Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kebijakan Kontroversial AS di Timur Tengah

Smith Alhadar Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
29/3/2019 02:20
Kebijakan Kontroversial AS di Timur Tengah
Ilustrasi(MI/Duta)

DI bawah Presiden Donald Trump, kebijakan AS di Timur Tengah sulit dipahami. Setelah mengakui dan disusul dengan pemindahan kedutaan besar AS ke Jerusalem pada Mei tahun lalu, kini Trump memproklamasikan Dataran Tinggi Golan sebagai milik Israel. 

Kedua tindakan itu dikecam dunia internasional. Pasalnya, baik Jerusalem Timur yang ingin dijadikan ibu kota negara Palestina merdeka kelak maupun Golan milik Suriah yang oleh DK PBB diakui sebagai wilayah pendudukan. Kebijakan-kebijakan Gedung Putih itu menghambat proses perdamaian Palestina-Israel dan Suriah-Israel serta mendestabilisasi kawasan.  

Padahal, salah satu alasan AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran ialah tuduhan bahwa rezim Mullah itu melakukan destabilisasi Timur Tengah. Iran memang mendukung Hamas dan Jihad Islami yang dilabeli kelompok teroris oleh AS. 

Dukungan Iran dianggap penghambat jalan menuju perdamaian Israel-Palestina. Teheran pun mendukung Hizbullah di Libanon, yang juga ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh AS. Kendati Hizbullah juga merupakan partai politik resmi yang memiliki wakil di parlemen Libanon, kelompok ini punya sayap militer yang ikut berperang di Suriah membela rezim Presiden Hafez al-Assad. Iran pun mendukung milisi Houthi di Yaman yang dipandang AS mengancam keamanan Arab Saudi.

Faktanya, kebijakan AS lebih mencemaskan. Guna memeras Palestina lebih jauh, AS menghentikan pasokan dana ke Badan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA) yang mengurus pengungsi Palestina. Ini menunjukkan AS tidak mengakui lagi keberadaan 5,9 juta pengungsi Palestina. 

Lebih jauh, AS menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington. Yang terakhir, dalam laporan tahunan tentang HAM yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri AS pada 13 Maret secara mengejutkan tidak menyebut Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai ‘wilayah pendudukan’. Wilayah-wilayah itu hanya disebut sebagai wilayah yang berada dalam kontrol Israel. 

Kebijakan AS yang terang-terangan memihak Israel dalam berurusan dengan Arab tak terlepas dari kenyataan bahwa negara-negara Arab garis depan sudah berada di bawah ketiak AS, seperti Mesir, Arab Saudi, dan Yordania. 

Di bawah sponsor AS, negara-negara ini dan Israel--serta juga Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain membentuk aliansi melawan Iran untuk menggeser isu Palestina yang selama ini menjadi isu sentral di Timur Tengah dan dunia Islam ke isu bahaya Iran. 

Mereka terpaksa tunduk pada kebijakan AS karena cacat-cacat politik dan ekonomi yang mereka miliki. Penguasa Mesir yang otoriter dan mendapat perlawanan rakyat memerlukan dukungan AS untuk kelangsungan hidupnya. Keterlibatan Arab Saudi dalam perang Yaman, persepsi tentang bahaya ancaman Iran, dan kebutuhan dukungan AS bagi upaya reformasi sosial-ekonominya membuat Riyadh harus memberi konsesi pada AS dan Israel terkait dengan Palestina.

Ketergantungan Saudi pada AS makin besar terkait dengan pembunuhan wartawan senior Arab Saudi, Jamal Khashoggi, di Konsulat Arab Saudi, di Istanbul, Turki. Monarki Yordania, yang sangat bergantung pada bantuan luar negeri, terutama dari AS untuk kelangsungan hidupnya serta kebutuhan akan dukungan AS dalam menghadapi Irak dan Suriah, yang telah ‘dikendalikan’ Iran, juga terpaksa bergabung dengan aliansi Arab-Israel itu. 

Monarki Bahrain terus bergelut dengan oposisi mayoritas komunitas Syiah sejak 2011. Sementara itu, UEA mendapat tekanan berat dari dunia internasional menyusul keterlibatannya dalam perang Yaman.

Selain itu, negara-negara Arab itu melihat isu Palestina kini hanya menjadi beban. Akibat isu itu, mereka tidak bisa membuka hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Padahal Israel, oleh karena superioritas militernya, sangat dibutuhkan untuk menghadapi Iran.     

Israel juga memiliki teknologi tinggi yang sangat dibutuhkan, terutama Arab Saudi, dalam memajukan Visi 2030-nya. Yang juga penting ialah posisi Israel sebagai anak emas AS. Namun, pengakuan AS atas Jerusalem dan Golan sebagai milik Israel telah menyempitkan ruang gerak mereka. 

Terbukti dalam KTT Organisasi Kerja Sama Islam di Istanbul, Turki, pada Desember 2017, yang menentang pengakuan AS atas Jerusalem sebagai milik Israel, Mesir, Saudi, dan UEA juga mengirim perwakilan ke sana walaupun hanya pejabat tingkat rendah. Dalam menanggapi proklamasi AS atas Golan sebagai milik Israel juga dikecam Liga Arab.

Dalam laporan tahunan tentang HAM yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri AS itu, Golan juga tidak disebutkan sebagai wilayah pendudukan. Padahal, bersama Tepi Barat, Jerusalem Timur, Jalur Gaza, Gurun Sinai, dan tanah pertanian Sheba di Libanon Selatan, Golan dicaplok Israel dalam serangan dadakan dan serempak pada 1967. 

Gurun Sinai dan wilayah Yordania telah dikembalikan Israel kepada pemiliknya setelah dicapai kesepakatan damai Mesir-Israel pada 1979 dan Yordania-Israel pada 1994. Seharusnya Tepi Barat, Gaza, Jerusalem Timur, Sheba, dan Golan, juga dikembalikan untuk ditukar dengan perdamaian.

Bukannya menegakkan perdamaian yang adil, AS malah mengambil langkah kontroversial yang mengancam keamanan kawasan. Iran, Suriah, Turki, dan Rusia mengecam keras kebijakan AS itu. Tujuan Trump ialah menggenjot dukungan rakyat Israel bagi Benjamin Netanyahu yang akan menghadapi Pemilu 9 April mendatang. Itu karena Netanyahu mendukung ‘kesepakatan abad ini’, yaitu kesepakatan perdamaian Israel-Palestina yang merugikan Palestina.  

Tidak mengherankan, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menolak AS sebagai mediator perdamaian. Justru Iran, yang ingin diisolasi AS, yang akan mendapat legitimasi masyarakat Arab dan mungkin juga dunia Islam dalam penentangannya terhadap eksistensi Israel. 

Menurut Robert Jervis, profesor kawakan dari Universitas Columbia di New York, kebijakan Trump aneh, semrawut, dan tidak beraturan. Ia gemar mengumumkan keputusan lewat Twitter tanpa masukan dari Departemen Luar Negeri. 


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya