Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
MELALUI Keputusan Presiden No 22/2015 tanggal 22 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Pada 75 tahun lampau di Surabaya, KH Hasyim Asyari mengeluarkan maklumat yang terkenal dengan Resolusi Jihad. Salah satu pasalnya menyebutkan, santri yang berperang melawan Belanda dan sekutunya, yang hendak kembali menjajah Tanah Air, nilainya sama dengan jihad fisabilillah dan kematiannya dipandang syahid.
Dari Resolusi Jihad, tampak sebuah pikiran visioner, bagaimana santri dan kiai memosisikan hubungan agama dan negara menjadi satu helaan napas. Tidak dipertentangkan satu sama lain.
Keindonesiaan dan keislaman ditempatkan sebagai sebangun dan saling melengkapi. Keindonesiaan sebagai state final yang diperjuangkan
para leluhur, dan keislaman sebagai ekspresi terdalam penghayatan keagamaan.
KH Hasyim Asyari dengan cemerlang lewat resolusi itu hendak mengajak kaum santri dan umat Islam untuk merawat dan menjaga keindonesiaan dari segenap kemungkinan yang dapat merontokkan nilai-nilai, dan wujud eksistensialnya yang saat itu baru saja diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta.
Jihad yang ditawarkannya sebagai sebuah upaya mengawinkan urusan negara dan agama. Sebagai heroisme mempertahankan kemerdekaan yang notabene merupakan syarat mutlak terciptanya keadaban dan ruang publik yang bebas serta terbebas dari penjajah. Resolusi sebagai maklumat bahwa merdeka saja tidak cukup. Namun, satu sama lain harus saling bahu-membahu dengan cara menginjeksikan kesadaran mempertahankan dan mengisi kemerdekaan itu dengan tindakan positif.
Intelektualisme KH Hasyim Asyari
Ulama besar dan Pahlawan Nasional pendiri ormas Nahdlatul Ulama ini lahir pada 14 Februari 1871, dan wafat 21 Juli 1947. Sanad gurunya tersambung dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau Imam Nawawi, Syekh Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Saleh Bafadhal, Sayyid Abbas Maliki, dan Syekh Husain al-Habsyi.
Bagi saya, Hari Santri Nasional menjadi penting dirayakan. Bukan sebatas upacara, melainkan sebuah momen untuk mengaktifkan ingatan tentang pentingnya bangsa ini kembali pada adab, politik nilai, dan keluhuran akal budi. Santri bukan sekadar diksi pembeda dari priayi dan abangan, melainkan juga dalam dirinya melekat keagungan akhlak dan keelokan pekerti. Santri sebagai nomenklatur kultural yang memiliki interaksi simbolis dengan etika.
Resolusi Jihad itu hanyalah salah satu aktivisme KH Hasyim Asyari dalam medan sosial dan politik. Kesehariannya justru mencerminkan sosok intelektual dengan karyanya yang melimpah. Sebut saja, Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama’ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa’ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid’ahn Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin, Al-Tibyan: Fin Nahyi ‘an Muqota’atil Ar-
ham wal Aqoorib wal Ikhwan, dan Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Lalu, Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah, Mawaidz, Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama, Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al- Munkarat, dan Adab al-Alim wal Muta’allim fimaa yahtaju Ilayh al-Muta’allim fi Ahwali Ta’alumihi wa maa Ta’limihi.
Ulama Timur Tengah, seperti Syaikh Sa’d ibn Muhammad al-Yamani al-Makki, Syaikh ‘Abd al-Hamid Sunbul al-Hadîdî al-Makki, Syaikh Hasan al-Yamani al-Makki, dan Syaikh Muhammad ‘Ali al-Yamani al-Makki, melihat produktivitas dan kedalaman ilmu KH Hasyim Asyari, banyak yang terkagum-kagum.
Kata Syaikh ‘Abd al-Hamid Sunbul al-Hadidi tentang salah satu karya KH Hasyim Asyari, Adabul ‘Alim wal Muta’allim, menyebutnya, sebagai, “Karangan seorang alim, ilmunya sangat luas, tulisan salah satu ulama Pulau Jawa yang terkenal di Nusantara. Seorang yang
wara dan takwa. Aku melihat karya ini sebagai karya yang padat dan penuh nilai-nilai etika.”
Abangan, santri, dan priayi
Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa (terjemahan dari The Religion of Java), melihat bagaimana santri memiliki posisi unik dalam arsitektur alam pikiran masyarakat Jawa. Santri diperwa. Santri diperhadapkan dengan abangan dan priayi.
Sejarah juga yang mencatat ketika kelompok lain mampu dikooptasi penjajah, maka santri sering kali menjadi antitesisnya: melakukan perlawanan sengit. Mereka menjadi kekuatan sipil yang bisa menjaga jarak, dan bahkan melawan terhadap hegemoni melawan terhadap
politik penjajah.
Bahkan, kalau kita periksa segenap peristiwa pemberontakan sebelum abad ke-20, hampir dipastikan senantiasa dipimpin para kiai dan berbasis alam perdesaan, tempat pondok pesantren tumbuh dan berkembang.
Sebut saja perlawanan Banten, Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, KH Hasan dari Luwu, Gerakan Rifaiyah di Pekalongan, Gerakan KH Wasit dari Cilegon, Perlawanan KH Jenal Ngarib dari Kudus. Lalu, KH Ahmad Darwis dari Kedu, KH Wahid (1987) dan KH Asnawi (1936) dalam pemberontakan Banten, KH Zainal Mustafa Tasikmalaya, dan juga perlawanan heroik yang dilakukan Pangeran Diponegoro, dan masih banyak lainnya.
Pada awal pergerakan nasional memanfaatkan politik etis Hindia Belanda, elite muslim juga mengartikulasikan perjuangan politik dalam wujud bikin perserikatan, seperti Serikat Dagang Islam (1905), Serikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), Jamiatul Khair dan Al-Irsyad (1922), dan Nahdatul Ulama (1926). Di samping, tentu saja sayap kaum nasionalis juga kebanyakan tokohnya beragama Islam, seperti dilakukan Budi Utomo pada 20 Mei 1908, Indische Partij (1912), dan Perhimpunan Indonesia (PI).
Nasionalisme perkakas Tuhan
Apa yang menjadi roh dari Resolusi Jihad, sesungguhnya senapas dengan pikiran-pikiran Bung Karno tentang nasionalisme. Nasionalisme menjadi ‘perkakas Tuhan’, hal mana kehidupan menemukan rohnya yang asasi. Dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, Di Bawah Bendera Revolusi, Bung Karno menulis, “...nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat cinta pada lain bangsa. Sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu yang perlu, untuk hidupnya segala hal yang hidup ... nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam roh’ ...”
Tampaknya, semangat Resolusi Jihad akan tetap kontekstual justru ketika penjajahan itu hilang dan bergeser menjadi ‘penjajahan’ yang datang dari penguasa pribumi, baik dalam bentuk oligarki atau sistem politik yang tidak sehat maupun penjajahan yang datang dari hawa nafsu sendiri.
Resolusi Jihad mengingat- kan kita, tentang pentingnya memulangkan tanah air pada khitahnya. “Kami adalah bangsa yang hidup dari pertanian, dan siapakah yang menumbuhkan segala sesuatu? Al Khalik, Yang Mahapencipta. Kami terima ini sebagai kenyataan hidup. Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan, dan cinta kepada Tuhan sejak lahir, dan keyakinan ini telah bersenyawa dengan diriku.” (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat).
Sebanyak 27 ribu santri mengikuti jalan sehat untuk memeriahkan puncak Hari Santri Nasional (HSN), di kawasan Simpang Lima, Kota Semarang, Minggu (27//10).
Wawan berharap, pengalaman dalam perlombaan tersebut bisa menjadi bekal para santri untuk melayani masyarakat.
Ayep Zaki mengingatkan bahwa Hari Santri adalah momentum untuk mengenang perjuangan para santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Peringatan Hari Santri ini diharapkan dapat terus menumbuhkan rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap bangsa.
PONDOK Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti Klaten, Jawa Tengah, menggelar upacara bendera peringatan Hari Santri Nasional ke-10, Selasa (22/10).
Ribuan santri dari berbagai pondok pesantren di Kota Cilegon berkumpul di Alun-Alun Kota Cilegon pada Selasa (22/10) dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved