Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

RUU KUHP, Politik Porno dan Kesantunan Politik

Thomas Koten Direktur Social Development Center
25/9/2019 07:10
RUU KUHP, Politik Porno dan Kesantunan Politik
Warga membubuhkan tanda tangan pada spanduk sebagai bentuk dukungan pada aksi tolak RUU KUHP saat hari bebas kendaraan(MI/PIUS ERLANGGA)

PRESIDEN Joko Widodo, Jumat (20/9), meminta penundaan pengesahan RUU KUHP yang diagendakan disahkan pada Rapat Paripurna DPR pada Selasa (24/9). Pengesahan diminta ditunda karena masih ada penolakan masyarakat (Editorial Media Indonesia, 23/9). Karena itu, masih diperlukan masukan lagi dari masyarakat.

Sebagian publik serta-merta bertanya, apakah penundaan tersebut ada kaitannya juga dengan bunyi pasal penghinaan presiden dan wakil presiden? Sebagaimana RUU KUHP Pasal 218 (1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Ada yang mengatakan bahwa pasal tersebut mengekang kebebasan berpendapat yang merupakan hak warga negara yang dijamin konstitusi. Kata mereka, alih-alih membuat pasal yang multitafsir untuk memagari presiden dan wakil presiden, lebih baik negara mengedepankan pendekatan edukasi kepada masyarakat.

Masalahnya ialah ketika kebablasan penggunaan kebebasan berpendapat itu dilakukan elite politik sendiri, yang cerdas dan mengetahui apa yang dinamakan kesantunan politik, serta secara sadar mereka pun tahu bahwa posisi mereka menjadi panutan masyarakat sehingga perilaku mereka yang tidak terpuji tersebut akan dengan mudah diikuti masyarakat? Apakah elite politik yang suka nyeleneh itu tidak malu karena kepada mereka pun masih diperlukan pendekatan edukatif oleh negara?

Tulisan ini tidak masuk ruang kontroversi tersebut, tetapi lebih menukik pada perihal kesantunan politik yang menjadi cermin masyarakat ketimuran yang beradab. Teradopsi pertanyaan, apakah wajah politik seperti pada Pilpres 2019 yang dipenuhi bau amis ujaran penuh kebencian, berita bohong, hingga fitnah yang tak kurang ditujukan kepada capres petahana yang merupakan seorang presiden, itu terus dibiarkan, hanya karena mengagungkan kebebasan berpendapat?

Kesantunan dan kesucian politik

Menyeruaknya politik penuh ujaran kebencian, fitnah, dan kebohongan di atas panggung politik Indonesia seperti pada Pilpres 2019, sesungguhnya mencerminkan salah satu dari dua sisi politik; satu sisi politik itu kotor dan menjijikkan, serta sisi yang lain, yaitu politik itu santun dan suci.

Politik santun ialah ekspresi dari wujud keindahan dan kesucian politik yang sejak dulu dipopulerkan para filsuf klasik Yunani yang menegaskan bahwa politik itu hakikat dasarnya suci, indah, agung, dan terhormat, yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Itulah inti dari dua karya klasik dari kedua filsuf Yunani yang menjadi magnum opus, Republik-nya Plato, dan Nicomachean Ethics-nya Aristoteles.

Politik bagi Plato, sebagaimana sitir Amich Alhumami terhadap Hacker (1961) ialah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; bagi Aristoteles ialah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached. Itu sehingga politikus ialah orang-orang yang terhormat dan bermartabat.

Namun, ironisnya, politik Indonesia yang terpancar dari panggung Pemilu 2019 ialah cermin dari politik yang kerap dikatakan sebagai politik itu kotor dan menjijikkan. Adalah politik ala Niccolo Machiavelli yang menegaskan tentang politik dapat menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Demi meraih kekuasaan, segala akal busuk dan tipu daya bisa dilancarkan, persetan dengan kehormatan, kesantunan, dan kesucian politik.

Maka dari itu, politikus ala Weber yang semestinya memiliki kearifan untuk menata negara dan menciptakan kebaikan bersama (bonum publicum) pun pudar digerus perilaku politik yang kotor dan menjijikkan. Adalah sebuah cermin politik buruk yang oleh Yves Michaud dalam Violence et Politique, secara sarkastis menulisnya sebagai cermin politik porno.

Politik porno dalam bahasa Yunani, dimengerti sebagai politik yang tidak senonoh atau yang bertolak belakang dengan nilai-nilai sopan santun, kejujuran, atau norma-norma etika yang dianut masyarakat. Politik porno digambarkan sebagai suatu situasi politik yang diwarnai praksis politik yang menjurus kasar atau yang lebih kerap disebut politik minus etika.

Masuk kategori politik porno ialah politik saling menyalahkan, politik mementingkan diri atau kelompok, politik tanpa kesantunan yang menyingkirkan rasa hormat, politik pemaksaan kehendak, politik yang penuh kebohongan dan tipu daya, politik yang hanya berorientasi kekuasaan, politik uang, politik yang dibarengi intimidasi, politik penuh teror, penculikan, dan sebagainya.

Bagaimanapun politik porno harus disingkirkan. Koridor RUU KUHP, terutama yang menyangkut penghormatan kita terhadap presiden dan wakil presiden sebagai simbol negara harus dimeteraikan. Masyarakat politik bukanlah makhluk yang sempurna sehingga sangat diperlukan rambu-rambu untuk mengawalnya. Ini tentu bukan hanya untuk Presiden Jokowi, melainkan untuk siapa pun presiden selanjutnya.

RUU KUHP tentu bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengawal perilaku politik masyarakat supaya tidak kebablasan dalam berperilaku politik demi kebaikan bersama menuju Indonesia yang lebih beradab dan terhormat. Artinya, kesucian, kehormatan, keindahan, dan keagungan politik harus segera kembali dilekatkan pada tubuh politik Indonesia, tanpa bermaksud mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat tentunya.

Artinya, kesantunan politik diukur dari keutamaan perilaku politisi tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk menghilangkan politik porno sebagai realisasi berpolitik secara etis. Dengan itu pula diharapkan dapat lahir di tengah masyarakat apa yang disebut civic virtue.

Civic virtue menurut pemikir sosial politik Alasdair ialah akar dan sumber kebajikan masyarakat yang menjadi faktor determinan bagi tumbuh kembangnya individu-individu masyarakat yang berkarakter, yang punya rasa hormat satu sama lain demi terbangunnya suatu tatanan sosial masyarakat yang beradab dan berkualitas.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya