Dari perspektif meritokratis penjelasan ini masuk akal. Tapi dia menghancurkan demokrasi, sebab demokrasi
tidak dibangun di atas prinsip prestasi tapi one person one vote.

Kedua, sistem pendidikan yang memperkuat ideologi meritokrasi. Sandel menunjukkan hasil pengamatannya, tentang kehidupan universitas sehari-hari dan peluang di bidang pendidikan. Orang begitu yakin, bahwa pendidikan merupakan solusi untuk mengatasi perangkap ketimpangan sosial.

Sikap meritokratis tentang peran pendidikan ini, juga ditekankan sejumlah pejuang Partai Demokrat seperti Bill Clinton, Tonny Blair dan Gerhard Schroeder di Jerman. Akan tetapi, ironisnya, tiket masuk ke dunia pendidikan, terutama universitas, tidak ditentukan prestasi individu anak didik, tapi oleh status ekonomi orangtua.

Ketiga, Pandangan ekonomi mainstream, mengatakan, bahwa di bursa pasar kerja hanya orang berprestasi yang dapat bertahan. Akan tetapi, apa persis yang dihasilkan para bankir,
atau komisaris BUMN, yang dibayar dengan gaji paling tinggi? Mengapa seorang perawat yang mengorbankan hidupnya untuk para pasien covid-19 dibayar lebih rendah? Bukankah ini contoh bahwa prinsip meritokrasi tak lebih dari sebuah ideologi?

Solidaritas Vs meritokrasi


Untuk keluar dari masyarakat meritokratis, Sandel membongkar asumsi-asumsi meritokratis yang telah memolarisasi masyarakat atas winners dan losers. Pandemi covid-19 adalah momen pembaharuan, untuk mengevaluasi kembali martabat kerja. Pandemi ini menyadarkan kita akan ketergantungan pada pakerja murah seperti perawat, sopir truk, para pelayan di supermarket, pembantu rumah tangga, dan lain-lain.

Reorientasi dan evaluasi atas bobot pekerjaan ialah sebuah keniscayaan. Setiap jenis pekerjaan harus mampu menjamin hidup manusia yang bermartabat. Sandel tidak menganjurkan model egalitarianisme radikal. Melainkan, perlunya sistem universal basic income sebagai basis material bagi terciptanya solidaritas sosial. Pemberian bobot
pada pendapatan, perlu ditinjau kembali. Tarif pajak atas kerja harus diturunkan, sedangkan pajak atas pasar uang harus dinaikkan.

Persoalan seputar pengakuan akan kerja berkelindan, erat dengan tanggung jawab kita satu sama lain, sebagai warga negara. Untuk itu, dibutuhkan sebuah kesadaran kolektif yang
mewajibkan diri untuk bertanggung jawab, terhadap yang lain warga sebuah komunitas. Kita harus merasa sungguh-sungguh berada “di atas perahu yang sama” (Sandel, 2020). Ini
bukan sekadar jargon ideologis pada saat krisis pandemi covid-19.

Pemikiran Sandel ini, relevan untuk konteks Indonesia juga. Budaya hak-hak asasi manusia di Indonesia, harus berjalan seiring dengan nilai nilai komunitarian yang terkandung dalam agama-agama, dan budayabudaya lokal.

Selain itu, bangsa Indonesia juga memiliki Pancasila. Pancasila adalah locus kontekstualisasi konsep universal hak asasi manusia, di Indonesia, agar menjadi bagian dari hidup masyarakat. Pancasila juga mencegah bahaya privatisasi konsep hidup baik seperti dipraktikkan dalam masyarakat liberal.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya