Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Keanekaragaman Hayati, Modal Periode Kedua Presiden Jokowi

Eka Widodo Soegiri Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Analisis Strategis, Akuntabilitas Politik, dan Publikasi (ASAPP)
01/8/2019 01:40
Keanekaragaman Hayati, Modal Periode Kedua Presiden Jokowi
Ilustrasi(MI/Duta)

PROFESOR Carlos Nobre, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Brasil yang juga peneliti senior Universitas Sao Paolo, Brasil, spontan mencegat Menteri Siti Nurbaya seusai dialog multipihak saat The 9th Trondheim Conference on Biodiversity di Kota Trondheim, Norwegia, pada 2 Juli lalu. Nobre hanya ingin mengucapkan apresiasi secara langsung atas keberhasilan Indonesia menurunkan laju deforestasi serta mengendalikan kebakaran hutan dan lahan ke titik yang sangat rendah.

“Negara saya harus belajar kepada Anda. Apa yang dicapai di Indonesia harus bisa direplikasi di Hutan Amazon,” katanya merujuk bentang hutan luas yang ada di Brasil dan negara-negara di sekitarnya.

Selama konferensi, Menteri Siti Nurbaya memang kebanjiran apresiasi, termasuk dari Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Ola Elvestuen. Di depan seluruh peserta konferensi, saat pembukaan, Menteri Ola menyatakan Indonesia telah berhasil menurunkan laju deforestasi dan juga kebakaran gambut secara impresif berkat kebijakan yang baik dan kepemimpinan yang kuat dari pemerintah. “Kami semua sepertinya harus berterima kasih karena Anda berhasil membalik keadaan demi lingkungan hidup yang lebih baik,” katanya.

Berdasarkan Sistem Monitoring Hutan Indonesia yang dikembangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), laju deforestasi Indonesia memang menunjukkan tren melambat. Jika pada 2014-2015 rata rata deforestasi Indonesia seluas 1,09 juta hektare (ha), pada 2015-2016 rata-rata deforestasi Indonesia turun menjadi 0,63 juta ha dan kembali turun menjadi 0,48 juta ha pada periode 2016-2017.

Hasil pemantauan Global Land Analysis and Discovery (GLAD) Universitas Maryland yang dirilis Global Forest Watch mengonfirmasi hal itu. Laju deforestasi hutan primer Indonesia pada 2018 telah menurun 40% di bawah rata-rata kehilangan tutupan hutan periode 2002-2016.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pun menunjukkan penurunan drastis. Pada 2015, luas kebakaran hutan dan lahan sempat mencapai 2,6 juta ha. Namun, langkah yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil menurunkan luas kebakaran di tahun-tahun berikutnya secara drastis, yaitu 438.363 ha (2016), 165.483 ha (pada 2017), dan 510.564 hektare (2018).

Rapor biru tersebut tidak ujug-ujug diraih. Intervensi regulasi dan penegakan hukum menjadi kunci utama dalam upaya penurunan deforestasi. Indonesia juga secara efektif mengimplementasikan moratorium izin baru pada hutan alam primer dan lahan gambut.

Upaya tersebut diikuti dengan moratorium izin baru untuk kelapa sawit, mengevaluasi izin-izin yang sudah ada, didukung dengan kebijakan menjaga hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF) serta peningkatan produktivitas kebun sawit sesuai dengan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

Agar upaya penurunan deforestasi tak mengganggu produktivitas hutan untuk kesejahteraan rakyat, Perhutanan Sosial dikedepankan. Hutan dengan tutupan rendah boleh digarap dengan pola-pola agroforestri oleh rakyat.

Pengendalian laju deforestasi dan kebakaran lahan hutan menggenapi berbagai upaya perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia. Demi kelestarian keanekaragaman hayati, Indonesia telah menetapkan lebih dari 51 juta ha kawasan perlindungan yang setara dengan lebih dari 28% luas daratan. Demikian juga untuk kawasan konservasi perairan yang Indonesia telah memiliki sekitar 20 juta ha per 2018.

Luas kawasan perlindungan itu sudah melebih target yang ditetapkan dalam konvensi untuk keanekaragaman hayati (CBD) yang populer disebut Aichi target.

Sebagai negara yang meratifikasi CBD sejak 1994, Indonesia menerjemahkan Aichi target menjadi Rencana Aksi Strategis Keanekaragaman Hayati Indonesia Indonesia (Indonesia Biodiversity Strategy Action Plans /IBSAP) 2015-2022. Berdasarkan dokumen tersebut, perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia dilakukan dengan tiga tujuan utama, yaitu memperkuat pengamanan keanekaragaman hayati, memanfaatkan secara lestari keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan rakyat, serta mengelola keanekaragaman hayati secara bertanggung jawab dan berkelanjutan untuk kehidupan masyarakat.

Kenaikan populasi spesies
Untuk melindungi keanekaragaman hayati, Indonesia juga telah merancang sejumlah rencana aksi strategis nasional untuk sejumlah spesies, seperti harimau sumatra, badak sumatra, orangutan, gajah, dan burung rangkong.

Dampak dari berbagai kebijakan itu, terjadi kenaikan populasi sejumlah spesies yang terancam punah di Indonesia berdasarkan pantauan di 273 titik, di antaranya ialah populasi jalak bali (Leucopsar rothschildi) di Bali Barat yang naik dari 31 individu pada 2015 menjadi 191 individu pada 2019.

Kenaikan populasi juga terjadi untuk harimau sumatra di Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Berbak Sembilang dan Bukit Barisan Selatan. Kerja-kerja konservasi yang dilakukan Indonesia berhasil menaikkan populasi harimau sumatra dari 0,07 individu per ha pada 2013 menjadi 1,24 individu per ha pada 2018.

Capaian Indonesia tentu saja sangat positif di tengah situasi global yang menghadapi ancaman kepunahan keanekaragaman hayati. Laporan terbaru mimbar ilmu pengetahuan dan kebijakan antarpemerintah untuk keanekaragaman hayati dan ekosistem (Intergovernmental Sciene-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services/IPBES) mengungkap fakta suram nasib keanekaragaman hayati dunia. IPBES (2019) menyatakan sekitar 1 juta spesies terancam punah, bahkan hanya dalam hitungan dekade. Laporan itu juga menyatakan tingkat kepunahan spesies secara global sudah puluhan kali, bahkan ratusan kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan 10 juta tahun terakhir dan semakin cepat. Situasi itu terjadi karena faktor-faktor terkait perubahan penggunaan lahan dan laut serta polusi dan perubahan iklim.

Laporan IPBES juga menekankan bahwa keanekaragaman hayati sejatinya lebih luas dari sekadar persoalan lingkungan. Keanekaragaman hayati juga memiliki nilai ekonomi yang harus diperhitungkan dalam neraca keuangan. Keanekaragaman juga menyediakan dukungan pembangunan, seperti pangan, air, energi, ketahanan, dan kesehatan.

Dalam situasi keanekaragaman hayati yang terancam punah, apa yang dicapai Indonesia tentu saja sangat penting. Capaian ini bisa menjadi modal untuk periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi dalam memperkuat upaya perlindungan keanekeragaman hayati yang selaras dengan peningkatan kesejahateraan rakyat.
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya