Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Negara Bangsa

Ratno Lukito Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
19/8/2019 07:10
Negara Bangsa
Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma Ratno Lukito(Dok.Pribadi)

“The most certain test by which we judge whether a country is really free is the amount of security enjoyed by minorities.” (Lord Acton)

 

Revolusi Dunia

INDONESIA melintang sepanjang 5.110 km di sekitar zamrud khatulistiwa (95-110 derajat bujur timur), lahir pada era dunia yang sedang mengalami klimaksnya. Pecahnya revolusi AS (1765-1783) dan Prancis (1789-1799) mengawali hadirnya tatanan dunia baru yang melahirkan nation-state (negara-bangsa).

Negara-bangsa inilah yang kemudian menggantikan segala bentuk pengelompokan masyarakat dunia saat itu. Entah itu imperium, kekaisaran, negara-kota (city-state), maupun bentuk-bentuk agen kuasa lainnya yang sudah dirasa usang harus diganti, kalau perlu melalui kekerasan, dengan rumusan baru yang lebih menjanjikan.

Satu setengah abad pascakeberhasilan revolusi Prancis itu dunia telah berubah. Revolusi melahirkan wajah dunia baru: Kekaisaran telah runtuh di mana-mana, teokrasi sudah sirna, kecuali di beberapa wilayah negara di sekitaran Timur Tengah yang masih menampak dalam bentuk pemerintahan monarki yang absolutisme sifatnya.

Revolusi Prancis yang melahirkan pemerintahan Napoleon Bonaparte telah menggantikan untuk selamanya kekuasaan monarki Raja Louise yang sebelumnya memerintah atas nama Tuhan dan merepresentasikan golongan ningrat (the House of Bourbon). Penguasa penggantinya pun karenanya dianggap tidak lagi sebagai wakil Tuhan atau kelompok elite tertentu, tapi mewakili seluruh warga Prancis (French nation). Di sinilah poin dari revolusi besar itu: lahirnya nilai-nilai baru dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara!

Kelahiran Indonesia terjadi pada lingkaran masa ini, yaitu masa ketika revolusi nilai-nilai dunia sudah menunjukkan kematangannya, dan hasilnya pun sudah bermunculan di berbagai pojok dunia, berkah dari perlawanannya terhadap kolonialisme Eropa yang sejatinya juga gerakan lanjutan dari revolusi Prancis.

Buah nyata dari revolusi di atas ialah direngkuhnya nilai-nilai republikanisme di hampir semua lingkaran masyarakat dunia. Apa yang kemudian kita kenal dengan istilah nation-state atau negara-bangsa pada esensinya ialah bentuk kehidupan dunia modern yang menolak bentuk kehidupan masyarakat lama: kesatuan masyarakat yang mandiri secara politik (self-rule), yang dibentuk dalam ikatan bangsa yang terdiri atas anggota warga yang memiliki kedudukan sama.

Di sinilah kita mengenal istilah negara-bangsa ini, yang berarti menyejajarkan antara istilah ‘negara’ (state) dengan ‘bangsa’ (nation). Ini membawa kepada suatu pemahaman bahwa suatu negara tidak mungkin diwujudkan tanpa ikatan dari berbagai suku bangsa, yang dengan ikatan itu maka suatu ‘bangsa’ yang berbeda-beda dapat disatukan dalam suatu wadah ikatan yang disebut ‘negara’.

Jika demikian, nasionalisme dalam maknanya yang kontekstual berakar dari kesadaran akan kemauan untuk menyatukan berbagai nilai kebangsaan yang majemuk dalam satu wadah negara baru, yang mana di dalamnya segala perbedaan terlebur oleh nilai-nilai kebersamaan, meski tidak harus menghilangkan karakter kemajemukannya. Nilai-nilai seperti itulah yang kemudian beresonansi ke berbagai wilayah dunia ketiga.

Seburuk apa pun kolonialisme, dia juga membawa arus positif munculnya gerakan nasionalisme di negara-negara bekas jajahan. Entah itu melalui perjuangan peperangan maupun perundingan damai, keinginan kuat untuk memerdekakan wilayah jajahan itu berbanding lurus dengan terbangunnya proses pembentukan negara-bangsa di wilayah tersebut. Konsep nation-state merupakan keniscayaan yang tidak bisa lagi dimungkiri bagi negeri-negeri itu jika mereka ingin tetap survive dan mampu mencapai cita-cita membangun negara yang mandiri secara politik, ekonomi, sosial, dan budayanya.

 

Indonesia sebagai nation-state

Nation-state tidaklah mungkin terbentuk dengan tiba-tiba. Proses yang panjang harus dilakukan para nasionalis yang tidak pernah mengenal lelah, serta terus konsisten membangun sistem itu dan melengkapinya dengan unsur-unsurnya yang saling bertali berkelindan. Paling tidak ada tiga proses yang harus ditempuh untuk itu

Pertama, nasionalisme sebagai suatu gerakan politik. Kedua, proses penyebaran ide dan kesadaran bersama dari suatu kelompok masyarakat (bangsa) untuk mewujudkan cita-cita pembentukan suatu bangsa (nation building). Ketiga, proses kreasi pembangunan lembaga-lembaga negara (nation-state) (Andreas Wimmer dan Yufal Feinstein, 2010).

Para ahli sepakat ketiga proses ini saling berhubungan erat meski mereka berbeda tentang bagaimana urutan dari proses itu terwujud. Benedict Anderson, sebagai contoh, memahami bahwa nasionalisme mendorong terwujudnya cita-cita luhur untuk membentuk ikatan bangsa (nation building), baru kemudian mendorong terwujudnya negara-bangsa (nation-state). Namun, Ernest Gellner memahami bahwa nasionalisme terlebih dulu mewujudkan negara-bangsa sebelum kemudian melahirkan cita-cita pembentukan suatu ikatan bangsa (nation building).

Kedua ahli ini mempunyai pemikiran berbeda tentang sekuensi pembentukan suatu negara: Anderson lebih melihatnya dari perspektif substansial, sedangkan Gellner lebih struktural sifatnya. Dalam kasus Indonesia, baik pemikiran substansial maupun struktural keduanya memiliki nilai kebenaran, tergantung dari perspektif mana kita ingin melihatnya.

Nilai-nilai nation building di Indonesia dapat dikatakan telah terbentuk sejak munculnya gerakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Cita-cita mewujudkan nasionalisme Indonesia itulah yang oleh Anderson dianggap benih awal memunculkan kehendak bersama untuk membentuk satu negara-bangsa. Namun, bagi Gellner, kemunculan nation-state di Indonesia harus dilihat dari momen kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang secara formal hukum mengekspresikan kehendak bangsa Indonesia untuk mewujudkan lembaga kenegaraan yang mandiri, terbebas dari segala bentuk subjugasi. Satu hal yang jelas ialah bahwa proses perkembangan suatu nation-state itu pada esensinya evolusi perubahan nilai yang dapat menjadi dasar dari pembentukan sistem masyarakat suatu bangsa.

 

Agenda pendidikan kita

Di tengah hiruk pikuk menggelindingnya roda pembangunan bangsa yang semakin kencang ini, apa yang mesti kita revitalisasikan dari nilai-nilai nasionalisme yang kukuh dalam dunia pendidikan kita?

Kutipan dari Lord Acton di awal tulisan ini menjadi sangat mendalam maknanya. Mengikuti Acton, sejauh mana nilai-nilai kemerdekaan bangsa itu dapat dirasakan dalam kehidupan seluruh anak bangsa, sejatinya hanya dapat dilihat dari sejauh mana kaum minoritas dapat merasakan kehidupan yang tenteram dan aman.

Artinya, cita-cita kemerdekaan kita seharusnya diwujudkan paling utama dengan kemampuan kita memberikan perlindungan kepada warga masyarakat yang kurang beruntung. Masyarakat yang selalu tersisih karena ikatan primordialnya, asal kesukuan, agama, ataupun latar spesifik lainnya justru harus menjadi orientasi utama dari tujuan pembangunan itu.

Maka dari itu, sebagai salah satu alat pembangunan yang paling esensial, sistem pendidikan yang didirikan haruslah benar-benar diorientasikan sebagai sarana pembebasan bagi anggota masyarakat yang kurang beruntung di negeri ini. Pendidikan yang membebaskan dalam hal ini dipahami sebagai alat untuk merealisasikan postulat keadilan sosial yang diamanatkan sila kelima Pancasila karena pendidikan tidak lain ialah proses yang bertujuan memberdayakan seluruh anak bangsa tanpa terkecuali.

Keadilan dalam pendidikan dapat terwujud jika memang seluruh anak bangsa, dari mana pun asal dan orientasinya, dapat duduk sejajar dan mendapatkan kesempatan seimbang dalam merasakan berkah sistem pendidikan yang dibangun. Bahkan, dalam hal ini, para kaum minoritas dan tersisihlah yang harus menjadi prioritas pemerataan. Merekalah yang menjadi ukuran keberhasilan pendidikan tersebut.

Tak ayal, pemerataan kesempatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia harus diberikan kepada siapa pun dari warga negara. Ukuran kemajuan pendidikan itu justru dihitung dari keberhasilannya dalam memberikan kesempatan bagi anak didik yang kurang mampu dan tersisih dari lingkaran-lingkaran besar pergaulan masyarakat. Merekalah wajah yang senyatanya dari pembangunan bangsa. Dirgahayu Indonesia!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya