Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
KONON nenek moyang kita adalah pelaut. Kisah keperkasaan menaklukkan lautan tercatat dalam goresan tinta indah sejarah bangsa ini. Namun kisah-kisah tersebut paradok dengan nasib pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK).
Tak ada lagi cerita tentang kedigdayaan menaklukkan lautan, sebaliknya kisah nestapa yang yang datang silih berganti dari mereka. Terakhir kita menyaksikan jenazah ABK Indonesia yang dilarung ke laut oleh kapal Long Xin 629 berbendara Tiongkok.
Dari pengakuan ABK yang selamat kita mengetahui mereka mengalami serangkaian eksploitasi yang di luar nalar kita sebagai manusia. Mereka dipaksa bekerja 18 jam setiap hari. Makan tidak layak. Minum air laut. Dan hanya mendapatkan gaji setara seratus ribu rupiah setiap bulan.
Realitas ini sejatinya telah berlangsung sangat lama, mungkin setua usia migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Tetapi hal-hal seperti ini sering hanya dianggap sebagai kecelakaan semata. Hanya kasus biasa, nasib, dan takdir yang mesti diterima.
Semoga pemerintah benar-benar dapat mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Bukan sekadar mengutuk, menunjukkan marah dan emosi sesaat, tapi kemudian tak melakukan apa-apa. Dan nasib ABK kembali seperti semula. Tak berdaya dan dieksploitasi secara semena-mena.
ABK merupakan salah satu sektor yang rentan mengalami eksploitasi dan perbudakan, selain pekerja rumah tangga migran dan pekerja migran di sektor perkebunan sawit. Ketiga sektor tersebut sama-sama berada di wilayah yang sulit diawasi. Hingga hari ini ketiga sektor ini belum diatur secara khusus dalam regulasi nasional kita.
Draft RUU PRT yang dibuat sejak tahun 2004 hingga sekarang belum disahkan. Sementara untuk ABK dan pekerja migran di sektor perkebunan sawit sudah lama diusulkan dalam UU tersendiri tetapi belum dianggap sebagai prioritas. Alih-alih membahas mereka yang nyata-nyata membutuhkan perlindungan, pemerintah malah lebih sibuk membahas Omnibus Law tentang cipta kerja, meski saat pandemi seperti sekarang.
Sengkarut perekrutan ABK
Berdasarkan data kementerian luar negeri RI, setidaknya tercatat 38.152 ABK yang bekerja di 116 kapal pesiar yang tersebar di berbagai negara. Mereka bernaung di bawah 10 operator perusahaan dunia. Namun tentu data yang tidak tercatat jauh lebih besar dari itu.
Menurut Permenhub No.84 tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, pasal 11, perusahaan keagenan awak kapal bertanggungjawab terhadap awak kapal yang ditempatkan sejak penandatanganan Perjanjian Kerja Laut (PKL), sampai habis masa berlaku PKL hingga awak kapal tiba kembali di tempat pemberangkatan pertama.
Tanggung jawab tersebut meliputi; seleksi dan penerimaan awak kapal. Pembekalan dan pengembangan pengetahuan pelaut yang akan ditempatkan. Monitoring pelaut yang dipekerjakan, hingga jaminan sosial bagi mereka.
Namun, dalam praktiknya, perekrutan ABK sering kali dilakukan secara serampangan. Pembekalan hanya sekadarnya. Risiko-risiko bekerja di kapal ikan disembunyikan. Penandatanganan perjanjian kerja dilakukan di bandara. Sehingga, kemungkinan mereka paham apa yang mereka tandatangani sangat kecil. Tidak jarang, dokumen-dokumen pribadi ABK ditahan oleh agen. Hal-hal yang seperti ini yang membuat ABK rentan mengalami eksploitasi selama bekerja.
Situasi kerja tidak layak dan eksploitasi yang jamak terjadi antara lain adalah gaji yang terlalu kecil bahkan tidak dibayar. Tidak ada kontrak dengan pemilik kapal.
Kontrak dengan pemilik kapal hanya ditantangani oleh ABK dan tidak disahkan oleh pemerintah, dan tidak diasuransikan. Kapal bersandar hanya setahun sekali. Makan, minum dan jam istirahat tidak cukup. Tidak dibuatkan izin tinggal dimana kapal bersandar. Tidak memiliki paspor. Dan, tak jarang kapal terlibat illegal fishing dan penjualan narkoba.
Kondisi ini persis dengan 205 kasus ABK yang ditangani Migrant CARE. Mereka mengalami pelanggaran HAM namun proses hukumnya mandek. Kasus-kasus tersebut adalah gaji tidak dibayar (56,5%), mengalami kekerasan selama di laut (8,29%), bekerja tidak sesuai kontrak (7,3%) gagal berangkat tapi dokumen dan biaya penempatan ditahan (2,8%), dan meninggal dunia (2,4%).
Terjadinya pelanggaran HAM dan perbudakan terhadap ABK sesungguhnya terjadi sejak mereka belum berangkat. Seleksi dan rekruitmen mereka dilakukan secara serampangan. Pembekalan dan pengetahuan sebelum berangkat dilakukan seakan hanya untuk menggugurkan persayaratan administrasi. Sementara, mereka sulit mengundurkan diri jika menemui proses yang tidak wajar. Pada praktiknya perekrutan ABK selama ini memenuhi unsur kejahatan human trafficking.
Terbongkarnya praktek perbudakan ABK di Korea Selatan ini mengingatkan kita pada kasus Benjina 2015. Yaitu praktik perbudakan yang menimpa ABK asal Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Indonesia di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Mereka (1.1085 ABK) bekerja 20-22 jam per hari, dikurung, disiksa, dan tidak mendapatkan upah. Ironisnya, perbudakan terhadap ABK terus menerus terjadi hingga kini.
Mengakhiri perbudakan
ILO telah membuat standar internasional untuk perlindungan ABK melalui Konvensi ILO 188/2007 tentang perlindungan ABK kapal ikan. Untuk mengantisipasi ancaman kesehatan bagi ABK, pasal 29 mengatur bahwa kapal penangkap ikan harus dilengkapi alat komunikasi radio atau satelit dengan pihak-pihak atau layanan di darat yang dapat memberikan nasihat medis, dengan mempertimbangkan bidang pengoperasian dan panjang pelayaran.
Selain itu, awak kapal punya hak atas perawatan medis di darat. Dan, hak untuk dikirim ke darat dengan cepat untuk dirawat apabila cedera atau sakit serius. Sayangnya pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi yang penting ini.
Sementara, menurut ILO Seafarers Regulation, pasal 30, jika ABK meninggal dunia maka protokol yang mesti diberlakukan adalah kapal menyimpan jenazah di dalam peti es. Kemudian kapal bersandar darurat untuk melakukan kremasi di pelabuhan dan abunya dikirim ke negara asal pelaut atau jenazahnya dikirim pulang ke negara asalnya.
Dan pelarungan jenazah ABK hanya dapat dilakukan bila meninggal karena penyakit menular atau mayat berpotensi membawa penyakit. Jadi pelarungan adalah opsi terakhir dalam protokol pengurusan jenazah ABK. Bahkan dalam regulasi nasional di Indonesia, agen wajib memulangkan jenazah ABK yang meninggal dunia.
Berdasarkan ketentuan pasal 18 Permenhub no 84 tahun 2013, pertama, perusahaan keagenan awak kapal harus mengurus pemulangan jenazah sampai ke pihak keluarga ahli waris, jika pelaut meninggal dunia selama masa berlakunya PKL, setelah dipastikan penyebab kematian bcedasarkan hasil visum dokter.
Kedua, perusahaan keagenan awak kapal wajib membantu pengurusan hak-hak pelaut yang meninggal. Dan, memberikan santunan kepada ahli waris sesuai ketentuan yang berlaku setelah dipastikan penyebab kematiannya berdasarkan hasil visum dokter.
Maka terhadap kasus ABK yang dilarung ini pemerintah Indonesia harus melakukan upaya yang serius untuk mengantisipasi jangan sampai praktik perbudakan yang serupa terjadi pada ABK lainnya. Di antaranya dengan melakukan investigasi dan evaluasi menyeluruh tentang sistem penempatan ABK ke luar negeri. Termasuk, tata kelola dan kelembagaannya, serta, penegakan hukum yang berkeadilan. Menerbitkan PP perlindungan ABK yang draftnya sudah ada sejak tahun 2018. Dan segera meratifikasi konvensi ILO 188/2007.
Karena untuk berjaya dan digdaya di lautan kita harus bergandengan tangan dan bersama-sama memerangi kejahatan kemanusiaan. Dengan begitu mungkin kita dapat meneriakkan jalesveva jayamahe (Kita Berjaya di Laut) untuk semua ABK di seluruh dunia. (OL-12)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved