Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
TUJUH puluh empat tahun sudah Indonesia mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka, bebas dari pikiran dan tindakan kolonialisme. Namun kenyataannya masih ditemukan banyak hukum negeri penjajah berlaku di sini. Sekitar 70-an hukum kolonial efektif berlaku dan mengikat rakyat Indonesia.
Watak hukum kolonialisme--sering juga disebutkan norma-norma, bersifat intimidatif, dan bahkan mengebiri hak-hak fundamental rakyat baik secara publik maupun privat. Maka sudah lama muncul semangat menciptakan hukum nasional menggantikan hukum kolonial yang masih berlaku itu.
RUU KUHP sudah lama digagas dalam program legislasi nasional dan kini siap ditetapkan dalam Sidang Paripurna DPR.
Namun, RUU KUHP yang sudah dirumuskan itu lepas dari konteks nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. RUU KUHP lebih mengedepankan pemidanaan sehingga seribu lebih perbuatan pidana yang diancam pidana.
Dengan demikian RUU KUHP menjadi sangat intimidatif dan provokatif. Atau dengan kata lain konstruksi teks yang dibangun dalam RUU KUHP merupakan wujud dari Neo-kolonialisme yang mengedepankan aspek represif seperti “hantu gentayangan di siang hari”. Karena itu, banyak elemen masyarakat menolak RUU KUHP ditetapkan menjadi UU.
Obesitas, itu mungkin istilah yang tepat dilekatkan pada RUU KUHP. Alasannya, RUU KUHP telah menerapkan pemidanaan secara berlebihan (overspanning van het straftrecht) dan menabrak esensi dari hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Obesitas RUU KUHP dapat dilihat dari pengembangan pola-pola represif dalam konstruksi narasi pasal-pasal yang dikualifikasikan hampir lebih dari seribu perbuatan pidana diancam dengan pidana penjara.
Padahal, di negara-negara ketimuran seperti Indonesia, mestinya pendekatan hukum bukan melulu pada pemidanaan tetapi lebih pada kedamaian (peace) sebagai nilai keadaban dalam membangun relasi di antara negara-pemerintah dan rakyatnya secara simbiosis.
Pembentukan hukum apalagi hukum pidana sebaiknya tidak hanya mengedepankan pidana sebagai ganjaran negatif terhadap setiap perilaku menyimpang yang dilakukan pelaku. Tetapi yang lebih penting adalah dari segi tujuan, manfaat, atau kegunaannya dalam rangka perbaikan serta upaya preventif agar peristiwa-peristiwa yang mengancam hak seseorang atau masyarakat tidak terjadi di kemudian hari, atau bahkan sebagai sarana untuk memperbaiki tingkah laku terpidana.
Jika perumus undang-undang lebih menekankan emosional karena melihat kasus per kasus dalam penegakan hukum yang selama ini terjadi, yang umumnya jauh dari rasa keadilan dalam masyarakat, maka yang terjadi adalah cara pandang pembalasan. Pada hal, di negara-negara Eropa, umumnya lebih senang menerapkan pidana denda atau sanksi administratif atau ganti rugi daripada pidana penjara.
Lima catatan
Ada beberapa hal sebagai catatan kritis untuk dijadikan bahan pertimbangan agar perumus RUU KUHP melakukan evaluasi dan penelahaan secara komprehensif sebagai bahan penyempurnaan sebelum disahkan menjadi UU.
Pertama, ambiguitas terhadap asas legalitas. Di satu sisi dalam Pasal 1 ayat (1) mengadopsi asas legalitas yang menyatakan bahwa “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.
Namun, pasal itu juga disimpangi Pasal 2 yang menyatakan bahwa: "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Hal itu dapat mengakibatkan penegakan hukum pidana berada pada batas kewajaran daya nalar. Atau dengan kata lain "straftrecht is een slechrecht" yakni hukum pidana adalah hukum yang buruk bagi kepastian dan keadilan dan akan berbenturan dengan asas Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan undang-undang), Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa kejahatan,) dan Nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang).
Kedua, tidaklah tepat jika perubahan UU dapat mengakibatkan terjadinya alasan menghapuskan pelaksanaan pidana. Misalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, sehingga dapat berimplikasi terjadinya penyelundupan hukum, dan akan berdampak bagi tindakan pidana yang bersifat extra ordinary crime. Maka nyaris dapat diasumsikan pasal itu bertujuan menyelamatkan kejahatan-kejahatan yang luar biasa.
Pasal ini serupa dengan retroaktif (meskipun maknanya berbeda) yaitu pemberlakuan surut yang biasanya tidak diberlakukan dalam hukum pidana sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yakni: “Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut”.
Pasal itu bermakna bahwa peraturan perundang-undangan yang baru tidak dapat diikatkan/diberlakukan terhadap perisiwa yang terjadi sebelumnya.
Bahkan, Pasal 3 ayat (2) RUU KUHP menyatakan “Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan”.
Apakah yang dimaksud pasal tersebut bermakna “putusan batal demi hukum", yang dalam teori hukum diterjemahkan sebagai putusan yang sejak awal dianggap tidak pernah ada (never existed) dan tidak mempunyai nilai apapun secara hukum (legally null and void).
Ketiga, masih banyak ditemukan pasal yang mengekang kebebasan berekspresi yang merupakan hak fundamental rakyat dalam negara demokrasi.
Bahkan RUU KUHP dapat mematikan kreasi demokratisasi melalui banyak pasal karet atau “Haatzaai Artikelen” yang merupakan warisan masa Hindia Belanda terkait ujaran rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan.
Misalnya, saja penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 sampai Pasal 220, penghinaan pemerintahan yang sah Pasal 240-241, dan bahkan pengaturan penghinaan kekuasaan umum atau lembaga sebagaimana diatur dalam Pasal 353-354.
Sanksinya pun lebih besar dibandingkan dengan di negeri tempat kelahiran KUHP. Dengan demikian karakter pasal-pasal Neo-Kolonialisme ini dapat memasung semangat demokratisasi yang sedang dibangun.
Keempat, RUU KUHP juga mengancam eksistensi banyak undang-undang yang bersifat spesialis karena bernuansa mensubordinasi yang semestinya tidak diatur berbeda, karena akan bertabrakan dengan asas lex specialis derogat legi generali, seperti UU KPK, UU Pers, UU Advokat dan UU lainnya.
Dengan begitu, tampak RUU KUHP ini rapuh jika disandingkan dengan UU sektoral karena tidak secara komprehensif dilakukan harmonisasi dan terkesan terburu-buru ‘mengejar setoran’.
Lebih mengerikan lagi, UU yang mengatur peristiwa yang bersifat extra ordinary crime pun tidak luput dari cengkeraman RUU KUHP.
Kelima, masih banyak perumusan tindak pidana multitafsir. Seharunya perumusan tindak pidananya jelas (lex stricta). Misalnya terkait tindak pidana hubungan seks berbeda jenis kelamin, perbuatan cabul, sehingga ketika diterapkan unsur-unsur pidana sesuai dengan pasalnya mengandung banyak perbedaan makna.
Bahkan berimplikasi terhadap kedudukan pasangan suami-istri yang dihambat buku nikah/dokumen resmi pernikahan, nikah di bawah usia, termasuk menjual alat-alat kontrasepsi yang menjadi program pemerintah dalam keluarga berencana.
Peraturan perundang-undangan bukanlah produk teknis pengkaidahan, melainkan produk hukum yang bersifat program tersistematis dan terintegrasi.
Perlu juga diingat bahwa di negara yang berlandaskan atas pilar-pilar hukum modern (verozorgingsstaat), tujuan utama pembentukan peraturan perundang-undangan bukan lagi menciptakan kodifikasi tetapi bagaimana memformulasikan kaidah dalam bingkai HAM dan demokrasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
RUU KUHP ini sangat penting dan strategis namun sebaiknya cara pendekatan yang dipergunakan adalah “pemidanaan dimaksudkan sebagai alternatif terakhir penghukuman suatu perbuatan pidana”.
Dengan kata lain, ultimum remedium itu mensyaratkan terlebih dahulu upaya pemberian sanksi lain (non penal), berupa peringatan, denda dan/atau ganti rugi, kewajiban sosial dan lain-lain sebelum hukuman pidana badan (kurungan/penjara).
Karena banyak fakta menunjukan penerapan pidana badan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi ataupun narkoba tidak dapat membuat jera karena tidak berarti pada penurunan angka (conviction rate) terjadinya tindak pidana tersebut.
Dengan demikian, maka RUU KUHP sebaiknya tidak disahkan. Banyak hal perlu dikaji secara komprehensif dan dirumuskan melalui proses secara baik (good proces) dan norma yang baik (good norm), sehingga konstruksi norma tidak melahirkan kesesatan berpikir yang justru akan mengakibatkan kejahatan terhadap hak fundamental rakyat yang dijamin dalam konstitusi.
Harus dipahami kejahatan yang paling sempurna, terstruktur dan sistematis yang dapat mengakibatkan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan adalah kejahatan yang lahir akibat kekeliruan dalam membentuk peraturan perundang-undangan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved