Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Bancakan Anggaran

Ono Sarwono
16/9/2018 04:00
Bancakan Anggaran
(Dok.MI)

PRAKTIK lancung elite secara massal di sejumlah daerah yang ditangkap Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) belakangan ini mirip jejak dan perilaku koruptif nayaka praja rezim oligarki Kurawa di Astina. Harta dan kekayaan negara menjadi bancakan Duryudana beserta keluarga besar dan kroninya sehingga Astina berada di tebing jurang kebangkrutan.

Modus korupsi Kurawa bersifat konvensional, yakni lewat berbagai proyek atau program yang bermuara pada tujuan pembasmian Pandawa. Padahal, keluarga Pandawa ialah adik sepupu mereka sendiri. Inilah rezim paling korup sejak Negara Astina dibangun Prabu Bharata.

Kodratnya, rezim Kurawa tamat di saat mereka sedang mempersiapkan estafet kepemimpinan generasi kedua. Kurawa lebur di tangan Pandawa dalam perang Bharatayuda di Kurusetra. Hakikatnya ialah kezaliman hancur melawan kebaikan.

Mabuk kekuasaan
Alkisah, Kurawa berkuasa atas takhta Astina secara inkonstitusional. Mereka, dengan mentor Sengkuni, merebutnya lewat akal-akalan dan kemudian mempertahankannya dengan berbagai cara. Menurut paugeran negara, keluarga Pandawa--Puntadewa, Bratasena, Arjuna, Nakula, dan Sadewa--merupakan ahli waris singgasana Astina.

Berbeda dengan penguasa-penguasa sebelumnya, Duryudana--sulung Kurawa yang menjadi raja--mengelola kekuasaan sesuai dengan seleranya. Negara yang tujuan awal didirikan untuk menjamin kehidupan rakyat yang tenteram dan adil makmur, di tangan rezim Kurawa justru dijadikan ajang foya-foya memuaskan nafsu para elite.

Kontrol yang kerap disampaikan paranpara Durna dan senapati Adipati Karna selalu kandas. Namun demikian, keduanya tidak pernah bosan dan berhenti untuk senantiasa mengingatkan setiap Duryudana membuat program mungkar. Dalih nilai kesatria pun tidak pernah mempan.

Sikap Duryudana yang demikian ini karena ia sedang dimabuk kekuasaan. Inilah yang selalu dipupuk sang paman, Sengkuni, yang merupakan tangan kanannya (patih). Kekuasaan menjadi candu yang telah merasuk ke sumsum tulang Duryudana.  

Agar kekuasaan langgeng, Duryudana berkominten untuk membasmi Pandawa dari muka Bumi. Baginya, hanya Puntadewa dan adik-adiknyalah ancaman paling serius kekuasaannya. Virus ini pula yang terus-menerus diinjeksi Sengkuni ke dalam relung hati keponakannya itu.

Politik basmi Pandawa itu diimple­men­tasikan dalam berbagai program yang berkelanjutan. Ini tidak terhindarkan karena program pertama gagal dan kemudian diteruskan dengan langkah-langkah berikutnya hingga baru terhenti saat pecah perang Bharatayuda.

Setiap program dibiayai dengan anggaran negara. Bahkan, Duryudana menginstruksikan berapa pun dana yang dibutuhkan akan dikucurkan asal tujuan lenyapnya Pandawa tercapai. Dana program inilah yang dijadikan bancakan Sengkuni bersama para elite lain (Kurawa) dan para kroni.

Selain menjabat patih, Sengkuni juga dikenal pula sebagai ahli anggaran. Kepintaran inilah yang ia mainkan untuk menggelembungkan dana setiap program. Sengkuni pun yang mengatur siapa dapat berapa, siapa mengantongi berapa. Dari gaji dan fee yang ia terima itulah Sengkuni merenovasi Istana Plasajenar warisan bapaknya, Prabu Suwala.

Proyek Bale Sigalagala
Di antara proyek pemusnahan Pandawa berbiaya paling besar adalah ketika Kurawa membuat program pembangunan Bale Sigalagala. Bale atau balai ini seluruhnya dibuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar. Namun, itu dirahasiakan dan dikamuflase dengan cara dikemas sebaik mungkin serta tampak menjanjikan kenyamanan.

Kontraktor proyek Bale Sigalagala itu bernama Puracona. Ia ahli bangunan warga pribumi Astina. Puracona terpilih tidak lewat tender melainkan penunjukan langsung oleh Sengkuni. Dari proyek ini, Sengkuni dan Kurawa mendapat fee sebesar 30% dari seluruh nilai proyek.

Bale Sigalagala dibangun diawali dengan keinginan Drestarastra sebagai careteker penguasa Astina, menyerahkan singgasana kepada Puntadewa, sulung Pandawa. Sebelum meninggal, Raja Astina Prabu Pandu Dewanata--ayah Pandawa, menitipkan kekuasaan Astina kepada kakaknya, Drestarastra (ayah Kurawa). Pandu berpesan agar kekuasaan itu diserahkan kepada putranya, Pandawa, bila telah menginjak dewasa.

Sebelum penobatan, Pandawa yang terusir dari Istana Astina sejak bapaknya meninggal, diinapkan dulu di Bale Sigagala. Ini ide Sengkuni yang dudukung Kurawa. Di tempat tersebut Pandawa dijamu dengan makanan dan minuman terbaik. Ikut serta menginap di balai tersebut ibu Pandawa, Kunti Talibrata.  

Ketika pesta usai dan semua tenggelam dalam dinginnya dini hari, Puracona mengendap bergerak mendekati balai. Ia memastikan Pandawa dan Kunti lelap dengan mimpi masing-masing. Mulailah ia menyulut sudut balai dan secara cepat api melalap bangunan beserta semua isinya.

Bratasena yang terjaga sejak sore, dengan sigap menyelamatkan semua keluarga dan ibunya. Ia dituntun garangan berbulu putih jelmaan Bathara Nagatatmala memasuki terowongan hingga sampailah mereka ke Kahyangan Saptapratala. Pandawa selamat dari pem­bakaran hidup-hidup. 

Program lain yang juga beranggaran besar ketika Kurawa menyambangi Pandawa di hari-hari terakhir menjalani hukuman di Hutan Kamyaka. Puntadewa hidup di belantara itu selama 12 tahun sebagai konsekuensi kekalahan mereka bermain dadu yang penuh tipu muslihat.

Kurawa berpesta siang malam di pinggir hutan itu dengan maksud agar Pandawa semakin teriris-iris hatinya sehingga mempercepat kematian. Sengkuni yakin Pandawa kelaparan selama di hutan. Ketika itu Puntadewa dan keempat adiknya memang banyak kehilangan bobot dan tampak kurus.  

Hamburkan anggaran
Namun, Pandawa tetap hidup. Mereka menjalani hukuman di Kamyaka sebagai laku prihatin. Pun Pandawa lulus menjalani hukuman berikutnya, yakni menyamar di Wiratha. Negara inilah yang kemudian menjadi basis perjuangan Pandawa dalam perang Bharatayuda.

Itulah kisah rezim Kurawa dari awal berkuasa hingga akhir. Selama memerintah, Kurawa hanya menghambur-hamburkan anggaran negara untuk melanggengkan kekuasaan. Anggaran itu yang juga jadi bancakan para elite Kurawa dan kroni untuk kenikmatan hidup.

Poin dari kisah ini ialah Kurawa tidak tahu malu dan tidak tahu diri. Selain merengkuh kekuasaan secara inkonstitusional, mereka tidak amanah menjalankan pemerintahan. Kurawa pun menjarah uang rakyat, pihak yang seharusnya mereka makmurkan. Bukan malah berlomba memuaskan nafsu duniawi mereka sendiri. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya