Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Menakar Ketersediaan dan Keterjangkauan Jargas

Fahmy Radhi Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada
01/8/2019 01:20
Menakar Ketersediaan dan Keterjangkauan Jargas
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan instalasi pipa gas milik Perusahaan Gas Negara (PGN)(ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid )

SESUAI dengan Nawa Cita dalam mewujudkan kedaulatan energi untuk mencapai ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (affordability) energi, pemerintah telah melakukan program diversifikasi energi dan penghematan subsidi BBM. 

Salah satu program itu ialah pembangunan infrastruktur jaringan distribusi gas bumi (jargas) untuk rumah tangga. Program jargas ini mulai diinisiasi pada periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang kemudian dilanjutkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015-2019.

Gas bumi menjadi salah satu energi alternatif pengganti BBM, yang diharapkan dapat mengurangi beban subsidi liquefied petroleum gas (LPG) 3 kg, yang jumlahnya selalu meningkat dari 6,2 juta ton pada 2017 naik menjadi 6,45 juta ton pada 2018. 

Peningkatan beban subsidi itu, selain penyaluran subsidi yang cenderung salah sasaran, juga disebabkan lebih dari 70% kebutuhan LPG di dalam negeri harus diimpor sehingga ikut memperbesar defisit neraca migas dalam beberapa tahun terakhir ini.

Oleh karena itu, untuk mengatasi membengkaknya subsidi dan mengurangi impor LPG, Kementerian ESDM, berencana untuk mempercepat pembangunan infrastruktur jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga. 

Terdapat peningkatan target yang signifikan untuk pembangunan jargas dari semula akumulasi penambahan sebesar 80 ribu sambungan pada 2014, sebagaimana tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian ESDM 2010-2014 menjadi akumulasi penambahan sebesar 1,14 juta pada 2019, sebagaimana tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian ESDM 2015-2019.

Pertimbangan dalam penggunaan jargas ialah cadangan gas bumi nasional masih sangat besar jika dibandingkan dengan cadangan minyak bumi. Namun, dalam pemanfaatannya, gas bumi  memerlukan penanganan yang khusus karena sifatnya yang mudah menguap dan bertekanan. Di samping itu, lokasi cadangan gas bumi menyebar di beberapa wilayah Indonesia sehingga diperlukan suatu jaringan pipa terpadu untuk mengalirkan gas bumi tersebut ke pusat-pusat konsumen. 

Pola distribusi gas bumi dengan jaringan pipa sangat cocok untuk wilayah-wilayah yang dekat dengan sumber gas karena lebih ekonomis. Selain faktor kedekatan dengan sumber gas, target rumah tangga yang akan memakai gas pun harus mencapai jumlah yang ekonomis dalam skala ekonomi (economy of scale). Untuk itu, pemerintah telah melaksanakan pembangunan jargas di beberapa kota yang mendorong penggunaan gas bumi untuk rumah tangga yang lebih murah, bersih, dan aman terhadap lingkungan.

Dalam 10 tahun tahun terakhir ini, pembangunan jargas telah meningkat secara signifikan, yang pendanaannya melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sejak 2009 hingga 2018 telah dibangun infrastruktur jaringan gas sepanjang 463.619 sambungan rumah tangga (SRT), dengan rata-rata tingkat pertumbuhan 32.336 SRT per tahun di beberapa kabupaten dan kota yang tersebar di Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Jawa. Jumlah ini masih jauh dari target yang tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian ESDM 2015-2019. 

Terdapat upaya untuk melakukan percepatan dalam pembangunannya sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 132 K/ 15/Mem/2019 tentang Penugasan Kepada PT Pertamina (Persero) untuk Melaksanakan Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil beserta Infrastruktur Pendukungnya Sejumlah 1 (Satu) Juta Sambungan. Pembangunan jargas sebanyak 1 juta sambungan tersebut dapat menyerap sekitar 29 ribu tenaga kerja langsung dan 10 ribu tenaga kerja tidak langsung per tahun. 


Harga jual jargas dipatok lebih murah ketimbang harga jual LPG. BPH Migas menetapkan harga untuk konsumen jargas yang diklasifikasikan ke dalam kelompok rumah tangga satu (RT-1)  dan kelompok rumah tangga dua (RT-2), dengan harga yg berbeda. RT-1 ditetapkan sebesar Rp4.250-Rp6.536 per m3 dan RT-2 sebesar Rp6.000-Rp7.190 per m3. Bandingkan dengan harga LPG 3 kg, yang harganya dipatok sebesar Rp6.667 per kg dan harga LPG 12 kg ditetapkan sebesar Rp12.500 per kg.

Kendati penetapan harga BPH Migas itu masih di bawah harga keekonomian, selisih harga antara LPG dan jargas memberikan penghematan tidak hanya kepada konsumen yang diperkirakan bisa menghemat sekitar Rp150 miliar per tahun, tapi juga secara signifikan dapat menurunkan subsidi LPG sekitar Rp1,26 triliun per tahun dan penghematan impor sebesar US$80,64 juta untuk 144 ribu metric ton dengan basis penghitungan untuk 1 juta sambungan jargas.

Berdasarkan Perpres No 22 Tahun 2017 Bagian IV tentang Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Energi Nasional, pemerintah akan membangun jaringan gas kota dengan akumulasi sebesar 4,7 juta SRT atau setara 0,7 juta ton LPG pada 2025 sebagai cara untuk mengendalikan impor LPG di bawah 50% dari kebutuhan gas nasional pada 2050. Cara lainnya ialah melalui pembangunan fasilitas pengolahan DME (di-methyl ether) dan pengembangan tabung khusus absorbed natural gas (ANG).

Memberikan manfaat optimal
Pembangunan jargas ini sebagai upaya merealisasikan ketersediaan dan keterjangkauan, serta kemudahan akses dan percepatan energi gas bumi untuk menjangkau di seluruh wilayah di Indonesia. Selain itu, penggunaan jargas dapat digunakan sebagai subsitusi penggunaan LPG yang high import contents. 

Cara agar pembangunan jargas dapat memberikan manfaat optimal sekaligus dapat mengurangi subsidi dan impor LPG, ada beberapa upaya yang masih harus dilakukan. Pertama, pemerintah perlu menyusun perencanaan jangka panjang dan cetak biru terkait pembangunan dan pengoperasian jargas yang terintegrasi di seluruh wilayah Indonesia, serta kebijakan terkait tahapan konversi dari LPG ke jargas.

Kedua, mengingat keterbatasan APBN, pemerintah perlu mengembangkan alternatif sumber dana baik untuk pembangunan infrastruktur maupun biaya operasional jargas. Sumber dana pembiayaan tersebut bisa diperoleh dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan investor swasta. 

Ketiga, pembangunan jargas di setiap daerah harus diupayakan mencapai skala ekonomis sehingga memiliki tingkat keekonomian yang layak. Untuk itu, perlu dikembangkan bisnis proses dalam kerja sama antara Holding Migas melalui Sub Holding Gas sebagai tools pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastrukturnya dan peluang kerja sama dengan pihak BUMD di setiap daerah sesuai dengan level playing field-nya.

Tanpa melakukan ketiga upaya tersebut, jangan harap pembangunan jargas dapat memberikan manfaat yang optimal, termasuk dalam mencapai ketersediaan dan keterjangkauan energi, yang merupakan implementasi keadilan energi sesuai Nawa Cita. Demikian juga dengan pembangunan jargas untuk diversifikasi energi untuk mengurangi subsidi dan impor LPG tidak akan pernah dapat dicapai secara maksimal. 
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya