Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
“JALAN dialiah dek rang lalu, cupak dipapek dek rang manggaleh.”
Dalam kumpulan pepatah-petitih Minangkabau yang disusun Idrus Hakimy Dt Rajo Panghulu, adagium ini diartikan bahwa “… secara tidak disadari kebudayaan asli kita dipengaruhi oleh kebudayaan dan adat istiadat asing.” Dalam bahasa Minang, adat-istiadat “yang asing” itu disebut juga “budayo nan datang atau tibo”.
Pertanyaan pertama kita, manakah kebudayaan Minangkabau yang asli dan mana budaya yang datang? Jika memang ada yang asli dan tidak asli, bagaimanakah kita bisa membedakannya—yang dalam bahasa Minang disebut dengan ukua jo jangko—sehingga bisa diterima semua “orang Minang” atau dibuktikan secara ilmiah?
Pertanyaan kedua, bisa sebagai konsekuensi dari pertanyaan pertama, siapakah orang yang asli Minang? Dan sebagaimana pertanyaan pertama, bagaimana bisa dibuktikan bahwa seseorang adalah asli Minang sejak nenek moyangnya? Apakah saya, sebagai orang yang terlahir di tanah Minangkabau, dan dilihat dari garis keturunan sejauh yang diingat ibu-bapak dan kakek nenek saya bertempat tinggal di Luhak Agam, benar-benar asli Minang?
Pertanyaan ketiga, ketika pertanyaan pertama dan kedua pada dasarnya tak pernah bisa atau akan tuntas dijawab—secara tradisional maupun ilmiah—apa dasar dari orang-orang tertentu yang mengaku Minang, pemangku adat dan sebagainya, dengan mengatakan bahwa si A adalah Minang atau tidak Minang? Atau, apa dasarnya politisi dan pebisnis seperti Ketua Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) “memecat” Ade Armando sebagai orang Minang?
Pertama, selain dikotomi asli-tidak asli atau budaya asli-budaya datang, dikotomi sensitif dan amat berbahaya lainnya adalah alam-rantau. Walaupun berbahaya jika salah pakai—karena bisa digunakan untuk mengadu-domba antara —dikotomi yang berbentuk oposisi biner ini, dalam pandangan A.A. Navis (1924-2003), dan beberapa peneliti tentang Minangkabau, bermanfaat untuk menjelaskan dinamika perkembangan orang, kebudayaan dan/atau peradaban Minangkabau.
Salah satu contoh adalah adagium adat yang dikutip di atas. Jika dibaca menggunakan kacamata yang netral, pepatah adat tersebut merupakan reifikasi dari hasil bacaan secara alamiah tentang evolusi kebudayaan. Adalah wajar jika orang yang lalu-lalang berusaha mencari atau membuat jalan baru yang lebih cepat. Demikian pula, meskipun istilah “dipapek” juga bisa berarti negatif, terkait dengan cupak atau alat ukur isi yang digunakan pedagang bisa saja bermacam-macam dan ada penyesuaian takarannya.
Tetapi, jika dibaca secara negatif—seperti berdasar prasangka, superioritas, apalagi rasisme—pepatah adat di atas akan berarti berbeda. Dalam bentuk yang paling lunak, artinya adalah “berhati-hatilah dengan budaya yang datang, sebab itu bisa saja mengubah sistem yang sudah ada.” Dalam bentuk yang keras, itu bisa saja melahirkan konservatisme: sikap dan tindakan yang anti perubahan atau bahkan rasisme.
Kembali pada apa yang disebut sebagai dinamika Minangkabau, pepatah di atas justru menjadi salah satu bukti tentang penerimaan orang Minangkabau akan perubahan sosial. Adanya “urang lalu” atau orang-orang yang berhubungan dengan “penduduk yang sudah terlebih dahulu” menghuni satu wilayah dan segala konsekuensinya adalah pengakuan akan interaksi sosial yang dinamis.
Dalam konteks yang lebih luas, dinamika budaya Minangkabau—yang di masa lampau diklaim telah melahirkan tokoh-tokoh nasional—bisa dijelaskan dalam dialektika antara “urang lalu” atau para pendatang dan mereka yang telah menjadi penghuni awal ini. Di sini termasuk budaya yang sudah ada yang berdialektika dengan budaya yang datang kemudian.
Untuk memudahkan, kita sebut saja bahwa dialektika terjadi antara alam sebagai yang lebih awal dengan rantau sebagai yang lebih baru. Sebagai contoh, sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Budha, kepercayaan yang lebih awal di Minangkabau adalah semacam dinamisme. Ketika terjadi dialektika, dinamisme tidak sepenuhnya hilang ketika unsur-unsur Hindu dan Budha tertentu juga terlembaga.
Ini juga yang terjadi ketika Islam datang ke tanah Minangkabau. Pada awalnya Islam adalah budaya datang yang “asing”. Setelah terjadi dialektika—yang dalam sejarah bukan tak berdarah, terutama terkait dengan Wahabisme—Islam diterima dan pada dasarnya membentuk Islam kultural yang bernuansa lokal.
Tetapi, di tengah haru-biru konflik ekonomi-sosio-politik di abad ke-19, dinamika dialektis ini seperti dihentikan. Itu terjadi ketika para pemimpin Paderi—gerakan puritan keagamaan yang angkat senjata menghadapi Belanda—pada akhirnya dikalahkan dalam peperangan dan mengeraskan politik identitas, dengan membuat Perjanjian Sumpah Sakti Bukit Marapalam pada 1837. Di sinilah bermula apa yang disebut sebagai “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah”.
Kedua, seiring dengan itu, sekaligus sebagai bagian dari jawaban untuk pertanyaan kedua, dalam apa yang disebut sebagai tambo adat, mereka yang disebut sebagai nenek-moyang orang Minangkabau, saat ini, juga adalah para pendatang. Disebutkan bahwa pada tahap awal mereka berdiam di Pariangan, Padang Panjang. Meskipun, tak terekam dalam tambo tentang adanya penduduk yang lebih awal, bukti-bukti antropologis bisa menjelaskan.
Mengikuti tambo, perkembangan anak-keturunan berkonsekuensi pada perluasan wilayah, yang setelah adanya adopsi berbagai istilah bahasa Arab, disebut dengan “alam”, setelah secara geologis disebut sebagai darek (darat, dataran tinggi). Tetapi, jika mengikuti logika demografis orang Minang di atas, alam sebagai tempat asal yang asli itu tidak jelas. Sebaliknya, yang ada adalah rantau, rantau dan rantau.
Singkat kata, secara kultural-demografis, orang Minang pada dasarnya adalah para perantau, bukan manusia asli yang memang ditaruh Tuhan di satu tempat sejak masa asali berikut semua peradaban yang mereka bangun.
Jika demikian halnya, saya sebagai orang yang terlahir di tanah yang disebut Minangkabau adalah asli, sejauh itu dilihat sebagai tanah kelahiran yang dilengkapi dengan adat-istiadat yang berlaku saat itu. Klaim saya, sebagai orang Minang pada dasarnya tak bisa lebih dari itu. Dan demikian pula dengan orang-orang Minang lain. Kami semua pada hakikatnya adalah perantau, termasuk Gubernur Sumatera Barat dan Ketua MTKAAM yang memposisikan diri paling Minang tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan ketiga pada dasarnya lebih mudah. Apakah dasar Ketua MTKAAM “memecat” seorang dari keminangannya? Tidak ada selain syahwat Islamisme—bukan ber-Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam—serta kepentingan politik dan bisnis.
Untuk semua ini, simbol-simbol kultural atau adat adalah alat legitimasi saja. Sejauh yang saya baca, mereka paling berkepentingan secara sadar atau tidak sadar untuk melanggengkan dominasi, bagaimanapun caranya, meskipun dengan ongkos sosial dan kultural yang meluluh-lantakkan akal sehat dan peradaban.
Tak ada bukti sahih juga, yang menunjukkan kalau orang-orang yang memperalat adat dan agama ini, sebagai orang yang ahli atau mendasarkan perbuatan sosialnya yang asosial tersebut pada dalil-dalil yang terterima. Sehingga, tak salah kalau mereka termasuk golongan jahil murakkab: man laa yadri annahu la yadri—orang yang tak tahu kalau mereka tak tahu.
Dan oleh karena itu, jika berdasar semangat dinamis keminangkabauan—di mana Minang asli itu semestinya adalah para perantau tangguh yang senantiasa membawa yang terbaik dari alam dan belajar, serta, mengambil yang terbaik dari rantau supaya keduanya bisa didialogkan dan melahirkan tesis, tesis, dan tesis baru lagi—mereka yang mengklaim diri asli. Tapi, tak melahirkan apa-apa selain politisasi adat dan agama justru adalah Minang palsu!
Allaahu a’lam bi al-Shawwaab.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved