Headline

Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.

Pemimpin dan Pendidikan Kegetiran

Khairil Azhar Divisi Pelatihan Pendidikan Yayasan Sukma
01/4/2019 07:10
Pemimpin dan Pendidikan Kegetiran
Kepala Divisi Pelatihan Yayasan Sukma Jakarta Khairil Azhar(Dok. Pribadi)

DI Jepang, seperti ditulis Eiji Yoshikawa dalam roman sejarah Taiko (1944/1967), di abad ke-16, terjadi kasak-kusuk politik yang hebat dan perang berkepanjangan. Di tengah chaos yang menelan korban ribuan nyawa, secara hampir bersamaan muncul tiga tokoh yang menjadi pusat cerita. Kemunculan tokoh ini dimetaforakan Eiji Yoshikawa sebagai meteor yang melesat di langit malam.

Dalam buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1992 ini dan sudah dapat dinikmati dalam bahasa Indonesia sejak 2006, diceritakan bahwa ketiga tokoh bercita-cita serupa, yakni hendak menyatukan dan mengendalikan Jepang. Hanya, cara yang mereka tempuh relatif berbeda, sesuai dengan kepribadian dan filosofi masing-masing.

"Bagaimana kalau burung tak mau bernyanyi?" mereka ditanya. Dalam metafora yang populer di Jepang ini, bahkan anak-anak sekolah pun hafal, ketiga tokoh ini diandaikan akan menjawab berbeda.

Nobunaga, tokoh pertama, yang tak sabaran, desisif, dan brutal, digambarkan akan menjawab "Bunuh saja!".

Tokoh kedua, Hideyoshi, yang rendah hati, cerdik, dan tukang pikir, diandaikan akan menjawab "Buatlah ia supaya ingin bernyanyi!".

Tokoh ketiga, Ieyasu, yang pendiam, sabar, dan panjang perhitungan, akan menjawab "Tunggu saja!".

Dalam buku yang sudah diringkas menjadi 800-an halaman tersebut (versi bahasa Inggris), dari ribuan halaman edisi aslinya, ketiga jawaban berbeda ini terdeskripsi secara apik. Kita bisa melihat laku hidup serta tentu saja cara setiap tokoh memosisikan diri, mengurus wilayah, berhubungan dengan kawan dan lawan dan tentu saja dalam peperangan.

Nobunaga, yang menjadi semacam gubernur di usia belasan tahun, dikisahkan memilih untuk pura-pura 'gila', bertingkah aneh, dan terlihat bodoh; tidak tampil seperti bayangan kebanyakan orang tentang seorang pemimpin di masa itu. Akan tetapi, dengan segala keterbatasan Provinsi Owari yang kecil, Nobunaga membangun kekuatan militer yang kemudian terbukti tak tertandingi.

Dalam zaman yang tak henti diamuk perang, laku tak lazimnya ialah cara bertahan hidup dan taktik mengelabui musuh. Dalam latihan perangnya, seperti dikisahkan Eiji Yoshikawa, di balik sikap ambisius dan desisifnya, Nobunaga ialah kesatria yang terbuka pada kritik, rela mandi keringat dan jungkir balik, atau bahkan berdarah-darah.

Hideyoshi, anak samurai rendahan yang terbiasa dipanggil 'si Monyet' dan hidup tak menentu sampai akhir masa remajanya, ialah tukang belajar. Akan tetapi, secara harfiah dia tak pernah bersekolah. Gurunya ialah segala macam kepahitan hidup, dari kelaparan sampai penghinaan dan siksaan fisik. Kompasnya sederhana: bagaimana caranya supaya dia mampu membuat ibunya, yang membanting tulang menghidupi kakak dan adiknya, bisa bahagia.

Pada diri Hideyoshi tumbuh apa yang biasa disebut conscience, nurani dan kendali diri yang kukuh. Ketika sudah mulai mendapat kepercayaan dari Nobunaga, sebagai contoh Hideyoshi betul-betul memagar diri untuk tak larut. Berkali-kali dikisahkan, lebih dalam bentuk metaforis, betapa ketika teman-temannya mabuk sake, dia selalu berkalkulasi untuk secukupnya. Demikian juga, dia tak pernah serakah.

Alhasil, dimulai dengan posisi sebagai tukang bawa sandal, Hideyoshi berhasil menjadi orang yang paling berkuasa di Jepang di abad ke-16, hanya selang beberapa tahun setelah kematian Nobunaga yang tragis.

Sementara itu, Ieyasu Tokugawa, yang menjadi sandera sejak masa kanak-kanaknya, hidup tanpa orangtua di negeri orang yang mencaplok negerinya. Bertahun-tahun dia melatih diri, belajar segala hal yang diandaikan akan bermanfaat untuk merebut kembali negerinya. Di saat bersamaan, secara terencana, Ieyasu dengan sabar membangun kekuatan militer yang tak besar, tapi mematikan.

Setelah menguasai kembali provinsinya, Ieyasu, mengatasi segala kecerdasan dan kecakapannya, kembali menunjukkan sikap yang tak terburu-buru. Dia mengikatkan diri dalam persekutuan dengan Nobunaga dan menyepakati perjanjian damai dengan Hideyoshi. Setelah masa Hideyoshi, buah dari kesabaran bertahun-tahun menjadikan Ieyasu tokoh penguasa militer Jepang berikutnya dan rezim Tokugawa bertahan cukup lama setelah itu.

 

Tentang kegagalan

Di atas segala keberhasilannya, anak-anak Nobunaga ternyata tak satu pun yang mampu mengikuti jejaknya. Anak-anaknya, yang tumbuh di tengah-tengah kegemilangan hidup, berkepribadian lemah, dan gagap ketika menjadi pemimpin sehingga mereka menyadari keagungan cita-cita Nobunaga, Hideyoshi secara taktis mengambil alih kendali perang dan pemerintahan serta terpaksa berperang menghadapi dua anak Nobunaga sendiri, almarhum tuannya.

Hideyoshi sendiri, sampai akhir kisah Taiko dalam versi bahasa Inggris, ternyata hanya punya beberapa anak angkat. Dia mengadopsi anak Nobunaga dan setelah memaksa Ieyasu untuk berdamai, dia juga memelihara salah satu anak Ieyasu sebagai sandera atau jaminan perdamaian.

Melanjutkan diskusi tentang 'kegagalan' tokoh besar membesarkan anak, kita bisa membaca roman sejarah Jepang lain yang ditulis ulang Eiji Yoshikawa, The Heike. Berlatarkan kemelut politik Jepang di abad ke-12, kisah ini berpusat pada seorang samurai bernama Kiyomori, 'anak haram' kaisar yang harus hidup pahit dalam kemiskinan dan penghinaan di masa mudanya.

Setelah menjadi orang yang paling berkuasa di Jepang, seperti halnya Nobunaga, anak-anak Kiyomori tak berhasil berjaya seperti dirinya. Kiyomori, yang hidup dalam suasana konflik yang tak seintensif zaman Nobunaga dan hidup lebih lama, secara eksplisit dikisahkan melihat dan menyadari ketakmampuan anak-anaknya.

Dalam pandangan Kiyomori, ketidakmampuan itu ialah karena kelimpahan hidup. Anak-anaknya dinilai tak kuat berpikir panjang dan taktis. Menikmati berbagai jabatan yang diperoleh karena kekuasaan Kiyomori, anak-anaknya digambarkan tak punya visi dan setelah kematiannya klan Heike yang menjadi penguasa militer berganti dengan klan Genji.

Mengenai bagaimana tokoh-tokoh Jepang, seperti dalam Taiko dan The Heike, membentuk diri dan laku mereka, roman sejarah Eiji Yoshikawa yang lain bercerita lebih detil. Kita bisa membaca Mushashi, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Koesalah Soebagyo Toer, adik Pramoedya Ananta Toer, dan sudah bisa dinikmati sejak 1993.

Mushashi ialah anak samurai kampung yang tergiur berperang dan berada di pihak yang kalah. Dalam pelariannya menghindari hukuman mati, dia berusaha bertahun-tahun menjinakkan diri, melepaskan hati dan pikiran dari 'kebinatangan' demi kematangan.

Selain mengadu nyawa dalam menempuh pencarian akan 'jalan samurai', Mushashi tanpa henti juga mencari jawaban dalam sejarah, filsafat dan agama serta menjalani hidup seperti orang biasa. Di akhir kisah Eiji Yoshikawa, setelah pertarungan terakhir, Mushashi membayangkan hidup normal bersama orang-orang yang selama ini ditinggalkannya.

Entah karena memang demikian atau pilihan sengaja dari Eiji Yoshikawa, tokoh hebat dalam roman-romannya tumbuh dan menjadi dalam kegetiran hidup dan keresahan dialog diri. Eiji Yoshikawa sendiri, ternyata, ialah pribadi yang tumbuh dalam kegetiran perang dan kemiskinan, anak samurai rendahan yang terpaksa belajar dalam setiap kesempatan tersisa, bukan dalam keserbaadaan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya