Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Membebaskan Guru dari Sertifikat Palsu

Dian Marta Wijayanti Guru SDN Sampangan 01 Kota Semarang,Mahasiswi Prodi Pendidikan Dasar Pascasarjana Unnes
02/7/2018 07:30
Membebaskan Guru dari Sertifikat Palsu
()

JIKA tak ada aral melintang, pada Juli-Agustus 2018 ini akan dilaksanakan seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) guru besar-besaran di lingkungan Kemendikbud. Masalah klasik yang selalu muncul di dunia pendidikan salah satunya sertifikat atau ijazah palsu. Meski sistem daring sudah diterapkan, pemerintah acap kali kecolongan atas tindakan pihak nakal.

Salah satu cara menguatkan pendidikan di negeri ini memerdekakan guru dari sertifikat palsu. Jika guru bebas dari administrasi abal-abal, otomatis akan tercipta iklim kerja bersih dan mampu memajukan budaya kerja jujur dan kredibel. Adanya kasus pemalsuan sertifikat di kalangan guru dan aparatur sipil negara (ASN) menjadi potret buram pendidikan kita.

Kecurangan dan pemalsuan sertifikat ialah tindakan haram bagi aparatur sipil negara, baik itu pegawai negeri sipil (PNS) maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Jika ASN, terutama guru masih melakukan pemalsuan, hakikatnya mereka belum 100% merdeka.

Terbongkarnya kasus sertifikasi dan ijazah palsu di Tambora, Jakarta Barat, tahun lalu, misalnya, merupakan tamparan pada wajah pendidikan Indonesia. Kasus yang berawal laporan pimpinan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Jawa Barat tentang bocornya anggaran senilai Rp36 miliar, melibatkan 300 orang lebih guru yang memalsukan sertifikat demi mendapat tunjangan.

Saat penggerebekan, polisi menemukan stok ijazah dari 2001 sampai 2017 dari ijazah S-1 dan S-2. Pada pengembangan kasus pemalsuan dokumen tersebut, 13 pelaku yang ditangkap dijerat Pasal 263 dan atau 372 dan 378 KUHP tentang Penggelapan, Penipuan, dan Pemalsuan, dengan ancaman hukuman enam tahun penjara. Namun, kasus ini tidak sekadar masalah hukum, melainkan masalah mental pendidik yang masih korup, serakah, dan berjiwa instan.

Merdeka dari kepalsuan

Pemalsuan sertifikat tak hanya berupa ijazah, tapi juga sertifikat kegiatan, seperti seminar, diklat, workshop, lokakarya, dan lainnya. Tujuannya sama, guru ingin mendapatkan angka kredit dan pada akhirnya mempermudah kenaikan jabatan/pangkat dan mendapat tunjangan. Hal ini membuktikan sebagian guru masih dijangkiti mental korup.

Orientasi pada materi membuat guru memilih berpikir dan bertindak instan. Profesi guru memiliki tanggung jawab berat tidak hanya dalam pembelajaran, tapi juga kepada masyarakat, negara, dan juga dengan Tuhan.

Sumber utama kejahatan di atas, antara lain orientasi materi, budaya malas, dan ingin serbacepat mengalami kenaikan dalam karier. Sesungguhnya tanpa terlibat pemalsuan dokumen pun, guru bisa menempuh jalur yang lurus dan benar. Jalan pintas dengan membeli sertifikat atau memalsukannya pada hakikatnya hanya akan 'membunuh' diri sendiri sekaligus menjadi penyebab kemunduran, bahkan kehancuran pendidikan.

Musuh yang paling berat dalam kepegawaian kita sebenarnya dimulai dari budaya indisipliner. Guru seharusnya menjadi pioner kedisiplinan, kejujuran, dan contoh masyarakat, bukan sebaliknya. Adanya sistem yang mbulet (ribet) juga menjadikan guru mengambil jalan pintas. Apalagi, tata kelola birokrasi kini makin rumit membuat guru terseok-seok mengikuti aturan tersebut.

Namun, semestinya hal itu hakikatnya bukan halangan, melainkan harus menjadi motivasi. Tak ada guru berbuat jahat kecuali berasal dari diri sendiri dan pengaruh relasi serta sistem. Dalam hal ini, guru ASN harus menjadi contoh bagi guru-guru lain yang masih wiyata atau honorer. Sangat memalukan jika guru-guru ASN melakukan kecurangan di depan mata guru honorer/wiyata.

Gaji guru ASN cukup besar, ditambah dengan tunjangan keluarga, gaji 13, gaji 14, berbagai tunjangan lain seperti tambahan penghasilan pegawai (TPP), dan sertifikasi. Seharusnya, hal itu mendorong pendidik lebih berkomitmen dengan profesinya, bukan melakukan kecurangan yang mencoreng pendidikan. Jika guru belum bisa menghilangkan mental korup, mereka sama saja hidup di era penjajahan mental. Sangat irasional jika guru sebagai pencetak mental baik kepada anak didik justru mengkhianati pekerjaannya.

Digugu dan ditiru

Pelanggaran hukum tetaplah tindakan yang harus dipertanggungjawabkan di jalur hukum. Karena itu, guru sebagai kunci pendidikan dituntut melek hukum. Mereka harus merevolusi mental agar bisa menjadi guru yang benar-benar bisa digugu dan ditiru. Kaum pendidik yang sudah ASN harus bisa memutus nafsu serakah agar tak melakukan kecurangan. Nilai materiil yang tak seberapa akan menjebloskan mereka ke penjara dan merusak citra pendidik dan nama pribadi.

Orientasi materi seharusnya kalah dengan tujuan mulia mengabdi dan mencerdaskan bangsa. Hakikatnya guru tak mengejar uang, tapi uanglah yang mengejar guru. Prinsip ini harus dibumikan agar guru-guru yang utamanya ASN paham, uang bukanlah tujuan utama mengabdi, melainkan hanya bonus dari negara. Jika ini dilakukan, tentu tak ada lagi pemalsuan sertifikat, ijazah, dan administrasi lain.

Pemerintah juga perlu merampingkan administrasi yang dibebankan kepada guru. Sebabnya, administrasi yang berbelit menjadi pemicu guru berbuat curang. Sistem daring harus berjalan maksimal dan detail. Sangat lucu jika ijazah S-1 dan S-2 bisa dipalsukan. Hal itu membuktikan pemerintah 'kecolongan' oleh pihak-pihak perusak pendidikan.

Pemerintah sejatinya telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Berdasarkan aturan tersebut, ASN terdiri atas PNS dan PPPK yang memiliki kewajiban sama. Mereka harus patuh pada empat pilar bangsa, kode etik, dan komitmen kerja sebagai abdi negara. Jika berkhianat, apalagi memalsukan sertifikat, mereka gagal menjadi abdi negara.

Apakah hanya yang tergolong ASN yang harus taat? Tentu tidak. Semua guru, baik itu ASN maupun honorer, punya posisi sama. Mereka sama-sama harus taat pada aturan, menjunjung tinggi kode etik, dan berusaha maksimal menjadi orang yang benar-benar bisa digugu dan ditiru. Jangan sampai harga diri dan citra guru tergadai hanya gara-gara selembar sertifikat. Mengapa? Karena kepalsuan pasti berbuah kepalsuan pula!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya