Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Kepintaran dan Kebaikan

Victor Yasadhana Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
05/8/2019 07:20
Kepintaran dan Kebaikan
Victor Yasadhana Direktur Pendidikan Yayasan Sukma(DOK-PRIBADI)

“If a child can do advanced math, speak 3 languages or receive top grades, but can’t manage their emotions, practice conflict resolution, or handle stress, none of that other stuff is really going to matter.” (Jersey Shore Free School).

Setelah Little Man Tate (Jodie Foster, Adam Hann-Byrd, dll., 1991), mungkin Gifted (Chris Evans, Mckenna Grace, dll, 2017) bisa ditimbang sebagai salah satu film yang bisa menjadi pemantik diskusi tentang rumitnya kehidupan para anak jenius dan orang tua atau keluarga mereka. Keduanya bercerita tidak saja kejeniusan bisa mendatangkan banyak kejutan, tetapi juga memengaruhi pilihan-pilihan hidup mereka yang jenius dan orang-orang di sekitarnya. Tarikan dan ketegangan antara eksploitasi kepintaran dan keinginan untuk memiliki kehidupan ‘normal’ sebagai layaknya anak-anak. Debat antara ‘potensi’ yang semestinya digali dan dikembangkan dengan kehidupan yang semestinya mengalir dan lebih ‘manusiawi’.

Kedua film itu sebenarnya juga bisa menjadi muasal diskusi panjang tentang betapa pentingnya fase pendidikan anak. Pentingnya mengutamakan nalar atau memberi kesempatan mengasah emosi dan kemampuan membangun relasi sosial di masa kanak-kanak. Atau kesemua itu.
 
IQ vs EI
Setidaknya sampai pertengahan tahun sembilan puluhan, saat Daniel Goleman (Emotional Intelligence; Why it can matter more than IQ: 1995) memopulerkan kembali istilah kecerdasan emosi (emotional intelligence), kecerdasan intelektual (IQ, intelligence quotient) masih dianggap sebagai faktor paling berpengaruh dalam menggambarkan keberhasilan dan prestasi hidup seseorang, terutama dalam ranah kepemimpin­an. Terminologi ‘kecerdasan emosi (EI)’ sendiri bukan istilah yang sama sekali baru muncul dalam tulisan Michael Beldoch (1964), B Leuner (1866), Salovey dan Meyer (1990) tetapi tak dapat disangkal menjadi salah satu topik yang banyak diperbincangkan dan dikembangkan dalam berbagai studi kepemimpinan dan pendidikan. Ide Howard Gardner (1983) tentang kecerdasan majemuk (multiple intelligence) termasuk yang mewarnai perdebatan dan tantangan pada IQ sebagai faktor determinan dalam kesuksesan seseorang.

Dalam ranah pendidikan bahkan sampai hari ini masih selalu diwarnai dengan tarik menarik antara perlunya memberi porsi lebih untuk mengajarkan, mengasah dan mengembangkan kecerdasan (IQ) atau pengembangan kecerdasan emosi dan keterampilan sosial. Meskipun diskursus mengenai hal ini tak lagi selalu dikotomis sifatnya, dalam praktik pendidikan anak, terkadang perdebatan tentang apakah lebih penting IQ atau EQ menjadi dua hal yang kadang substitutif dan bukan komplementer.

Bahkan saat kurikulum pendidikan disusun untuk menggambarkan berbagai aspek dalam kecerdasan peserta didik, kegagalan untuk mendamaikan kedua aspek kecerdasan tersebut sering terjadi. Salah satu praktik yang sering terjadi ialah kegagalan proses belajar dalam mengevaluasi peserta didik dengan cara hanya menimbang aspek kemampuan akademik tanpa menimbang aspek lainnya seperti; perilaku/sikap, keterampilan sosial, empati, dan lainnya.

Penekanan lebih kepada kemampuan kognitif peserta didik dalam proses belajar, setidaknya dipengaruhi oleh dua hal; pertama, anggapan umum masyarakat/orang tua/guru/peserta didik bahwa menjadi lebih ‘baik’ atau ‘pintar’ ialah selalu berkaitan dengan kemampuan nalar semata dan kedua, kesulitan dan kegagapan sekolah/guru dalam menjalan­kan proses belajar mengajar yang mampu memetakan dan mengevaluasi beragam aspek kecerdasan peserta didik.
 
Mengukur kecerdasan
Bukan rahasia lagi bahwa praktik menempatkan kecerdasan intelektual lebih penting jika dibandingkan dengan kecerdasan emosi atau sosial masih jamak kita temukan dalam masyarakat kita. Misalnya banyak orang tua atau peserta didik di sekolah menengah atas atau jenjang pendidikan tinggi, menganggap bahwa memilih peminatan bidang sains/matematika lebih menjamin kesuksesan mereka atau anak mereka di masa depan jika dibandingkan dengan bidang lainnya (sosial/humaniora, dll). Untuk mewujudkannya, tidak jarang orang tua melakukan berbagai cara atau bahkan menekan anak mereka untuk memilih peminatan di bidang sains/matematika sekalipun minat anak mereka berbeda.

Hal tersebut diperburuk oleh ketidakmampuan sekolah/guru dalam menyikapi kecenderungan ini. Sekalipun kurikulum pendidikan di tingkat sekolah menengah saat ini mewajibkan evaluasi yang menimbang semua aspek kecerdasan dan potensi peserta didik, dalam praktiknya tidak semua lembaga pendidikan/sekolah mampu melakukannya dengan baik. Banyak faktor yang memengaruhi kegagalan sekolah/guru dalam memetakan beragam potensi kecerdasan peserta didik. Salah satunya ialah kurangnya kreativitas dalam melakukan pemetaan dan penilaian. Seringkali tidak adanya penghargaan atas aspek kecerdasan peserta didik selain kecerdasan intelektual/akademik karena ketidakmampuan sekolah/guru dalam memahami ragam kecerdasan yang ada pada peserta didik sekaligus merumuskan cara-cara untuk mengelola dan mengukurnya.

Praktik belajar dan evaluasi belajar yang monoton dan membosankan ialah salah satu gejala yang ditemukan dalam proses belajar di sekolah kita. Jikapun kurikulum telah menetapkan serangkaian perangkat penilaian bagi aspek kecerdasan yang meliputi ranah afektif, kognitif dan psikomotorik, porsi terbesar—atau bahkan satu-satunya hanya diberikan pada aspek kognitif. Guru kesulitan atau bahkan tidak memiliki imajinasi untuk memetakan dan menilai kecerdasan emosi yang muncul di ranah afeksi, misalnya. Dalam praktiknya, evaluasi belajar hanya dilakukan dengan cara konvensional dan sangat terbatas; hanya tes tulis. Atau kegiatan belajar berlangsung sangat membosankan dengan metode kuliah/ceramah satu arah. Praktik semacam ini hanya menempatkan aspek kecerdasan yang beragam menjadi tidak terekam dan terkelola dengan baik.
 
Mengajarkan nilai positif
Salah satu langkah yang mungkin bisa ditimbang untuk mengembangkan kemampuan sekolah, guru, peserta didik dalam merespon ragam kecerdasan, ialah dengan praktik mengajar/menanamkan nilai-nilai yang baik. Mengajarkan nilai-nilai yang dipercaya baik bagi sekolah dan komunitas sekolah (sesuai visi/misi sekolah) ialah salah satu cara menetapkan standar yang bisa dipakai untuk mengukur ragam aspek kecerdasan selain kecerdasan intelektual semata. Contohnya; nilai kejujuran, kebersihan dan toleransi bisa ditimbang untuk menguji kemampuan peserta didik dalam berinteraksi atau memahami emosi orang lain. Nilai-nilai ini diajarkan melalui serangkaian praktik yang memungkinkan semua peserta didik menemukan sendiri tafsir dan batasan atas nilai tersebut.

Mengajarkan nilai akan menjadi basis peserta didik untuk menjadi manusia seperti apa mereka di masa depan (Taylor: 2013). Bukan sesuatu yang terpisahkan dari kemampuan intelektual, tetapi bagian integral dari beragam kecerdasan mereka. Jadi bukan lagi perdebatan mana yang lebih penting; kecerdasan intelektual atau emosi. Namun, ragam kecerdasan akan menjadi bagian yang membentuk peserta didik menjadi manusia utuh dan bermartabat. Intelektualitas dan empati mungkin harus diupayakan untuk selalu beriringan. Seperti penggalan dialog Damon Wells dan Fred Tate dalam Little Man Tate, “Bukan persoalan seberapa tinggi kecerdasan seseorang, tetapi bagaimana ia menggunakannya”.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya