Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
PENYEBARAN covid-19 yang dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menjadi ancaman nyata bagi kehidupan ekonomi dan sosial Indonesia. Hal ini membuat Presiden Jokowi menerbitkan beleid yang setara UU, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Diundangkannya beleid tersebut direspons sebagian kalangan masyarakat dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 2, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Khususnya, Pasal 27 ayat (1) dan (2), yang pada intinya menyatakan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi keadaan tersebut ialah penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara, serta pejabat terkait tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana sepanjang beriktikad baik dan sesuai UU dalam melaksanakan tugasnya.
Selain itu, Pasal 27 ayat (3) juga turut dipermasalahkan konstitusionalitasnya karena mengatur bahwa segala tindakan, termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020, bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jika demikian, apakah ketentuan pasal-pasal dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut masih sejalan dengan konsep negara hukum Pancasila?
Hak subjektif presiden
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, penerbitan perppu merupakan hak subjektif dari presiden sebagaimana diatur Pasal 22 UUD 1945, yaitu untuk mengatasi suatu permasalahan dalam kegentingan memaksa (noodverordeningsrecht), yang tidak dapat ditempuh dengan mekanisme legislasi biasa, sebagaimana yang dilakukan bersama-sama dengan DPR selaku pembentuk UU.
Adapun subjektivitas penerbitan suatu perppu diatur konstitusi agar pemerintah dapat menjamin keselamatan negara dalam suatu keadaan yang genting sehingga mengharuskan pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat guna mengatasi suatu permasalahan, misalnya, pandemi covid-19.
Pada saat Perppu Nomor 1 Tahun 2020 diundangkan, secara mutatis mutandis, ia telah menjadi hukum positif yang berlaku efektif dan dapat dilaksanakan dengan segala peraturan pelaksanaannya. Namun, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini tidak serta-merta lepas dari pengawasan legislatif karena harus mendapat persetujuan dari DPR pada masa sidang DPR berikutnya. Jika tidak disetujui, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut harus dicabut dan berlakulah ketentuan UU (APBN) sebelumnya.
Lazim dalam kedaruratan
Sikap pro dan kontra terhadap pasal-pasal Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi sangat menarik karena merupakan titik singgung antara norma hukum tata negara, hukum administrasi, dan hukum pidana, yang dalam konteks kebijakan publik tidak dapat dipisah satu sama lain, serta harus dilihat melalui pendekatan ilmu hukum yang interdisipliner.
Selain itu, meskipun tidak ditetapkan secara formal (tertulis) sebagai keadaan bahaya menurut Pasal 12 UUD 1945, telah menjadi pengetahuan umum (notoir feiten) bahwa covid-19 telah menjadi pandemi global yang mengancam, bukan hanya aspek kesehatan masyarakat, melainkan juga kehidupan sosial dan ekonomi sehingga harus dijamin stabilitasnya oleh pemerintah, sebagaimana dengan ditetapkannya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Bencana Nonalam melalui Keputusan Presiden Jokowi.
Hal senada juga pernah diungkapkan Prof Herman Sihombing dalam bukunya Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia (1996) pada halaman 49-57, yang berpendapat bahwa keadaan bahaya menurut hukum tata negara materiil ialah bahaya atau darurat secara nyata, meskipun tidak dinyatakan dalam keputusan formal (tertulis).
Menurut saya, kebijakan keuangan negara diambil pemerintah dengan maksud melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan hak asasi manusia (masyarakat), yang menjadi tanggung jawab negara (Pasal 28 I UUD 1945), sehingga peniadaan ‘akibat’ dari sifat melawan hukum (wederechttelijkheid) berupa kerugian negara dalam kebijakan tersebut dapat diatur dengan kekuatan UU sebagai suatu ‘perbuatan’ yang tidak melawan hukum (vide: Pasal 1 angka 15 UU BPK). Hal ini sejalan dengan adagium, ‘in casu extremae necessitatis omnia sunt communia, dalam keadaan luar biasa, segala tindakan yang perlu diambil merupakan suatu kelaziman.’
Selanjutnya, mengenai hak imunitas dari pejabat terkait dalam melaksanakan perppu tersebut sama sekali bukan dimaksudkan untuk meniadakan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law), melainkan untuk memberikan perlindungan hukum dari ‘kekhawatiran’ dapat dipidananya pejabat yang beriktikad baik dan sesuai UU dalam melaksanakan tugasnya.
Hal ini selaras dengan adagium hukum, ‘necessitas quod cogit defendit, keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat.’ Imunitas semacam ini juga ditemukan, misalnya, dalam Pasal 50-51 KUH Pidana, UU Advokat, dan UU Pengampunan Pajak.
Terakhir, mengenai tindakan dan keputusan (beschikking) yang dilakukan dalam perppu tersebut bukan merupakan objek gugatan TUN ialah bentuk pengecualian khusus berupa pembatasan atas upaya hukum yang ditetapkan dengan kekuatan UU, sebagaimana dimaksud Pasal 28 J UUD 1945. Hal ini sesuai adagium hukum, ‘interest reipublicae res judicates non rescindi, dalam hal kepentingan/kelangsungan suatu negara, suatu keputusan tidak dapat diganggu gugat.’
Utamakan keselamatan rakyat
Dengan tetap menghormati proses hukum di MK, tidak dapat disangkal bahwa eksistensi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini juga tergantung pada sikap politik DPR dalam menyetujui perppu yang bersifat ‘sementara’ menjadi UU atau tidak.
Apabila DPR menyetujui perppu menjadi UU, otomatis pengujian Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut menjadi kehilangan objek pengujian (karena telah menjadi UU), dengan tidak mengurangi hak pemohon mengajukan judicial review yang baru.
Last but not least, penulis berharap semua elemen dapat melihat Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai niat mulia pemerintah dalam upaya mengadministrasikan sila kedua dan kelima Pancasila sebagai sumber segala hukum (staatsfundamentalnoorm), yaitu untuk dapat mengantisipasi dampak ekonomi dan sosial dari pandemi covid-19, karena keselamatan rakyat harus senantiasa didaulat menjadi hukum yang tertinggi (salus populi suprema lex esto).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved