Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Agama Sepak Bola, Sepak Bola Agama

Usman Kansong Direktur Pemberitaan Media Indonesia
20/6/2018 01:15
Agama Sepak Bola, Sepak Bola Agama
( AFP PHOTO / CHRISTOPHE SIMON)

TAK berapa lama setelah final Liga Champions antara Real Madrid dan Liverpool, di media sosial muncul ajakan demo ’Indonesia Bela Salah’ ke Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta. Dalam pertandingan final Liga Champions tersebut, pemain belakang Madrid, Sergio Ramos, melanggar pemain Liverpool Mohamed Salah hingga ia cedera bahu.

Demo memang batal. Namun, yang perlu kita catat kiranya ada nuansa agama di sini. Judul demo ’Indonesia Bela Salah’ mengingatkan kita pada ’Aksi Bela Islam’ berjilid-jilid pada Pilkada DKI 2017. Bukan tidak mungkin si pencetus aksi ingin membela Salah karena pemain asal Mesir itu muslim. Sekiranya bukan Salah atau bila Salah bukan muslim, belum tentu ada ajakan demo semacam itu. Toh, dalam pertandingan sepak bola pelanggaran satu pemain terhadap pemain lawan ’lumrah’ belaka, terjadi berulang kali dan menimpa banyak pemain, tak peduli agama mereka, tetapi tidak pernah ada yang mengajak demo.

’Indonesia Bela Salah’ bolehlah kita sebut fenomena sepak bola agama. Sepak bola agama ialah fenomena menyeret-nyeret agama ke sepak bola, mencampuradukkan agama dan sepak bola. Kita bisa jika membandingkannya dengan istilah atau fenomena politik agama, yakni membawa-bawa agama ke ranah politik, menggado-gadokan agama dan politik.

Sepak bola agama ternyata juga menggejala di Piala Dunia 2018 melalui media sosial. Ketika Rusia secara gemilang mengalahkan Arab Saudi dengan skor 5-0 di pertandingan pembuka muncul komentar di Twitter ’Wah, komunis mengalahkan wahabi’. Wahabi ialah aliran dalam Islam yang dikategorikan keras, yang dianut Kerajaan Arab Saudi. Akan tetapi, Rusia bukan komunis. Uni Soviet dulu yang komunis.

Lantas, ketika Iran menang 1-0 atas Maroko, di media sosial ada komentar ’kemarin komunis, sekarang Syiah yang menang...’. Iran ialah negara dengan penganut Syiah terbesar di dunia. Maroko juga negara berdasarkan Islam yang sebagian besar penduduknya menganut Sunni.

Satu media daring bahkan menurunkan berita berjudul Arab Saudi: Tuhan Malu tak Kabulkan Doa Jutaan Umat. Judul itu mungkin respons atas ajakan kepada umat Islam di Tanah Air untuk mendoakan kesebelasan Arab Saudi. Umat Islam Indonesia semestinya mendoakan kesebelasan Arab Saudi karena mereka Islam juga. Namun, Tuhan tak mengabulkan doa umat. Arab Saudi kalah telak dari Rusia. Judul berita seperti itu pun nongol.

Judul di media daring tersebut juga boleh jadi satire atas pernyataan Amien Rais. Amien dalam suatu acara melontarkan pernyataan yang kira-kira bunyinya ’Tuhan malu bila tak kabulkan doa umatnya (supaya Presiden Jokowi diganti pada 2019)’. Amien melakoni politik agama, membawa-bawa agama ke domain politik.

Contoh terakhir itu menunjukkan sepak bola agama mirip dengan politik agama. Sepak bola agama dan politik agama mengotak-ngotakkan rakyat. Rakyat yang ada di satu kotak agama bergaduh dengan yang ada di kotak agama lain. Pakar politik mengatakan politik agama pertanda kemunduran peradaban politik. Sepak bola agama bisa dikatakan tanda-tanda kemunduran peradaban sportivitas sepak bola.

Sebelum ’sepak bola agama’, ada gejala ’agama sepak bola’. Agama sepak bola ialah gejala menjadikan sepak bola seolah-olah agama. Sepak bola menjadi semacam agama baru, setara bahkan menggeser agama-agama sungguhan.

Seorang teman bercerita, pada suatu masa, para pemuka agama di Napoli, Italia, mengeluhkan umat kristiani di sana yang malas ke gereja gara-gara lebih suka menonton pertandingan sepak bola, baik secara langsung di stadion atau melalui televisi. Sepak bola sudah menggeser gereja. Sepak bola telah menelantarkan agama.

Sepak bola sebagai agama sesungguhnya sah-sah saja, bila itu dalam konteks civil religion. Civil religion yang diintroduksi sosiolog agama Robert Bellah kira-kira maknanya ialah perasaan bersama sebagai suatu bangsa. Jargon Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI ialah civil religion. Sepak bola juga berpotensi menjadi civil religion.

Dalam konteks civil religion, agama sepak bola mempersatukan rakyat sebagai suatu bangsa dan bangsa jelas melampaui agama. Dalam konteks civil religion itu, tidak mengherankan bila bangsa Indonesia bersatu mendukung kesebelasan Indonesia yang bertanding dengan kesebelasan negara lain, misalnya.

Akhirulkalam, lebih baik menjadikan sepak bola sebagai agama dalam konteks civil religion daripada mencampuradukkan sepak bola dan agama. Itu disebabkan agama sepak bola dalam konteks civil religion mempersatukan, mengawinkan, sedangkan sepak bola agama memisahkan, mencerai-beraikan. (R-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik